Hujan layaknya alur sebuah rasa
Deras, rintik, kemudian reda
Ben melihat ke layar ponselnya secara berulang. Sejam berlalu, belum ada balasan di ruang obrolannya dengan Gulf. Ben itu memang kelewat cinta mati pada Gulf padahal jelas-jelas sampai detik ini pun rasanya belum disambut. Namun Ben cuek saja, intinya selama Gulf belum taken maka Ben pun tidak akan mencari orang lain untuk dikencani. Bagi Ben selama Gulf sendiri segala kemungkinan bisa saja terjadi termasuk kemungkinan kecil Gulf akan menyukai Ben.
Layar ponsel Ben menyala, Ben meraihnya dengan semangat. Barangkali Gulf sudah memberi respon.
Foto pemuda yang tak asing memenuhi layar ponsel Ben. Ben mendesah panjang, dia pikir itu Gulf.
"Bagaimana Tar?" Ben menyambut.
["Gulf sudah jawab?"] Tanya Tar. Selain Kit ada Tar si senior Gulf yang begitu peduli pada Gulf.
Desahan nafas kasar Ben diujung telfon agaknya membuat Tar menyadari bahwa Ben belum mendapatkan kabar Gulf.
["Ya sudah, lagipula hari ini hanya ada satu jam praktek Gulf di rumah sakit. Mungkin dia ingin me time?"]
"Iya, mungkin," Ben akhirnya sependapat. Tapi Ben juga ragu, bagaimana kalau ternyata Gulf sedang bersama Mew?
Tidak Ben pungkiri, sejak Mew muncul membuat Ben semakin ketar-ketir.
"Atau mungkin dia bertemu Mew?" Ben minta pendapat.
Hening sebentar. ["Bertemu? Aku rasa Gulf tidak semudah itu. Dia pasti hanya sedang me time."]
"Emm... Benar juga."
["Hey Ben, aku membawa salad pepaya. Aku antar ke ruang praktek mu ya?"]
"Wah, kamu tahu aku butuh sesuatu yang pedas? Eh, kita bertemu di kantin saja,"
["Okay. Aku dan Kit turun,"]
"Okay. Aku segera kesana," jawab Ben.
Tar mengakhiri telfonnya setelah berhasil membuat Ben lebih tenang. Ya persahabatan mereka terhitung cukup lama jadi apapun suasana hati satu sama lain rasanya bisa dirasa dari jarak kejauhan. Telepatinya cukup kuat, kata orang terdahulu.
Ben beranjak dan menyampirkan jas putih kedokterannya di sandaran kursi kerja. Berjalan meninggalkan ruang prakteknya Ben lantas mampir di ruang perawat untuk memberi tahu mereka bahwa Ben akan pergi istirahat di kantin. Memang jam praktek Ben telah berkahir sejak pagi ini tapi dia tidak ingin segera pulang dan penasaran menunggu Gulf sampai di jam praktek Gulf nanti siang. Lagi pula rumah sakit ini milik keluarga Ben, tidak akan ada yang penasaran bahkan jika Ben harus menginap disana sekalipun.
Pintu elevator terbuka tepat saat Ben akan menekan tombol. Pandang bertemu pandang antara dua orang di sana.
"Eh, Gulf," Ekspresi suram yang sejak tadi menghiasi wajah Ben berangsur cerah. Memang perubahan ekspresi Ben sangat mudah terbaca.
"Oh, kamu?" Sapa Gulf dengan sedikit tersenyum. Gulf berjalan keluar elevator untuk memberi akses pengguna yang lain termasuk Ben. Namun sampai beberapa orang sudah masuk ke dalam dan mereka hanya menunggu Ben pria itu tidak segera masuk.
"Dokter Ben?" Akhirnya suara seorang perawat menginterupsi.
"Oh, sorry. Sepertinya aku meninggalkan sesuatu di ruang kerjaku," ujar Ben.
"Baiklah, Dokter," jawab perawat itu lali menekan tombol agar pintu elevator tertutup.
Ben lalu segera menyusul Gulf yang sedang berjalan ke arah ruang prakteknya.