Parade

5 2 0
                                    

Hari ini, hari yang ditunggu-tunggu telah tiba. Event paling bergengsi di tingkat provinsi ini diikuti oleh ratusan tim drumband dari seluruh penjuru, termasuk tim dari MA Bakti Negeri. Setelah shalat subuh berjamaah berakhir, Aminah adalah orang yang paling pusing tidak jelas. Mulai dari tidak bisa make up sendiri, sampai kehilangan satu stik drum. Hal itu membuat Wildan yang melihatnya menjadi jengah.

“Perempuan memang selalu ceroboh.” Pikirnya.

Tiba-tiba Aminah mendelik tajam, menyoroti Wildan yang sedang duduk santai di ujung ruangan dengan sudut matanya. Seketika perasaan Wildan menjadi tidak enak.

“Astaga. Apa jangan-jangan dia bisa membaca pikiran? Atau dia bisa tahu kalau aku baru saja meledeknya?” Pikir Wildan.

Hingga aba-aba untuk berbaris datang, mereka pun bersiap untuk parade sejauh tiga kilometer ini. sehabis ini pun mereka tidak akan bisa istirahat, karena acara ini akan dilanjutkan dengan lomba.

***

Hari menunjukkan pukul sepuluh pagi. Setelah selesai parade, semua anggota langsung berbaring di ruangan karena kelelahan. Namun sesaat kemudian Wildan masuk ke ruang persiapan, menemui anggota tim yang sedang terkapar. Saat Wildan sampai ke ambang pintu, semua anggota mendadak diam dan memandanginya dengan penuh tanya.

“Satu.” Ucapnya santai sambil memamerkan nomor urutan tampil.

Mendadak satu ruangan sesak napas setelah melihat nomor yang baru saja ditunjukkan oleh sang mayoret. Waktu tampil tinggal lima menit lagi, sedangkan persiapan belum selesai. Ada yang memakai atribut sembarangan, ada yang makeupnya asal-asalan, sampai ada yang sepatunya tertukar dengan teman yang lain. Sedangkan sang pembawa kabar malah santai-santai saja di depan cermin sambil memasang pin yang menampilkan nomor urutan tampil itu di bajunya.

Wildan menggoyangkan tongkat sakti kebanggaannya itu sesaat setelah barisan telah rapi. Sebelum tampil ia memberi wejangan kepada seluruh timnya yang akan berlomba pada hari ini.

“Dengar teman-teman semua. Ini adalah hari penentuan untuk kita. Semua lelah kita saat latihan satu bulan terakhir akan terbayar hari ini. Usahakan semua yang kalian bisa. Percayalah, tidak ada usaha yang sia-sia.” Ucap Wildan garang.

“Aduh..aduh.. Sudah kaya mau tempur aja.” Ucap Aminah dalam hati.

Hingga pada akhirnya, mereka mulai memasuki lapangan di bawah komando Wildan. Semua berbaris rapi sesuai yang sudah diatur pada saat latihan. Sesekali tangan sang gitapati terangkat, selaras dengan instruksi yang diberikan oleh Wildan melalui tongkat. Drum mulai ditabuh, kaki para anggota tim mulai bergerak dan berjalan dengan serempak. Mengesampingkan rasa gugup dan takut serta berupaya sesuai dengan yang dimaksimalkan saat latihan.

Drum terus ditabuh mengikuti nada dari lagu tradisional yang dibawakan hari itu. Atraksi dari tiga mayoret di tim Bakti Negeri juga kerap mengundang banyak sorak sorai dari penonton.
Sepuluh menit kemudian, suara drum Bakti Negeri tidak lagi terdengar, pertanda permainan sudah berakhir. Penampilan drumband Bakti Negeri hari itu ditutup dengan lemparan tiga tongkat sakti ke angkasa, yang kemudian di tangkap dengan cepat dan tepat. Setelah memberikan salam penhormatan kepada dewan juri, tim meninggalkan lapangan dan dipersilakan beristirahat.

***

Siang itu matahari bersinar terik sekali, udara panas membuat kerongkongan terasa kering kerontang. Hal itu pula yang membuat Aminah duduk di teras ruangan, membiarkan angin sepoi-sepoi menerpa wajahnya. Baru saja menutup mata, Aminah mencium aroma parfum laki-laki di dekatnya, namun masih urung membuka mata.

“Minum." Titah Wildan yang sedari tadi memperhatikan gerak-gerik Aminah.

Dengan malas Aminah membuka matanya. Kemudian menangkap wajah yang selalu saja hadir di depannya. Aminah bingung, wajah itu selalu berhasil membuat Aminah berada di posisi sulit, antara benci dan cinta.

“Ambil.” Titahnya sekali lagi.

“Bisa gak sih nyuruh minum dengan cara baik-baik?” Ucap Aminah jengah karena selalu saja melihat wajah datar yang selalu muncul di waktu yang salah.

“Memangnya aku salah apa?” Tanya Wildan tidak paham.

“Ah, enggak apa-apa, Kak. Aku gak mau minum.” Tolak Aminah.

“Ya sudah, air nya saya kasih ke yang lain saja.” Ucap Wildan tanpa dosa.

Aminah yang tadinya sudah memejamkan mata lagi langsung melotot mendengar ucapan Wildan barusan, benar-benar tidak punya hati.

“Bisa-bisanya airnya di kasih ke orang lain.” Batin Aminah. Dalam diamnya Aminah, terselip rasa ingin menendang, menampar, dan melempar Wildan ke langit.

Satu jam berlalu, Aminah melirik ke dalam ruangan khusus untuk timnya beristirahat. Rupanya semuanya sedang tertidur lelap karena kelelahan, hanya beberapa orang yang sedang sibuk bermain ponsel.

Tiba-tiba ujung matanya melihat pemandangan yang membuatnya kesal. Aminah melihat banyak perempuan dari tim sekolah lain mengajak Wildan untuk berfoto bersama. seketika sesak memenuhi dada Aminah. Ya, seperti cemburu, tapi tidak punya hak untuk cemburu karena Wildan bukan siapa-siapa baginya.

Hingga jam 3 sore, seluruh tim dipersilakan pulang. Aminah adalah orang yang paling gesit mengambil tas dan bersiap memutar gas motornya, sampai Yaya yang merupakan sahabat Aminah saja mendadak bingung. Tanpa banyak perhitungan, Aminah melenggang pergi dengan motor maticnya. Melaju dengan kencang membelah jalanan perkotaan yang sedang ramai.

Sesampainya di rumah, Aminah langsung menuju kamarnya. Ia sendiri juga bingung ini perasaan apa. Hatinya seperti tidak rela ketika melihat Wildan bersama perempuan lain. Tapi Aminah sadar, cintanya tidak mungkin berbalas. Tidak mungkin Wildan jatuh cinta kepadanya.

***

Insan Terbaik di Waktu TerbaikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang