Love at first sight!

3 0 0
                                    

Sering kita mendengar pepatah 'nikmatilah hidupmu sebelum beranjak di usia 20'. Aku yakin pepatah itu benar. Seperti halnya aku memasuki dunia perkuliahan sekarang. Waktu memang cepat berlalu, rasanya seperti baru kemarin aku masuk Sekolah Menengah Atas. Tapi sekarang aku sudah harus pergi dari rumah. Bukan, bukan karena kedua orangtuaku mengusir, tapi aku harus mengenyam pendidikan di perguruan tinggi yang berada di ibu kota.

Kedua orang tuaku sangat bangga. Mereka berhasil membiayai anak perempuan pertamanya mengenyam pendidikan tinggi. Mengingat mereka berdua hanya menyelesaikan pendidikan sampai di Sekolah Menengah Atas. Tentunya hal ini sangat membanggakan bukan?

Sebelum mengantarku berangkat, ibu sudah memastikan semua perlengkapan untuk bertahan hidup disana. Semua ia cek berkali-kali. Maklum, baru kali ini ibu melepaskan anak gadisnya.

"Tenang bu, aku sudah besar, aku bisa menghadapi semua"

Aku pun juga harus menyiapkan perlengkapan yang digunakan ospek nanti. Apalagi aku diterima di jurusan teknik yang banyak orang bilang jurusan paling disiplin. Aku cek satu persatu mulai dari seragam, buku, ikat pinggang, dan dasi.

Aku merasa sedikit janggal, seperti ada sesuatu yang kurang. Hingga aku sadar aku melupakan id card peserta ospek. Masih sambil mengingat, ponsel berbunyi menampakkan notif dari Satrio, salah satu teman kelasku nanti.

"Yang mau ambil id card, temuin gue di warteg sebelah kampus jam 1 siang @malvin @najwa @firman @chaca"

Aku melihat namaku ditandai dalam pesannya, sontak aku teringat beberapa hari yang lalu aku menitipkan desain id carku dan Malvin untuk dicetak pada Satrio.

Ngomong-ngomong soal Malvin, sebelumnya aku belum pernah mengenalnya. Satu hal yang sempat aku tahu, dia merupakan teman sekelas dengan nomer absen berada tepat sebelum absenku. Sebagaimana yang tertulis pada id card yang dititipkan Malvin padaku.

*******

Perjalanan begitu melelahkan. Meskipun hanya berjarak kurang lebih 50KM dengan waktu tempuh dua jam, jarak antara rumah dan kosku terasa seperti semalam suntuk. Bukan mengapa, aku harus berdesakkan dengan barang-barang yang kubawa. Tak heran, karena kedua orang tuaku mengantarkan dengan menaiki mobil Xenia biru keluaran tahun 2007. Meskipun sudah sangat lama, tapi kami tetap bersyukur masih diberikan nikmat mengendarai kendaraan berroda empat.

Kos yang akan aku tempati terletak tak jauh dari kampus. Dibutuhkan sekitar 5 menit waktu tempuh untuk berjalan kaki menuju kampus. Selain itu lingkungan sekitar kos terasa begitu nyaman dan asri. Aku disambut dengan pasangan suami istri pemilik kos. Mereka berdua sangat ramah dan terlihat seperti orang yang memang paham agama. Rasanya seperti mendapat jackpot!

Aku mendapat kamar urutan kelima dari gerbang paling luar. Tak buruk, karena di depan kamarku tersedia kulkas milik bersama. Selain itu kamarku juga terletak deket dengan tempat mencuci piring, dapur, dan kamar mandi. Ya, aku memilih tipe kamar mandi luar. Tapi tak perlu khawatir, tadi ibu kos sempat bilang bahwa kamar mandi dibersihkan setiap hari.

Kamarku berdinding cream dengan meninggalkan beberapa ornamen milik penghuni sebelumnya. Sangat membantu. Dibantu ayah dan ibu, aku memasukkan barang-barang yang dibawa tadi kedalam kamar dan menatanya agar enak dipandang.

Berulang kali ayah mengucapkan nasihat seperi "jangan lupa ibadah", "jangan lupa istirahat", sampai mengingatkan berapa takaran nasi dan air yang harus kumasak tiap hari.

Kupeluk ibu, kemudian ayah sebagai tanda perpisahan. Tak lama, hanya 4 tahun sampai aku berhasil mendapat gelar Sarjana. Ibu menangis, masih tak rela melepas anak gadisnya di tanah rantau. Ibu berusaha meyakinkan dirinya bahwa ia harus rela berpisah demi masa depan yang lebih baik bagi putrinya.

Kulampaikan tangan mengiringi kepergian Xenia biru itu sambil menahan tangis. Bagaimana pun juga kunci dari kesuksesan harus berani berkorban bukan?

Aku menengok jam tangan yang melingkar manis di pergelangan tangan. Waktu sudah menunjukkan pukul 12:55. Kubuka aplikasi LINE dan mencari grup kelas, beruntung disana Satrio mengirimkan lokasi warteg tempat bertemu. Karena masih baru di lingkungan ini, kubuka lokasi yang dikirimkan Satrio dan mengamatinya dengan cermat agar tidak tersasar. Untung jaraknya dekat, hany dibutuhkan sekitar 5 menit berjalan kaki dari kosku.

Suasana disekitar ramai sebagaimana perkampungan yang banyak membuka kos untuk mahasiswa. Terlihat juga ada beberapa pendatang baru yang sama sepertiku sedang mengangkut pindahkan barangnya dalam kos. Tak heran mengingat besok sudah waktunya ospek.

Kuperhatikan jalanan sambil mencoba menghafal lingkungan yang akan kutempati selama 4 tahun nanti, termasuk mencari jalan tikus untuk menuju kampus agar tak memutar jauh.

Langkahku berhenti di salah satu warteg yang ramai pengunjung, terlihat beberapa mahasiswa yang sedang lahap memakan makanan siangnya. Satu lelaki seperti melambaikan tangan padaku.

"Hei, Chaca bukan?"

Kulihat wajahnya memastikan, wajahnya mirip seseorang yang ada pada profil LINE Satrio.

"Satrio?"

Lelaki itu hanya mengangguk dan mempersilahkanku duduk. Disana sudah ada beberapa teman. Aku berkenalan.

"Halo, aku Audrey Salsa. Biasanya dipanggil Chaca, salam kenal ya semua"

Aku memperkenalkan diri. Seperti bukan diriku, karena aku tak pernah seramah ini sebelumnya. Memang aku bertekad saat ada di bangku perkuliahan nanti aku harus lebih berani bertemu orang baru.

Satu persatu mulai memperkenalkan diri.

Davi, si gadis lucu yang ternyata masih satu domisili denganku.

Najwa. Awalnya aku takut berkenalan dengannya, wajahnya tampak tegas khas gadis Batak. Namun semua itu luntur saat Najwa menyapaku riang

Daniel. Sosok periang dari Bali. Satu kesanku untuk Daniel, bagaimana dia mendapatkan energi untuk melakukan hal hal random di saat awal pertama bertemu.

Satrio. Seperti yang sudah kutulis sebelumnya, dia yang membantu teman-teman untuk mencetak id card.

Frans. Entah apa yang ada dipikirannya, ia bertingkah usil meski hari ini pertama kali bertemu. Aku terbahak-bahak melihat tingkahnya.

Masih ada satu lagi. Ia duduk di pojok, di sebelah Satrio. Sedari tadi ia sibuk memperhatikan ponselnya, entah siapa yang sedang ia tunggu pesannya. Kalau tidak salah dengar, tadi Satria sempat memanggilnya dengan nama 'Malv'. Malv? Malvin? Entahlah kita tunggu saja.

"Halo, Chaca kan?"

Aku yang awalnya sibuk menertawakan ulah Frans dan Daniel berpaling mencari sumber suara yang tak lain dan tak bukan berasal dari lelaki yang duduk di sebelah Satrio.

"Gue Malvin, makasih yah udah dibantuin bikin desain id card"

Bak tersihir, aku seperti tak bisa mengeluarkan kata-kata. Kucoba berdeham untuk menetralkan. Agar tidak semakin canggung aku membalasnya dengan senyum tipis.

"I-iya, sa-sama sama"

Jawabku tergugup. Malvin terlihat menyungginggkan senyumnya melihat tingkahku. Satu kata kini yang terbayang di otakku. Tampan.

Ini kah yang dinamakan cinta pada pandangan pertama?

Chaca's DiaryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang