Kupandangi ibuku yang terbaring tak sadarkan diri di atas brankar. Rambut yang memutih, kerutan di wajah serta mata yang tertutup rapat. Rasa sakit menamparku dari berbagai arah.
Kuraih tangannya lalu mengecupnya singkat. Kupandangi lekat lengan dengan tato huruf Y dengan tulisan Jepang yang hampir pudar itu dengan seksama. Aku ingat benar dia membuat tato itu secara diam-diam dan terjadi perkelahian sengit antara dia dan Ayah setelahnya.
"Asam lambungnya kembali kambuh. Setiap makanan yang diberikan selalu dia buang. Hal itu menyebabkan dirinya kehilangan banyak tenaga. Beberapa perawat juga mengatakan bahwa dia selalu membuang obat yang diberikan." Dokter Cha menjelaskan dengan suara yang terdengar prihatin.
"Terakhir kali dia sadar, dia terus memanggilmu dan juga nama Yeong-San. Siapa dia?"
Kuhapus air mata dengan tangan lalu melihat ke arah samping—di mana Yoongi dan dua Bodyguardnya masih setia menunggu.
Setelah mendengar apa yang dikatakan dokter Cha di telepon tadi, lelaki pucat itu mengantarku kemari. Ke salah satu rumah sakit jiwa terbesar kota Seoul—tempat di mana ibuku di rawat.
"Dia bukan siapa-siapa," kataku pada dokter Cha. "Dia sering menyebutkan nama seseorang secara acak."
Dokter Cha hanya menganggukan kepalanya. "Setelah meminum obat, aku yakin keadaannya akan membaik. Bersabarlah." Tanganku diraih.
Aku tersenyum tulus padanya. "Terimakasih."
Begitu dokter Cha meninggalkan ruangan. Aku berbalik dan menghampirinya. Dia menatapku sekilas lalu kembali fokus pada ponselnya.
"Jika kau mengizinkan, bolehkah malam ini aku ingin menemani ibuku? Aku berjanji besok pagi akan menerima apapun hukuman yang kau berikan karna telah lancang memata-mataimu." Akhirnya aku menyerah.
Terdengar sulit dan sama sekali bukan diriku. Tapi aku tak punya pilihan lain. Dibandingkan apapun itu, ibuku jauh lebih penting.
"Bagaimana aku bisa percaya bahwa kau tidak akan kabur?" Pria bernama Min Yoongi itu memandangku dengan kesal.
Kuhembuskan nafas panjang lalu mengeluarkannya perlahan. Kau menang kali ini hanya karna tidak keberdayaanku Tuan Min.
"Ponsel, kunci mobil, tanda pengenal, pasport, sejumblah uang dan beberapa kamera serta flashdisk." Kuserahkan tas selempang yang kupegang padanya. "Bawa ini sebagai jaminan."
Dia tertawa sinis sambil memandangi tas yang masih kuulurkan di depan wajahnya.
"Aku tak butuh semua itu," sinisnya dengan begitu sombong. Lalu, dia berdiri. Membenarkan kancing kemeja di lengan kemudian memakai kacamatanya.
"Kalian berdua tetap di sini sampai besok pagi. Akan kuminta Sejin mengantar keperluan kalian. Jaga gadis ini sampai aku kembali." Dia menunjuk kedua Bodyguard di sampingnya.
Aku menganga tak percaya. "Jangan gila!" hardikku. "Ini bukan hotel."
"Aku bahkan bisa membeli gedung ini detik ini jika aku mau," jawabnya tak mau kalah.
Aku hampir lupa siapa dia.
Kuhentakkan kaki dengan kesal ketika pria angkuh itu keluar dari ruangan. Tapi sejujurnya ini lebih baik. Setidaknya dia tidak berniat melaporkanku pada polisi.
Iyakan?
🍊
Paginya, ketika aku selesai membersihkan diri, aku keluar dari kamar mandi dan mendapati salah satu Bodyguard Tuan pucat tengah berdiri di depan pintu sambil melihat ke arah arlojinya. "Nona, Bosku memintamu untuk menemuinya di Rooftop gedung ini." Lalu, dia berjalan lebih dulu. Seakan mau mengantarkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Are You A Sasaeng?
FanficFANFICTION OF BTS SUGA ~ Dua puluh juta won dalam satu Flashdisk yang hanya berisi beberapa foto dan rekaman video. Bagiku, itu adalah tawaran yang teramat menggiurkan. Bodoh sekali jika aku menyia-nyiakannya. Hal-hal bersifat privasi mengenai Akto...