Hari ini adalah hari keberangkatan mereka ke sebuah desa di Natuna, desa Jaya namanya. Aminah yang baru tahu kabar ini setelah bangun tidur tadi pagi langsung mendadak syok.
“What? Natuna itu dimana sih?” Gumam Aminah miris.
Setelah jam dinding menunjukkan pukul enam pagi, Aminah mulai turun dari kamarnya yang ada di lantai dua. Ia berjalan pelan sambil menyeret koper dan ransel menuruni anak tangga.
“Aduh, sayang. Sini bunda bantu.” Ucap Salma sambil meraih koper yang sedari tadi diseret Aminah dengan susah payah.
“Hehehe, makasih ya, Bun.” Jawab Aminah.
Aminah mulai duduk melingkari meja makan. Makanan hari ini begitu beragam, tampaknya Salma memasak banyak hari ini. Aminah memajukan bibirnya, kemudian berpikir lagi. Apakah ia sanggup dua minggu tidak makan masakan bundanya? Ia lantas tersenyum kecut membayangkan betapa buruknya menjadi relawan.
Setengah jam kemudian, Aminah pergi bersama ayah dan bundanya ke sekolah. Ia berangkat memakai setelan santai dengan celana jeans dan kaos yang tertutup jaket kulit pemberian neneknya, lengkap dengan sneakers sebagai bekal masuk hutan.
Setibanya di sekolah, bus yang membawa mereka ke bandara sudah siap. Juga dilihatnya Wildan yang sudah hadir sambil memeriksa kebutuhan mereka bersama Pak Amir. Ia juga nampak keren dengan setelan serupa dengan Aminah.
Melihat ayah Aminah yang telah tiba di sekolah membuat Pak Amir menghentikan aktivitasnya, membiarkan Wildan sendiri yang mengecek seluruh barang bawaan.
“Biar aku bantu, Kak.” Tawar Aminah.
“Ya sudah, ini tugas kamu. Kalau ada yang datang, kamu tulis di situ. Kakak mau cek barang-barang dulu.” Jawab Wildan sambil menyodorkan sebuah buku berisi daftar nama peserta.
Aminah hanya manggut-manggut mendengar perintah sang ketua tim. sesekali ia tersenyum kecut membayangkan betapa hangatnya Wildan dahulu.
“Astaga, kok mikirnya ke situ lagi sih?” Ucap Aminah lekas lekas menepuk dahinya.
Setelah semua peserta hadir, Wildan segera mengarahkan mereka untuk masuk ke dalam bus. Hingga yang tersisa di luar hanya Wildan, Aminah, Pak Zain, dan Pak Amir. Setelah dirasa semua perlengkapan sudah siap dan tidak ada yang tertinggal, mereka semua turut masuk ke dalam bus.
Aminah dan Wildan sama-sama berdiri mematung ketika tahu hanya ada satu kursi kosong di sana. Cukup untuk mereka duduk berdua, tapi rasanya terlalu sungkan. Mereka berdua sama-sama melirik kanan kiri, meminta seseorang bertukar tempat. Tapi mereka sudah pas dengan teman sebangku dan urung berpindah tempat. Tempat duduk lain juga sudah dipenuhi oleh dewan guru yang turut serta mengantar mereka ke bandara untuk terbang menuju Natuna.
“Kamu saja yang duduk, kalau kita berdua kamu pasti merasa tidak nyaman.” Ucap Wildan mempersilakan.
“Enggak apa-apa, Kak. Berdua aja.” Kata Aminah.
Akhirnya mereka pun duduk dalam satu tempat yang sama, canggung memang, tapi bagaimana lagi. Bus itu pun melaju meninggalkan MA Bakti Negeri, melabuhkan sepuluh orang siswa terbaiknya untuk bertolak ke Natuna.
Lima belas menit berlalu, tidak ada satu kata pun yang terucap dari bibir keduanya. Aminah mencoba melirik ke samping, mendapati Wildan yang sedang sibuk dengan kertas yang berisi kegiatan mereka di sana.
Aminah mencoba mengubah arah pandangannya, memutar kepala mnghadap jendela. Namun saat Aminah mencoba menutup matanya, seseorang di sampingnya berkata “Sudah semangat ya, Dik?”
Aminah lekas menghadapkan wajahnya pada Wildan, dilihatnya Wildan sudah tidak lagi berkutat dengan lembaran kertas itu.
“Iya, Kak. Aminah harus tahu dunia luar itu gimana. Pasti seru bisa main di hutan terus ngajar anak-anak desa.” Ucapnya antusias, padahal dalam hati juga ragu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Insan Terbaik di Waktu Terbaik
ChickLitCerita ini sudah terbit ya, jadi untuk kamu yg mau bertanya perihal buku bisa langsung chat aku:) vote and comment guys! Aminah Wardhani, gadis cantik dengan sifat manja luar biasa dan tingkah unik di atas rata-rata ini tengah jatuh cinta dengan seo...