Areta tersenyum sinis ketik dia mendengar perdebatan Khalifah Harun dan Ratu. Meski suara mereka hanya terdengar samar-samar, wanita itu diam-diam merasa senang melihat semua kejadian tadi. Tak butuh waktu lama dia pun memilih pergi untuk menghindari kerumunan. "Mari kita lihat apa yang akan aku lakukan besok untuk membuat pertengkaran kalian lebih besar dari ini," gumam Areta sambil lalu.
Wanita itu tak menyadari bahwa perkataannya masih bisa didengar beberapa pelayan ratu, termasuk Halima dan Aliyah yang menunggu di depan pintu kamar ratu. "Dasar wanita ular," gumam Aliyah kesal.
Ucapannya dihadiahi sikutan oleh Halima, seolah mengingatkan juniornya agar menjaga perkataan. "Jangan kencang-kencang, semua tempat di istana ini memiliki telinga," ujar Halima tersirat. Aliyah hanya bisa menyesali perkataannya, gadis delapan belas tahun itu tampak ketakutan mendengar peringatan Halima.
Areta yang mendengar percakapan dua dayang tadi, hanya menyunggingkan senyum sinis. "Kalian boleh menghinaku hari ini, tapi kita lihat saja apa yang akan aku lakukan pada kalian jika berhasil menjadi ratu," gumam Areta sepanjang jalan. Tak berapa lama, wanita dengan paras cantik dan rambut pirang itu tersenyum senang saat melihat selir Kasif tengah berjalan menuju ke kediaman Ratu, dia yakin sekali kalau mereka juga bermaksud melihat kegaduhan yang tengah terjadi.
Areta menyunggingkan senyum culas, sekali mendayung dua pulau terlampaui, batin wanita itu girang. "Kebetulan yang sangat menguntungkan," gumamnya dengan senyum senang.
"Apa Anda juga ingin melihat keadaan Ratu?" tanya Areta sambil memberi salam hormat. Dia bersikap sok akrab pada selir Kasif. Padahal sebelumnya mereka belum pernah sekalipun bersinggungan. Agaknya wanita itu memiliki maksud tersembunyi.
Pertanyaan nya membuat langkah selir Kasif terhenti, wanita berkulit coklat itu terpaksa meladeni pertanyaan Areta. Dia mengamati wanita di depannya sejenak, sedikit merasa aneh karena tiba-tiba selir baru Khalifah mengajaknya bicara. "Ya, aku ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi."
Areta mengangguk paham, dia masih memasang wajah pura-pura polosnya. "Sepertinya Ratu tengah marah pada Raja mengenai putra mereka," ujarnya dengan nada berbisik. Wanita itu sengaja mengatakan hal tersebut untuk memancing reaksi selir Kasif.
Usahanya memang berhasil, karena sekarang selir Kasif mulai terpengaruh. Lama dia mengamati sekitar sebelum bersuara. "Bisa kita bicara di tempat lain yang lebih sepi? Atau kita ke ruanganku saja?"
"Dengan senang hati, Nyonya," jawab Areta lalu mengikuti langkah selir Kasif.
"Katakan padaku apa yang barusan kamu dengar ketika Raja dan Ratu berdebat?" Kasif bertanya dengan wajah serius ketika dua wanita itu sudah sampai di kamar selir Kasif.
"Sepertinya Ratu marah pada Khalifah karena dia terang-terangan tak menyukai putranya sebagai penerus tahta," ujar Areta dengan nada sepelan mungkin. Wanita itu menatap selir Khasif sejenak untuk memastikan reaksinya.
Sesuai keinginan Areta, Selir Kasif tersenyum samar, lalu menyeruput secangkir teh di depannya. Areta tentu tahu apa arti senyum meremehkan wanita itu.
"Baguslah, aku yakin Khalifah pasti tahu yang terbaik untuk negeri ini, dan putranya dengan Ratu tentu bukan pilihan yang tepat. Tinggal menunggu waktu sampai anak itu akhirnya akan menghancurkan negeri ini, dan calon raja yang baik akan datang," ujar selir Kasif yakin.
Areta mengangguk setuju, dengan senyum anggun dia pun menjawab. "Seperti putra Anda misalnya," ujarnya kemudian.
Kasif tersenyum mendengar ucapan tersirat Areta. Selama beberapa bulan sejak kedatangan selir baru raja di istana, baru kali ini keduanya bisa bicara dengan akrab. "Aku tak menyangka kau orang yang sangat menyenangkan. Mungkin lain kali aku akan mengenalkan mu pada seseorang."
KAMU SEDANG MEMBACA
Anzilla dan Sang Khalifah
Ficção HistóricaAnzilla Jhonson, wanita Amerika keturunan Yahudi yang begitu benci dengan islam karena cerita turun-temurun di keluarganya. Dia sengaja berkuliah di University Of Bagdad untuk membuktikan kebenaran tentang sejarah buruk kekhalifahan islam termasuk H...