Erina tanpa sadar memelankan langkah kakinya saat mendengar suara pertengkaran yang sudah tak asing di telinganya, suara-suara gaduh dari barang yang jatuh pun terdengar menyusul suara pertengkaran dari kedua orangtuanya yang berada di dalam rumah.
Saat Erina telah berada di dalam rumah yang kondisinya tampak memprihatinkan, karena banyaknya barang pecah yang memenuhi lantai ruangan. Terlihat kedua orangtuanya yang sejak tadi beradu mulut dengan kompak menatap kedatangan Erina.
"Erina, kali ini Mama sama Papa benar-benar akan bercerai. Jadi kamu ikut Papamu dan Mama akan pergi dari rumah ini," ujar Eva, Mama Erina yang tengah menenteng dua koper besar di kedua tangannya.
"Gak bisa begitu! Erina akan ikut kamu, karena aku akan memiliki keluarga baru!" Egi, Papa Arina menyahut dengan teriakannya yang menggema di dalam ruangan.
"Enak aja kamu, Mas! Setelah selingkuh sana sini, kamu masih mau limpahin anak kamu ke aku!" Eva menatap Egi berang.
"Memang sepatutnya Erina ikut kamu! Kamu Mamanya dan sudah tugas kamu mendidik dia!"
"Kamu jangan mau enaknya aja, ya! Sudah syukur aku gak laporan tentang perselingkuhan kamu dan milih cerai secara damai! Sialan kamu!"
Suara barang pecah pun kembali terdengar menghiasi pertengkaran Eva dan Egi, mulai dari guci sampai firgura foto mereka semuanya hancur berantakan.
Kedua orang itu tampak kesetanan dan saling melemparkan barang ke dekat mereka satu sama lain, mereka tidak memedulikan Erina yang menangis histeris melihat keduanya.
Eva keluar dari rumah terlebih dahulu setelah menendang meja kaca hingga terpecah belah lalu menutup pintu dengan meninggalkan suara keras.
"Kamu ikut Mamamu, karena rumah ini akan Papa jual," ucap Egi yang ikut berlalu menyusul Eva.
Erina jatuh terduduk di atas lantai yang bersih dari pecahan kaca, tangisnya tergugu karena kondisinya yang tidak lagi memiliki siapa-siapa. Kedua orangtuanya pun sudah tidak menyayanginya, walaupun ia anak satu-satunya mereka.
***
Erina berdiri di atas jembatan seorang diri, ia tidak memedulikan jam yang sudah menunjukkan pukul dua belas malam. Keadaan kota Jakarta sudah sepi dan hanya ada beberapa kendaraan yang berlalu lalang.
Rasa takut sama sekali tidak ada di benak Erina, bahkan sekalipun ada orang jahat nanti, Erina tidak peduli karena ia pun sudah tidak memiliki siapa-siapa.
Setelah sore tadi melihat bagaimana orangtuanya bertengkar, Erina pun memutuskan keluar rumah setelah mengambil beberapa barang yang diperlukan.
Kepulangannya ke kota asalnya, awalnya untuk pulang sambil mengambil barang yang ketinggalan. Ia sudah menduga orangtuanya akan bertengkar seperti setengah tahun ini, tapi Erina tidak menyangka jika pada akhirnya kedua orang tuanya benar-benar akan bercerai.
Tak terasa air mata Erina kembali menitik keluar seolah tidak ada habisnya, entah sampai kapan Erina akan menangisi keadaannya yang sudah berantakan.
Semiliar angin malam berhembus kencang sampai membuat rambutnya ikut terbang ke belakang, rasa dingin yang menusuk kulit sama sekali tidak berarti dengan rasa sakit di hati Erina.
Matanya lalu memandang sungai yang ada di bawah jembatan, dugaannya sungai itu pasti sangat dalam. Erina jadi berpikir jika ia jatuh ke sana, apa bisa mengembalikan keutuhan keluarganya?
"Andai Nenek Kakek masih ada, mungkin aku bisa meluk mereka sekarang." Erina mengusap kasar air matanya yang lagi-lagi jatuh membasahi pipinya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
SUGAR DADDY | 21+ (END)
Romansa• CERITA DEWASA • Erina Bestari, gadis 19 tahun yang merasa hidupnya tak tahu arah saat orangtuanya memilih jalan cerai karena kesalahan papanya yang selingkuh. Erina yang kesepian dan kekurangan kasih sayang akhirnya bertemu dengan Davin Mahendra...