"Ibu-Bapak harap tenang, pihak sekolah sedang memberikan upaya agar uang Ibu-Bapak kembali." Suara Bu Irene mengudara lewat alat pelantang di atas peyangga, membuat keributan di lapangan lenyap seketika. "Kasus ini akan segera tuntas, mohon kerjasamanya."
"KAMI INGIN UANG KAMI KEMBALI, SEKOLAH INI TIDAK BISA MENGAMBIL UANG KAMI SEENAKNYA HANYA KARENA BIAYA SPP BELUM TUNTAS!" Teriak seorang bapak-bapak yang disahuti wali murid lain.
"IYA, KEMBALIKAN!"
"BISA-BISANYA PIHAK SEKOLAH TIDAK BECUS MENGURUS BIODATA ANAK KAMI!"
"Iya, saya paham, saya minta Ibu-Bapak semua tenang, saya dan kepala sekolah serta guru-guru akan mengusahakan agar uang kalian kembali sesuai dengan nominal yang sebenarnya."
Bu Aninta, sang kepala sekolah itu berjalan ke arah aula tempat di mana Bu Irene menenangkan suara-suara yang semakin tidak kondusif. Bu Irene yang melihat kehadiran beliau menyodorkan alat pelantang. Sontak Bu Aninta maju dan bersuara, memecah keributan.
"Saya Aninta, selaku kepala sekolah menegaskan perihal uang yang hilang dan biodata murid yang tersebar di media sosial. Saya dan seluruh dewan guru meminta maaf atas kelalaian kami dalam mengamankan berkas tersebut, dan sebagai permohonan maafnya Pak Raditya, pemilik SMK Nirwana, akan mengembalikan uang Ibu-Bapak sekalian sesuai dengan nominal yang ada. Dan untuk biodata yang tersebar, kami akan berusaha menghapusnya dari akun sekolah. Ibu dan Bapak sekalian bisa langsung menerima uangnya sekarang, untuk itu perlu bertemu dengan Pak Raditya dulu di ruangan beliau. Sekian informasi yang dapat saya sampaikan."
Di ruangan kelas yang sepi hanya tinggallah segelintir orang yang menetap sembari bermain ponsel. Tak terkecuali Abel dan teman-teman yang lain, banyak dari siswa atau siswi yang berkeliaran ke mana-mana karena guru sedang sibuk mengurus wali murid yang demo di lapangan. Tapi Abel memilih berada di kelas bersama yang lain karena ingin mendengar informasi yang kepala sekolah sampaikan.
"Alhamdulillah, akhirnya selesai juga nih masalah," Riana mengelus dadanya merasa lega, lain hal Deeva yang tampak bingung di bangkunya. Mereka bertujuh sedang berkumpul di meja Shana, menyatukan meja yang lain agar cukup untuk acara ghibah seperti biasanya. Namun kali ini Abel dan yang lain tidak mau ghibah, melainkan membahas masalah tentang berkas itu. Masalah yang membuat pagi ini kacau.
"Tapi serius yang ganti uang itu Pak Raditya?"
Shana mengangguk, Deeva pun menghela.
"Masalahnya itu uang banyak anjir, pasti ada sampe satu miliar." Cekutuk Sella sambil menutup ponselnya. Sudah cukup lama ia berkutat pada benda itu dan sekarang batreinya hampir habis.
"Pak Raditya emang baik banget yaa ... kek, ah ... idaman banget deh." Ujar Missa dengan senyum merekah.
Shana menabok lengan gadis yang baru berucap itu pelan. "Masih idaman Pak Vion, meski tiap minggu kuis mulu, tapi beliau tuh ya suami idaman."
"Lo pikir gue mau jadiin Pak Raditya suami? Eee ... ogah banget, masa gue jadi pelakor? Udah gitu Mama-nya Keno."
"Nggak papa kali Miss, malahan, tiap hari lo pasti tidur di tumpukan uang. Minusnya ya cuma satu, jadi Mama tiri Keno, hahaha!" Tawa itu berasal dari Kiera.
Abel yang semula diam pun ikut menyemburkan tawa. "Ya kalo Missa jadi Mama tiri Keno, Missa juga jadi mertua lo dong Ra!"
Shana dan Deeva kompak menutup mulut. "Eh iya, kan lo berdua udah ..."
Kiera tersentak. "Apaan sih lo Deev, berisik!"
"Ekhem, ekhem!" Shana berdehem, Kiera lantas menoleh seraya menautkan alis.
"Acieee maluuu," seru Riana membuat pipi Kiera bersemu. Tapi gadis itu mana mau menunjukanmya, ia harus terlihat bodo amat dan seolah tidak peduli.
"Hayolo, kalo gue jadi mertua lo, tiap hari lo gue masakin tempe, budeg-budeg dah lo!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Ineffable |End|
Teen FictionIneffable adalah sesuatu yang melampaui kemampuan bahasa untuk mengungkapkannya. Arti lain adalah "tak terlukiskan". Ada banyak kisah yang ditulis di cerita ini, salah satunya Abel. Gadis berkulit sawo matang yang tidak percaya akan cinta. Abel piki...