11

1.2K 301 19
                                    

Aku sedari dulu mencurigai bahwa kehidupan membenciku. Sangat membenciku. Bukan sekadar benci, melainkan amat-sangat-sungguh-tidak-menyukaiku. Ibaratnya aku merupakan bagian dari hal jorok, tidak patut mendapat berkat baik, dan pantas dihadiahi kegetiran. Seberapa banyak tantangan yang perlu kulalui sebelum akhirnya kehidupan bersedia melepasku? Apa aku harus mengemis belas kasih supaya jiwaku dibiarkan berpisah dari raga dan masuk ke neraka? Katakan, tolong jelaskan, alasan diriku ada di dunia ini sebab aku tidak menemukan alasan baik untuk bertahan.

“Sebaiknya kamu nggak merencanakan tindakan konyol,” si pengancamku memberi peringatan keras.

Bagai telur di ujung tanduk. Aku tidak bisa melakukan tindakan konyol maupun sekadar usaha melindungi diri sendiri. Menyerang seseorang di kantor polisi? Di hadapan polisi langsung? Sudah pasti aku akan masuk dalam daftar orang berbahaya.

[Tenang.... Kamu tidak sendirian. Ada aku bersamamu. Ingat?]

Ucapan Putih seperti air yang memadamkan bara kecemasan dalam diriku. Ketegangan yang awalnya terasa mencekik pun perlahan luruh.

Aku berbalik, memberanikan diri menatap cowok yang jelas akan menjadi masalah dalam hidupku. Inikah yang dimaksud oleh Taylor Swift? Kutahu kamu tuh biang masalah, tapi....

“Hei,” sela pria yang tadi diajak sebagai teman bicara pengancamku, “kamu tidak bisa berlaku lancang pada seseorang di kantor kami.”

“Aku tidak melakukan tindakan apa pun yang akan mengancam kalian,” balas pengancamku. Tatapan matanya tajam, tertuju kepadaku. “Ada hal lain yang perlu kubicarakan dengan bocah ini.”

Setelahnya si pria itu hanya menggelengkan kepala, kemudian berlalu begitu saja.

What?! Kupikir ada hubungan istimewa antara diriku dengan bapak polisi tadi. Ternyata tipu-tipu belaka. Cuma aku yang merasa spesial.

“Sebaiknya kamu nggak memikirkan mengenai kabur,” dia memperingatkan, lagi. “Aku bisa dengan mudah meminta informasi mengenai dirimu dan percayalah,” tantangnya dengan senyum mematikan. “CCTV di sini sangat bagus.”

Yang artinya, wajahku. Hahaha wajahku bukan lagi rahasia.

[Ikuti saja permainanannya. Jangan gegabah, Nak.]

Aku mematuhi perintah Putih. Kubiarkan cowok itu menggiringku keluar dari kantor. Dia berjalan di depan dan aku mengekor seperti bayangan. Dia menunjuk mobil yang terparkir tepat di dekat tiang listrik.

“Masuk,” katanya memberi perintah.

[Tenang. Aku bisa membawamu pergi kalau keadaan berubah gawat.]

Tenang? Putih sih enak bisa bersantai di batu darah, sementara aku? Apa dia tidak bisa memosisikan diri sebagai “yang terancam”?

“Cepat,” kata cowok itu.

Aku membuka pintu mobil dan masuk.

“Di depan,” katanya memberi perintah baru. “Aku tidak mau kamu mencekikku saat duduk di jok belakang.”

Sialan. Dia tahu rencanaku!

[Kamu tidak bersungguh-sungguh menyerang orang dari belakang, ‘kan? Nak, itu bukan perbuatan seorang kesatria dan petarung tangguh. Itu perbuatan pengecut!]

Mohon maaf. Aku tidak berniat jadi kesatria apalagi pejuang kemerdekaan. Aku maunya jadi orang normal, orang biasa, yang hanya pusing memikirkan pekerjaan dan tagihan.

Setelah mendengus, aku pun pindah posisi. Di jok depan, bagian kursi penumpang.

Cowok itu pun masuk, menyalakan mobil, dan mulai melajukannya menuju jalanan.

ALL OF THEM WANT TO KILL HER (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang