Pantai

2 2 0
                                    

Pantai Sisi, menjadi saksi betapa bahagianya dua tim relawan yang berbeda daerah itu berbaur. Semuanya asyik bercengkerama, Aminah yang pagi ini sudah kelelahan nampak berdiri sambil berkacak pinggang dengan napas yang terengah-engah. Ya, pagi-pagi buta seperti ini sudah kelelahan, karena sedari tadi berlari-lari bersama anak-anak desa.

Aminah memang tidak pernah berubah, selalu hadir dengan warna-warna cerah yang membangkitkan semangat. Pagi ini ia berdiri di pantai dengan setelan yang hampir selalu sama, hanya saja bermacam-macam warna. Celana kain berwarna putih, kemeja putih di atas lutut dengan gambar spongebob yang hampir memenuhi seluruh permukaan baju itu, serta hijab kuning terang lengkap dengan kacamata hitam.

“Kagum gue sama lo, style lo hype abieezzz. Dari kemaren unik semua loh, udah kaya ciri khas Aminah. Always pakai baju yang ceria.” Ucap Ahmad dengan wajah ceria.

Aminah hanya tertawa, membuat Wildan yang ada di bawah pohon nampak tersenyum dengan tatapan yang tidak bisa diartikan.

Ahmad kemudian mengajak Aminah untuk lanjut bermain dengan anak-anak desa itu. Mereka semua nampak mahir berenang dan menyelam di lautan. Ya tentunya bukan hal aneh, karena jarak pantai ini cukup dekat dan dapat di tempuh dengan berjalan kaki.

Aminah tersenyum sambil menatap Ahmad yang kini sudah dikubur dengan pasir oleh anak-anak desa. Rasanya baru kemarin ia terjungkal di tengah hutan karena matanya selalu melirik ke arah laut yang ada di sisi jalan. Dan hari ini, ia bisa menikmati indahnya laut dan lembutnya pasir ini secara langsung.

Aminah yang sedang menikmati pemandangan itu tidak sengaja menangkap dua orang di bawah pohon yang sedang berbicara dengan serius. Aminah yang merasa mengenal dua orang itu segera membuka kacamata hitam miliknya untuk memperjelas siapa dua orang itu. ternyata tidak salah, itu adalah Aina dan Wildan.

Dengan segera Aminah melangkah mendekati mereka. Namun baru beberapa langkah, ia berbalik. Ia tidak merasa memiliki urusan apapun dengan mereka, hingga sepertinya ia tidak harus tahu apa yang dibicarakan mereka.

Tapi rasa penasaran yang kuat membuat kakinya melangkah lagi. Ia berjalan mengendap dan mengintip dari balik pohon kelapa. Dilihatnya raut wajah Aina yang begitu murung, berbanding terbalik dengan wajah Wildan yang begitu datar, bahkan terkesan malas mendengarkan Aina.

“Aina, dengar. Tidak ada yang berubah dari perlakuanku. Aku tidak pernah merasa menjauhi kamu.” Ucap Wildan dengan nada sedikit membentak.

“Oke, oke. Tapi, Dan... Aku suka sama kamu. Dan rasa itu gak pernah berubah sampai kapan pun. Aku sudah berusaha buat lupain kamu, tapi gak bisa. Hikss..” Ucap Aina tak kalah membentak.

Namun akhirnya pertahanannya pun runtuh dan mulai menangis.
Aminah yang ada dibalik pohon itu menganga tanpa aba-aba.

“Katanya sahabat, ternyata suka. Bilangnya Kak Wildan banyak yang suka, ternyata dia juga salah satunya. Bilangnya Kak Wildan punya pacar di Bandung, terus dia mau nikung, gitu?” Pikir Aminah heran.

“Untuk itu aku gak bisa, dan sampai kapan pun aku gak bisa. Aina, kita hanya teman, dan seterusnya seperti itu.” Tegas Wildan seraya meninggalkan Aina yang masih tersedu.

Aminah kemudian berbalik, lalu berjalan kembali ke arah tim berkumpul dengan perasaan bingung. Aminah yang berjalan dengan tatapan kosong itu tidak sadar bahwa di depannya ada sepotong kayu. Dan alhasil, untuk kesekian kalinya ia terbang bebas yang kemudian jatuh terjerembab.

Wildan segera mengejar dan menangkap lengan perempuan yang sudah tiarap di atas pasir itu.

“Apakah hobi kamu adalah jatuh, Dik?” Tanya Wildan yang sudah mulai jengah.

“Untung gak sakit, hehe..” Ucap Aminah sambil cengar-cengir.

Wildan sudah geleng-geleng kepala mendengar jawaban Aminah.

“Sangat ceroboh.” Pikirnya.

***

Insan Terbaik di Waktu TerbaikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang