Suara nyaring yang memekakkan telinga membuat sang empu membuka matanya. Melirik jarum jam weker yang menari bersama angka, iris milik Azam menerjemahkan tarian itu sebagai pukul 8 pagi hari. Di bawah cahaya remang lampu kamar, pemuda gagah itu mengusap wajahnya, beranjak dari ranjang. Dalam hati, bertanya-tanya habis mimpi apa dirinya semalam?
Lupakan soal mimpi, ada hal yang lebih penting sekarang. Lantas, tersadar akan sesuatu, Azam menapaki lantai dingin beberapa langkah hingga akhirnya tiba di ujung pintu. Menarik kenop, Ia benar-benar terkejut ketika sahabat karibnya memasang raut wajah penuh kepanikan.
"Zam, udah tau berita terkini kan? Mari segera bergegas meninggalkan kota ini!" Ajakan Heru yang tiba-tiba membuat Azam mengernyit keheranan. Untuk apa dirinya merantau ke kota kalau ditinggalkan begitu saja? Bagaimana dengan kuliah yang sedang dijalaninya? Memikirkan berbagai hal membuat Azam berdiri kaku di depan pintu.
Dengan kondisi Azam yang masih linglung, dan kesabaran Heru yang setipis tisu, Ia masuk ke dalam kamar dan mengemasi semua barang bawaan yang diperlukan. Tak ayal, pemuda berdarah campuran Indonesia-Jepang ini juga mengomeli rekan satu kos nya. Azam kelamaan dalam mencerna informasi, katanya.
"Ehh, bentar-bentar. Berita terkini apa, Ru?" Azam bertanya sembari membantu Heru berkemas.
"Ah elah, Zam. Ada insiden teror sekitar distrik sini. Penyebabnya belum diketahui, namun berpotensi menyebar ke seluruh wilayah kota. Sedikit informasi tambahan, orang-orang pada berlarian menyelamatkan diri dan mengungsi ke tempat yang lebih aman."
Mendengar penjelasan Heru, sontak membuat Azam membelalakkan mata. Tidak menduga, kota yang dikenal dengan teknologi dan keamanan tingkat tinggi dapat dibobol oleh tindak kriminalitas seperti teroris. Dalam keterkejutan, entah angin apa yang merasukinya, Ia dengan cepat berlari keluar dari area kos yang telah sepi penghuni itu.
"AZAM!" Teriakan menggelegar Heru terdengar sampai keluar, "Bisa-bisanya ninggalin temen sendiri, Zam. Aku bawa barang bawaan nih, bagi-bagi." Ucap Heru menghampiri dan menyodorkan sebuah tas ke tangan Azam.
"Jadi, kita mengungsi kemana, Ru? Maklum, gak lihat informasi. Baru bangun dari alam mimpi." Tanya Azam diakhiri cengiran khas nya. Terjadi keheningan sejenak, mereka sibuk dengan pikiran masing-masing. Memikirkan rute yang tepat untuk dituju. Hingga, suara ledakan yang tertangkap oleh indra pendengaran mereka, memecah sunyi. Secara tidak langsung, keduanya memikirkan hal yang sama, "Lari saja! Yang penting menyelamatkan diri!"
Saat aksi mengungsi tanpa strategi ini, keduanya bisa dianggap terlalu gegabah. Miris, baru sekitar 37 menit perjalanan tanpa arah dan tersesat di hutan antah berantah, mereka sudah dihadang beberapa pelaku teroris. Suara langkahnya tidak terdengar, seperti pembunuh yang sangat lihai membunuh mangsanya dari belakang. "Kenapa tidak terdeteksi!?" Batin mereka berdua, merutuki alat sensorik yang dibawa.
Terlanjur, nasi sudah menjadi bubur. Mau tidak mau, Azam dan Heru harus menghadapi orang aneh berjubah hitam ini. Siap menyerang mempertahankan diri, keduanya mengambil posisi kuda-kuda. Mencekam. Itu yang dirasakan oleh dua sekawan. Sebelum salah satu dari pelaku teroris, menyingkapkan tudung jubahnya.
"Hallå! Hur mår du min vän?"
Bahasa asing itu, serasa tidak asing di telinga. Melihat perawakannya yang tinggi, dan untaian rambut pirang yang tertata rapi, menguak fakta akan keanehan yang terjadi. Sapaan hangat yang biasanya dilontarkan gadis Swedia itu, kini terasa menusuk. Seakan memberi ancaman meringkas umur kehidupan. Melemparkan sebilah belati, Ia dengan cepat memulai serangan permulaan. Diikuti orang berjubah lainnya, pertarungan pun runyam. Menimbulkan goresan noda merah pada pipi Azam.
"Stena?" Gumam Azam, kaget. Terbesit rasa kecewa di hatinya. Bagaimana bisa, gadis ramah itu memasuki organisasi teroris yang menyerang penduduk kota? Azam tidak bisa berkata-kata dibuatnya. Bermodalkan pengalaman memasuki organisasi taekwondo, ia berusaha membela diri. Menangkis berbagai serangan yang tengah diluncurkan.
"Mengapa, Na? Ideologi sesat apa yang kau ikuti sampai menyerang kami, para sahabatmu?"
"Sahabat? Jangan terlalu naif, Zam. Aku bukan sahabat kalian. Selama ini kita berada dilembar kebohongan semata. God eftermiddag, bedrägliga värld. Dan apa? Ideologi? Narasi ketidaksetaraan di kota ini membuatku tidak tahan. Peraturan yang dibuat sangatlah memuakkan. Dipengaruhi oleh Ideologi radikal tidak terlalu buruk, bukan?" Melontarkan semua jawaban, Stena siap menekan pelatuk pistol menembaki Azam.
"Diakhiri pertanyaan retoris macam apa it-"
"Zam! Awas!" Azam reflek menghindar. Hampir saja sebuah peluru menembus jantungnya. Menoleh sejenak, dapat terlihat Heru sedang memegang tombak. Mungkin merampas senjata mereka, pikir Azam. Ide bagus, Ia juga merampas beberapa senjata lawan yang telah dirinya taklukan. Pistol dan pedang ada dalam genggamannya.
Baik, tersisa 3 orang lagi. Memikirkan rencana kedepan, Azam dan Heru mengambil pola langkah mendekat. Berdiri saling membelakangi, membentuk formasi pertahanan. "Ada alat itu kan, Ru?" Bisik Azam. Teringat akan suatu hal, Heru mengeluarkan seperangkat alat komunikasi. Mengirimkan sinyal SOS ke wilayah pusat. Berharap menerima tindakan dengan segera. Memanfaatkan alat persenjataan yang ada, mereka berusaha sekuat tenaga. Mengundur waktu hingga bala bantuan datang.
"Hee? Ingin bermain, ternyata? Baik, kan ku layani. Ahahaha."
"Gila!" Benar apa yang dikatakan Heru. Gadis Swedia itu mungkin telah kehilangan akal. Menjadi gelap mata, Stena menyerang ke segala arah. Membabi buta sistem pertahanan kawan maupun lawan. Tidak terasa, waktu begitu cepat berlalu. Menghadirkan sosok yang sudah ditunggu. Akhirnya, aparat keamanan datang menyerbu, membantu Azam dan Heru yang sudah kewalahan dalam pertempuran.
"Kalian istiratlah sejenak. Kekacauan ini, biar kami tangani. Wilayah pusat telah berhasil meretas jaringan teroris, mengungkap motif dan tindakan mereka. Diperkirakan pemimpin organisasi berada di sini, menyelesaikan akar permasalahan lebih cepat akan lebih baik." Ujar salah satu petugas menenangkan pikiran dua sekawan.
Di saat ketegangan mulai menurun, pikiran Azam bekerja. Menangkap informasi yang diberikan, "Tunggu, pemimpin meraka berada di sini? Apa itu berarti Stena?" Azam mengeluarkan pendapat. Selama pertempuran mereka, Stena lah yang memberikan komando kepada para pelaku berjubah hitam itu. Bahkan tidak segan membunuh rekannya sendiri. Mungkin, ini hanyalah spekulasi.
"Tidak mungkin kan? ... Ugh" belum genap Heru berbicara, sebutir peluru menembus kepalanya. Shock, Azam menoleh ke sumber tembakan. Disana, terlepas dari penjagaan para aparat, Stena dengan riangnya menggunakan senjata api. Amarah dan keputusasaan bercampur aduk. Peristiwa klise memang, namun mampu mengambil nyawa Heru, sahabat karibnya.
"Tangkap gadis itu!" Sepersekian detik, semuanya telah berlalu. Stena ditangkap beserta antek-anteknya. Permintaan maaf atas kelalaian aparat keamanan juga tak luput dari memori Azam. Kini, dirinya seorang diri. Melamunkan kenangan bersama yang bersemi. Berbeda dengan hari cerah dimana terik matahari menyingsing, hanya kesedihan yang dapat ia rasakan.
Setelah melalui semua hal ini, lelah menghampiri. Ingin rasanya Azam tidur kembali dan melanjutkan mimpinya. Walaupun demikian, teringat akan ucapan Heru mengenai kehidupan sewaktu mereka dibanjiri berbagai banyak permasalahan, membuat Azam tersadar, hidup tetaplah yang terbaik. Apapun itu, baik buruknya pengalaman yang didapat, jalani saja. Bagaikan air, meskipun Ia mengalir dan tak memiliki bentuk sendiri, Ia adalah roda tempat kita dibentuk. Begitupun kehidupan. Kadang di atas, kadang di bawah tanah. Kota hancur dikit gak ngaruh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Anomali
Short StoryHidup di zaman yang canggih jangan membuat mu terlena! Seperti Azam, baru bangun saja sudah banyak cobaan. Intinya, baca saja petualangannya yang begitu singkat itu di sini.