15
[In Your Arms]***
"Tidurlah, Elisa. Tujuan kedua kita menempuh waktu yang lumayan panjang. Istirahatlah."
Titah Almer yang langsung diwujudkan oleh Elisa. Sedari perjalanan panjang yang mereka lewati tadi, matanya terpejam. Ia tertidur untuk waktu yang lama. Kala membuka mata, Elisa tertegun sejenak. Melihat bahwa ternyata suasana diluar jendela mobil yang mereka tumpangi telah begitu berubah.
Jika suasana yang biasa Elisa lihat adalah hiruk pikuk kota dengan sejuta manusia dan segala aktivitasnya, kali ini Elisa rasa ia telah berada di sudut lain dunia. Pemandangan indah yang begitu memanjakan mata dan tentu saja hatinya yang sedang kalut.
Sepanjang jalan ini dipenuhi dengan tanaman hijau dan pepohonan asri. Berbanding terbalik dengan kota tempat tinggalnya. Yang hanya disuguhkan oleh tingginya gedung-gedung pencakar langit. Selain itu, hanya satu atau dua kendaraan saja yang nampak melewati jalanan ini. Semakin menimbulkan kesan tenang dan damai yang begitu memanjakan hati.
"Sudah bangun?" Ucap Almer seraya memandangi Elisa yang sedang menguap seraya mengusap kedua matanya perlahan. Senyuman kecil terbit di wajah tampan itu. Melihat sosok Elisa yang begitu menggemaskan untuknya.
"Ah, iya. Maaf. Aku tidur terlalu lama."
"Tak masalah, Elisa. Tidur memang lebih baik. Sebab perjalanan kita sangat panjang kali ini," ucapan Almer seketika membuat Elisa mengerutkan dahi penuh tanya.
"Berapa lama memang aku tertidur?"
Almer tak kunjung menjawab. Ia hanya tertawa dengan pandangan geli mengarah pada Elisa.
"Hei, apa maksud tawamu itu?" Elisa berkata sembari menatap Almer kesal.
"Tiga jam, Elisa. Kau tidur hampir tiga jam penuh. Aku khawatir kau bahkan tidak tahu kalau kita telah menaiki pesawat tadi untuk sampai ke negara ini." Almer tetap setia menjawab dengan tawanya yang tak susah payah ia tutup-tutupi dihadapan Elisa.
Sementara wanita itu tengah begitu tercengang setelah mendapati jawaban luar biasa yang baru ia dengar dari Almer.
"A-apa? Tiga jam? Naik pesawat? Lalu kita sedang berapa di negara mana ini, Almer? Apa kau bercanda?!" Elisa berucap dengan setengah berteriak. Air mukanya terlihat sedikit panik. Ia bahkan membuka jendela mobil, seraya membulatkan kedua matanya hebat. Melihat kenyataan bahwa memang tempat yang ia datangi saat ini sama sekali bukanlah New York, bahkan bukanlah negara yang serupa dengan kota itu berasal.
"Kau memang tidak sadar ternyata telah tidur dalam gendonganku. Selama di pesawat kau juga terus menempel pada lenganku yang mungkin kau anggap sebagai bantal yang empuk."
"Hei, apa-apaan. Aku tidak mungkin melakukan hal itu." Semu merah menghiasi wajah Elisa.
"Apa perlu kita telpon salah satu dari puluhan pegawaiku yang melihat dengan jelas kau bermanja-manja padaku tadi?" Almer, sekali lagi, melihat Elisa dengan penuh canda tawa sembari mengulas senyum culas.
"T-tidak perlu. Untuk apa menanyakan sesuatu yang bahkan aku sendiri yakin tidak melakukannya." Elisa membuang pandangannya ke tempat lain, kemana saja asal tidak memandang Almer yang semakin mencercanya dengan perkataan menyebalkan tentang perilaku manjanya pada lelaki itu selama tidur di perjalanan.
Oh, berhentilah membicarakan hal itu. Aku sungguh malu. Kata Elisa dalam hati.
Alam bawah sadar Elisa terus menerus menyetujui tiap perkataan Almer yang mengindikasikan bahwa Elisa memang melakukan hal-hal tersebut. Bermanja-manja dalam tidurnya kepada Almer. Sebab kala Elisa bangun beberapa menit lalu, ia tak merasakan sama sekali badan letih atau kaku akibat tertidur di perjalanan. Hal yang sangat mustahil terjadi jika tak ada lengan hangat Almer yang ia jadikan sebagai bantal empuk.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Perfect Obsession (Tamat)
RomanceJika orang lain menganggap obsesi adalah hal negatif, maka jauh berbeda untuk Almer. Ia terobsesi dengan Elisa. Dan melalui cerita ini, akan ia tunjukkan sebuah obsesi baru yang penuh cinta dan ketulusan. _____ Elisa Jasmine selalu berharap bahwa ke...