15

1K 240 16
                                    

Hingga hari ketujuh, terhitung semenjak pertemuanku dengan cowok aneh bin ajaib tukang setrum, dia belum menunjukkan batang hidungnya. Barangkali Putih benar. Aku tidak termasuk dalam daftar prioritas. Itu artinya kesempatan tinggal di kota ini sebagai manusia biasa saja masih bisa kuwujudkan. Tidak perlu melarikan diri ke kota baru. Hanya butuh meningkatkan kewaspadaan terhadap ancaman dari Bulan darah dan vampir gendeng.

[Kenapa kamu suka membeli makanan tidak bergizi? Apa kamu tidak ingin mempertimbangkan menu baru?]

Aku baru pulang dari minimarket terdekat. Sepulang dari warung, aku ingin menikmati hidup dengan caraku. Alhasil aku pun membeli keripik kentang rasa pedas, cokelat batangan berbagai merek, yogurt dingin, sebotol air mineral ukuran sedang, dan menyempatkan diri jajan makanan kaki lima.

[Kamu butuh mengubah menu makanan.]

“Aku nggak bisa masak,” kilahku.

Kami, aku dan Putih, sedang berjalan melewati gang. Bisa saja sih lewat jalan yang sedikit lebih lengang, hanya saja aku ingin menikmati suasana sunyi....

“Dasar lelaki modal *****! Nggak bisa kerja! Pergi sana!”

“Waaaaa Mama jahat!”

“Kucing garong!”

“Senangnya dalam hatiiiii. Bila beristri duaaaa!”

... disambut keramaian masalah manusia.

[Kenapa manusia tidak bisa menyelesaikan masalah dengan cara baik dan benar?]

Kuabaikan komentar Putih. Ada seekor kucing yang berhasil menggasah ikan goreng dan kini sedang menikmati hasilnya di bawah naungan pohon. Aku mempercepat langkah. Kantong keresek di tanganku pun berayun maju mundur seiring lajuku.

[Dia ada di sini!]

Katakan selamat tinggal kepada istirahat. Di depan indekosku berdirilah cowok yang ingin menyetrumku sampai gosong. Dia sama seperti terakhir kali kami berjumpa; mengenakan pakaian serbahitam ala tokoh penting di komik, berwajah tampan dengan ekspresi kusut, dan sepertinya tidak keberatan menghanguskan hunianku.

“Aku nggak butuh penggangu,” kataku, defensif.

“Justru kedatanganku ke sini untuk menawarkan kesempatan bagus.”

Mobil mewah! Ah benda itu pasti tersembunyi di suatu tempat karena jalan menuju indekos milikku tidak muat dilalui mobil mewah. Hanya motor dan gerobak penjual makanan saja yang mampu.

Dia melirik belanjaanku. “Makan siang yang tertunda?”

“Relaksasi yang tertunda,” koreksiku.

“Apa kamu nggak berminat menawariku masuk? Bicara?”

“Sinting! Bisa-bisa orang menyangka diriku cewek nggak benar. Siapa juga yang ingin menghancurkan reputasi?”

[Aku ada di sini. Tenang saja!]

Omong kosong. Paling Putih memilih jadi penggembira, menyemangatiku bertarung sampai mampus. Nggak keren!

“Dengar,” katanya, nada suara yang ia gunakan sedikit rendah dan terkesan tidak mengintimidasi, “yang kulakukan kemarin memang keterlaluan.”

“Keterlaluan?” teriakku, tidak percaya. “Halooooooo kamu berniat membunuhku! Apa itu nggak ada artinya di kamus hidupmu?”

“Kamu masih hidup, ‘kan?”

“Berani taruhan kalau aku nggak bisa mengelak dari seranganmu, maka kamu akan memutuskan menghabisiku tanpa berpikir dua kali.”

[Kan ada aku....]

ALL OF THEM WANT TO KILL HER (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang