24. Markus Side Of

7.4K 638 27
                                    

Setelah kepergian Gama, Markus begitu menyesal. Mengapa Ia dengan sembarangan mengucap hal yang tentu akan menyakiti putranya.

"Aku akan kembali ke Rumah Sakit, jika butuh bantuan hubungi saja." Pamit Ryan.

Sosok dokter itu sengaja memilih pergi agar Markus dapat menenangkan diri. Hal seperti ini harus diatasi secara hati-hati, Ia tak mau semakin memperkeruh hubungan Ayah-Anak itu.

Markus menghela nafas berat. Hari sudah malam, tapi kehendak untuk menahan sang Putra sungguh tak kuasa.

"Tuan, Leo mengatakan Tuan Muda Gama hanya butuh menenangkan diri." beritahu Nico sang tangan kanan.

Markus mengangguk, dirinya memang harus memberikan Gama ruang untuk menenangkan diri. Tapi disinilah dirinya yang tak bisa tenang.

"Sambungkan panggilan dengan Leo." putus Markus.

Kepalang kesal jika dirinya disuruh menunggu, dalam otaknya sekarang hanya bagaimana Gama mau mendengarkan penjelasannya.

"Silahkan berbicara Tuan." Nico meminta untuk Markus menyampaikan maksudnya.

"Leo. Bantu aku berbicara dengan Gama, Aku harus menjelaskan semuanya. Aku tak mau Ia sedih berlarut. Sambungkan ini pada ponselmu dan katakan Aku ingin bicara." Tanpa sadar sosok pria itu berkata dengan tergesa, beruntung sang bodyguard paham.

Sebentar Markus dapat mendengar percakapan diseberang sana. Sedikit berharap bahwa Ia dapat mendengar suara sang Putra.

Pintu mobil yang berbunyi menandakan bahwa Leo telah meninggalkan Gama sendiri.

Markus menarik nafas, berusaha tenang dan baik untuk mengutarakan.

"Gamavin...." dirinya mulai bersuara, tak ada balasan dari seberang sana.

"Gamavin putra Ayah...." meski kembali tak dapat jawaban, tapi setidaknya Markus mendengar suara isak tangis disana. Ah putranya ada.

Ia putuskan untuk kembali berbicara.

"Gamavin Alessandro Martin, Putra Ayah... Ayah boleh minta tolong dengar sebentar ya? sebentarr sajaa..." jika saja Gama melihat bagaimana raut permohonan dari wajah sang Ayah, pasti dirinya tak tega.

Markus bak orang gila yang berbicara pada ponsel seperti dengan seorang manusia. Tak apa, kita maklumi saja.

"Gamavin tau tidak momen paling Ayah dambakan dalam kehidupan Ayah itu cuman dua. Saat menikah dengan Mama Tivania, dan saat pertama kali Ayah dipanggil dengan 'Ayah'

Momen dimana semua orang tak perlu waktu lama untuk bisa mendapatkan gelar itu, Ayah baru bisa mendapatkan tiga bulan lalu—"

Ah rasanya Markus malu bagaimana dirinya mulai tersenyum mengingat itu. Momen di saat keputusan yang sangat besar dipertaruhkan.

Apakah dirinya mampu? apakah dirinya bisa? dan bagaimana dirinya berhasil membawa seorang anak laki-laki untuk dibesarkan seorang diri.

Itu semua kerap menjadi penekanan penting dalam keputusan Markus.

"— Rasanya begitu asing, tapi itu yang Ayah tunggu. Dimana seorang anak laki-laki yang begitu baiknya, berkenan memanggil Ayah dengan sebutan yang begitu mulia." lanjut Markus begitu lembut.

"Yang Gama dengar tadi tidak salah nak...Saat Ayah akan mengadopsi Gama, pikiran itu terbesit begitu saja. Ayah tak menyangkal, memang itu adanya."

Katakan Markus bodoh, tapi memang itu sempat terjadi. Mengadopsi Gama hanya untuk mewujudkan harapan Tivania dan menjadikan penerus perusahaan terbesit begitu saja.

Gamavin and The Martin [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang