- The Destiny.

40 5 2
                                    

Maybe we were just a love story that was never meant to have a happy ending

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Maybe we were just a love story that was never meant to have a happy ending. Maybe we were too good to be true and now there's nothing left for us to do.

- But maybe somewhere along the way you'll find a piece of me, in an unexpected place and it'll remind you of our summer nights, it'll remind you of all the times when it was only you and me. And there was nothing between us but what the night could bring.

And maybe we were better than we ever thought we could be, but maybe there is more for you than nights with me.

- N.

------------------

Lagi-lagi Aluna temukan aromanya di antara ruangan yang bernuansa nyaman ini. Yang selalu Aluna resapi disetiap sudut aroma ruangan
sembari menghitung berapa pasang kaki yang hadir untuk diam-diam mengharapkannya. Di kafe yang selalu Aluna dan dia datangi, bahkan untuk sekedar mampir membeli minuman kesukaan mereka. Espresso dan Vanila Creamy.

Dia, Aluna. Perempuan yang sekarang ini tengah menempuh pendidikan di jenjang perkuliahan di sebuah Kota kecil. Surabaya. Aluna suka disini. tempat yang nyaman, menurutnya. Aluna resapi Vanilla Creamy didepannya, yang selalu mengingatkannya tentang dia. Lelaki yang selalu bersamanya, tanpa pernah terikat. Arka namanya. Lelaki yang selalu menggerogoti pikiran Aluna. Ia selalu saja berhasil memenangkan dan menenangkan hati Aluna di satu waktu sekaligus. "Kalau kamu bisa sendiri, coba buktiin kejadian dimana kamu gaakan pernah berakhir nelpon aku, cuman karena motormu bel-nya gabisa bunyi, Aluna."

Dan sekarang Aluna buktikan bahwa ucapan dia tidak sepenuhnya benar. Sekarang Aluna bisa. Tanpa dia. "Kamu mau tau enggak, Ka. Kenapa aku selalu minta pertolongan sama kamu sekecil apapun masalah itu?" Arka menggeleng. "Kenapa emangnya? Karena kamu pengen deket terus sama aku kan?" Aku mendengus. "Pede banget ya kamu! Bukan tau. Tapi karena emang yang selalu aku inget itu kamu. Yang cuman ngerti hal sekecil yang ada di diri aku ya cuman kamu."

Aluna tertawa kecil mengingat secuil memori itu. Rasanya... Sesak. Seperti terhimpit sesuatu. Kalau Aluna bisa memutar waktu, Aluna ingin sekali peristiwa itu gaakan terjadi. Dan disini, Aluna gaakan sendirian. Seperti orang ling-lung tak tau arah. Akhirnya setelah Aluna berkecamuk dalam pikirannya sendiri, Aluna beranjak dari kursi, dan bergegas keluar dari kafe tersebut. Aluna memberi senyuman tipis kepada mbak-mbak kafe tersebut yang memang sudah mengenal Aluna. karena terlalu sering bersama Arka.

Aluna mengendarai motornya, menuju ke arah taman yang sering Aluna datangi bersama Arka. Aluna duduk di tepian sungai, sama seperti saat Aluna datang bersama Arka. Arka, Arka, Arka, dan Arka. Hanya itu yang ada di pikiran Aluna.
Aluna menghela nafas, Aluna mendengarkan lagu dengan sumpalan headset ditelinganya. Melihat bulan yang kian meredup, membuat Aluna selalu memikirkan hal-hal yang membuatnya sesak.

Saat lagu Cry - Cigaratte After Sex terputar. Saat itulah memori itu terputar kembali. Aluna menangis, menahan sesak yang terus saja menggerogoti ini. Bingung, kenapa Aluna harus terus-menerus seperti ini? Memori itu berputar. "Kamu cantik, Na. Kaya bulan di langit." "Hum? tumben?" Arka tersenyum tipis. Aku jelas melihatnya. "I'm bad with words, But i hope you're good in reading eyes."

All too wellTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang