April 2025
—Jati Samudra
Saya nggak pernah mengira bahwa April ini akan menjadi April yang mengejutkan dan agaknya terlalu banyak yang terjadi dan yang saya rasakan April ini. Perasaan senang, berbunga, gundah, cemas, khawatir, sedih. Rasanya semua bercampur jadi satu di waktu yang bersamaan dan tidak bisa saya tebak kapan kedatangannya.
Ketika saya pertama kali mengetahui bahwa Kalina pernah menikah lalu kemudian bercerai, meski saya penasaran, saya nggak mencoba untuk mencari tahu alasan dia berpisah dengan suaminya, saya hanya mencoba mengira dari hubungan keduanya yang masih terjalin baik sampai detik ini bahwa mungkin alasan perpisahan itu tak buruk—padahal, jika dipikir lagi, kalau tidak buruk, untuk apa mereka berpisah?
Betapa bodohnya saya saat itu.
Dan saya tambah merasa bodoh dan seperti tak punya perasaan saat saya mendengar pertanyaan Mbak April, "Gimana rasanya bercerai, Kal?"
Saya terlalu peduli pada perasaannya saat memutuskan untuk menikah, padahal semua orang pasti tahu kalau menikah adalah salah satu hal yang membahagiakan, apalagi dengan orang yang tepat. Orang-orang terkadang tidak peduli dengan perasaan seseorang saat memutuskan untuk bercerai. Orang-orang lebih peduli dengan alasan daripada perasaan.
Saya merasa bersalah sampai tak bisa mengatakan apa pun pada Kalina malam itu, bahkan rasanya malu untuk menemuinya.
Kalau saja saya bisa menanyakan perasaannya lebih awal, saya ingin memeluknya, mengatakan bahwa semua akan membaik, bahwa semesta pasti punya rencana yang lebih indah, sebagaimana saya menyemangati diri sendiri selama ini. Dan mungkin setelah itu, saya akan mengajaknya untuk bangkit bersama, untuk mengobati luka sama-sama, untuk meraih rencana indah itu sama-sama.
Apakah Kalina mau?
Kalau tidak, apakah saya diberi kesempatan untuk tetap memeluknya dan mengatakan kalimat semangat itu meski terlambat?
Saya tersenyum kikuk saat perempuan itu muncul di depan pintu saya setelah pesta di rumah Mbak April. Dia masih mengenakan pakaian yang sama, wajahnya terlihat seperti baru bangun tidur tak lama sebelum memutuskan untuk datang, agaknya hanya sempat membasuh wajah dan merapikan rambutnya menjadi satu gulungan di atas kepala.
"Mbak April bilang, Mimo dibawa kamu."
Belum sempat saya menjawab, kucing abu-abu itu muncul di antara kaki saya, mengeong seraya menghampiri maminya, dan seketika membuat Kalina tersenyum lalu jongkok untuk mengelus kucing tersebut.
"Mimo, Mami nyariin kamu tadi, tapi kamu nggak ada," katanya. "Mami khawatir."
Kucing itu mengeong saat Kalina menggendongnya.
"Tapi kamu pasti seneng main sama Om Jati, kan?"
Saya terkekeh mendengarnya. "Om?"
Kalina mendongak, meringis kecil. "Eum ..., Paman?"
Saya memiringkan kepala, tak merasa panggilan itu juga lebih baik.
"Atau ... Abang? Kakak?"
Saya menggaruk dagu. "Om kedengeran nggak terlalu buruk." Saya memberi cengiran kecil. "Saya nggak ngerasa kalau saya semuda itu buat dipanggil Kakak atau Abang."
Toh, saya juga nggak bisa menuntut Kalina memberi panggilan Papi untuk saya, kan? Jangan bercanda, saya cukup tahu diri untuk tidak merebut posisi seseorang.
"Ngomong-ngomong soal muda," Kalina berdiri lagi, masih dengan Mimo di gendongannya. Dia menatap saya cukup serius. "Berapa tanggal lahir kamu? Semalem kita bahas soal kita yang sama-sama lahir bulan April."