Aku terbangun dan menatap langit-langit kamar. Ada yang berubah. Pagi ini aku terbangun dengan semangat yang tidak pernah aku miliki sebelumnya, terutama setelah kehilangan Atharva.
Aku tidak bisa memungkiri bahwa api yang kami miliki tidak akan benar-benar padam walaupun kami sudah berpisah. Dan kini aku menyadari kepergiannya telah berhasil merenggut sebagian hatiku dan hanya meninggalkan separuh hati yang kosong.
Selama dua bulan ini aku seakan mati perlahan-lahan setiap kali harus memalsukan senyum untuk semua orang. Seolah-olah aku tidak bisa memegang kendali akan hidupku sendiri. Semuanya aku jalani semata-mata hanya demi keharusan melanjutkan hidup.
Namun, ketika aku tahu bahwa saat ini ada bayi kecil yang bersemayam di dalam rahimku dan akan berbagi raga denganku hingga saatnya dia lahir, aku seakan memiliki semangat hidup yang baru. Aku menemukan lagi harapan dan tujuan hidup yang sebelumnya hilang saat aku kembali kehilangan Atharva untuk kedua kalinya.
Aku mengusap-usap perutku yang masih terlihat datar memasuki usia kandungan sepuluh minggu. Beratnya masih sangat kecil. Tidak lebih besar dari sebutir telur ayam. Namun, entah bagaimana caranya, janin ini telah berhasil membuatku jatuh cinta sebelum kami bertemu.
Aku bangun dari ranjang dan bersiap ke rumah Mama. Aku berusaha mengumpulkan keberanian untuk menemui Mama dan mengakui kondisiku saat ini. Entah seperti apa reaksi Mama jika tahu aku hamil tanpa suami, dan aku sudah mempersiapkan diri untuk segala kemungkinan terburuk.
"Pagi, Mam," sapaku setelah tiba di rumah Mama dan menemukan Mama sedang duduk di meja makan.
"Pagi, Dier. Tumben pagi-pagi ke sini?"
"Mumpung lagi libur. Sekalian ada yang mau aku bicarakan dengan Mama."
"Ada apa?" tanya Mama.
Aku duduk di hadapan Mama. Setelah menghimpun semua keberanian yang aku miliki, aku menyerahkan hasil pemeriksaan dengan dokter kandungan dari rumah sakit ke hadapan Mama.
"Apa ini?" tanya Mama, terlihat bingung.
"Hasil USG kandungan aku."
Garis ketat mulut Mama adalah satu-satunya yang aku lihat. Dia jelas tidak bisa menerima kabar ini. "Are you kidding me?"
"Not even a little bit," jawabku. "Aku hamil, Ma."
Kedua mata Mama menatapku dengan tatapan menusuk. "Mama nggak nyangka, sebagai perempuan cerdas kamu bisa bertindak gegabah seperti ini."
"I really sorry, Mam. Maaf karena aku sudah mengecewakan Mama. Tapi, aku mohon jangan paksa aku untuk memilih antara Mama atau anakku, seperti aku memilih Mama atau Atharva. Kali ini aku nggak akan bisa memilih. Baik Mama maupun anak ini sama-sama berharga bagi aku."
Kali ini Mama diam dengan rahang mengeras. Dia kembali memperhatikan salinan hasil USG yang aku berikan tanpa berkata satu patah kata pun. "Sudah berapa minggu?" tanya Mama setelah terdiam beberapa saat.
"Sepuluh minggu."
"Atharva sudah tahu?"
Aku menggelengkan kepala. "Atharva nggak tahu. Dan sepertinya aku nggak akan memberi tahu dia."
"Kenapa?"
"Atharva sudah pergi ke London dan kemungkinan besar dia nggak akan kembali lagi ke sini. Dia sudah melanjutkan hidupnya di sana, Ma."
"Apa kamu sudah berhenti mengharapkan dia?"
"Memangnya apa yang bisa aku harapkan setelah aku meninggalkan dia dan membiarkan dia salah paham saat melihat aku dengan Reno? Rasanya terlalu egois kalau aku mengabarkan soal kehamilan ini dengan harapan dia akan kembali untuk bertanggungjawab dan menikahiku. Lagipula aku tahu Mama nggak akan setuju walaupun saat ini aku punya alasan yang kuat untuk kembali kepada Atharva."
KAMU SEDANG MEMBACA
Mengapa Jatuh Cinta Harus Sesakit Ini?
RomanceTerima kasih telah mengajarkan aku bahwa semua yang kita miliki di dunia ini adalah fana. Dan fana itu hanya sementara.