04; mereka kembali! tapi...

19 2 5
                                    

"Oh halo, kamu siapa? Lucu sekali ...." Tanyanya.

Mahendra pun mengenalkan dirinya, "namaku Arshaka Mahendra, panggil Mahen aja deh biar mudah diingat hehe."

"Aduh namanya juga lucu ... tunggu sebentar ya, nenek pinjam Yunan dulu. Habis ini kalian bebas mau main berdua," sang nenek menarik Yunanda ke pangkuannya, "kamu beneran tidak apa-apa?"

Yunanda hanya menggelengkan kepalanya saja. Sebenarnya neneknya tahu kalau punggung cucunya ini sakit, tapi ia tidak mau mengakuinya. Daripada Yunanda merajuk, neneknya lebih baik bungkam saja.

Oh iya ngomong-ngomong mengapa Yovie, Aksan, Ghifari, dan Ale tidak ada di rumah? Karena mereka berempat berada di luar kota bersama salah satu pamannya. Mereka berempat menjadi anak angkat sementara Edwin dan Tiffany semenjak mereka lahir dan langsung dibawa ke kota Majenang, Cilacap, Jawa Tengah.

Sehingga orang tua mereka memberitahu pada anak bungsunya bahwa ia adalah anak terakhir mereka. Jadi selama 5 tahun ini Yunanda tidak mengetahui bahwa dirinya masih memiliki 4 adik yang telah dipisahkan orang tuanya sendiri.

FLASHBACK ON

Rizal dan Vida masih berada di kamarnya, mereka berdua tengah berbincang mengenai apakah mereka harus memberitahu Yunanda bahwa ia masih memiliki 4 adik.

"Mas, gimana? Apa perlu kita beritahu? Seharusnya Yuyu harus tau hal ini."

"Itu terserah kamu sayang. Kalau kamu ingin memberitahunya silahkan, aku tidak melarang."

Vida memikirkan sejenak, apakah keputusannya ini telah benar? Atau justru tidak tepat waktu? Tapi biarlah hal itu urusan nanti.

Akhirnya Vida sudah memutuskan untuk memberitahu Yunanda tentang hal ini, ia pun segera bergegas ke kamar Kalandra dan Hildan untuk segera berkumpul di ruang tamu.

Tok... tok... tok...

"Kala, ibu dan ayah akan menunggu kalian di ruang tamu. Kita akan berbincang hal penting disana, dan jangan lupa bangunkan adikmu yang seperti sedang simulasi mati itu."

Kalandra mengangguk sebagai jawabannya. Sang ibu mengusap surai anaknya dan ia dengan suaminya menunggu di ruang tamu. Sebenarnya Kalandra sudah tahu ibunya akan memberitahu hal ini pada Yunanda. Tetapi disaat ia membuka pintu, nyawanya masih belum terkumpul sepenuhnya.

Kalandra pun keluar dari kamarnya untuk membangunkan Hildan yang sedang simulasi mati itu. Ia memang sangat sulit dibangunkan. Biasanya jika ingin Hildan bangun, ia harus ekstra berteriak.

"HILDAN, BANGUN WOY! AYO KE RUANG TAMU, KITA UDAH DITUNGGUIN."

Tak ada pergerakan dari sang adik, Kalandra hanya bisa menghela nafas. Ia harus mengeraskan suaranya lagi, supaya sang adik bangun dari tidurnya yang seperti simulasi mati. Hanya suara lenguhan saja yang keluar dari mulut adiknya.

"Astaga nih anak... kalau kamu tidak bangun, mas tidak mau mengajakmu jalan-jalan lagi."

Sebenarnya Hildan sudah bangun, tetapi ia malas untuk membuka mata. Jadi ia berpura-pura tidur padahal masih mendengarkan suara sang kakak yang mengomel karena dirinya tidak segera bangun. Namun karena Hildan tidak ingin kakaknya marah, jadi ia segera bangun dan berlari menuju ruang tamu agar orang tuanya tidak menunggu lama.

"Aku duluan ke ruang tamu ya mas? Hehe dadah!"

Kalandra menarik kerah baju sang adik agar langkahnya terhenti. Bisa-bisanya ia tidak mengajak adiknya. Hildan hanya cengengesan saja ketika ditegur oleh sang kakak. Ia ingat tapi jangan salahkan Kalandra, ia juga masih setengah sadar.

"Jangan marah-marah dong mas... nanti cantiknya hilang loh."

"Apa-apaan kok cantik? Aku tampan, adik kecil." kata Kalandra sambil mencubit hidung adiknya yang tidak terlalu mancung itu.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 26, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Banjir Bandang, 2008Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang