Prolog

13 1 1
                                    


Musim panas telah usai. Telah muncul riak air yang mengenang di setiap ujung kota. Di jalanan dekat rumah terdapat satu-satunya toko berpenerangan putih benderang pada trotoar jalan yang biasa dibuka pukul tujuh malam, dengan uap putih mengepul yang bahkan dari jauh dapat dirasakan aura hangatnya di antara dinginnya malam ini. Aroma ubi bakar manis menyeruak memenuhi pernapasan bahkan saat baru memasuki gang itu. Pemiliknya lelaki paruh baya dengan rambut setengah beruban. Biasanya diberikan harga diskon untuk pelanggan setia.

Tapi malam ini, toko yang menjadi satu-satunya penerangan di jalanan itu telah tutup. Hanya ada penerangan dari lampu kuning remang-remang dengan hewan-hewan kecil muncul memutari lampu, efek hujan deras telah habis dan digantikan rintikan ringan. Genangan-genangan air masih berjejak di jalanan dengan memantulkan cahaya kekuningan. Pintu-pintu rumah tertutup rapat, menyisakan halaman kosong yang nampak sepi dan suram. Tak ada orang berlalu-lalang, bahkan penjual kaki lima. Hanya wanita dengan pakaian rapinya. Suara detak heels setinggi 10 cm memenuhi kesepian, suaranya beraturan mirip detak metronom.

Sampai omelan kecil muncul di sana. Ia berbalik melihat. Itu Sasi kecil yang tinggal di ujung jalan, di rumah kecil yang ditumbuhi pohon kesemek di depan rumah. Pohon kesemeknya tumbuh subur walau tak disiram ataupun diurus. Kalau sudah waktu panen, ayahnya yang bekerja di pengantaran koran akan mengambilnya dengan galah dan membagikannya ke tetangga sekitar. Di saat itu biasanya wanita dengan roll rambut dan lipstik merah akan mengomel karena hanya memberi kesemek murah lalu mengingatkan membayar sewa dengan alis menungkik.

Wanita ber-heels tersebut tertawa kecil dan menggosok mata. Ia masih melihat satu perempuan itu dengan tangan kecilnya yang terpaut dengan tangan kasar ayahnya. Satu tangan menggandeng putrinya dan satu lagi memegang payung kecil untuk disodorkan ke perempuan berkepang berantakan itu tanpa memikirkan dirinya yang basah. Dulu, bahkan untuk membeli sebutir telur saja cukup sulit, apalagi harus membeli payung yang kata ayah tak begitu berfungsi. Wanita ber-heels tersebut meringkuk begitu dua orang manusia tersebut melaluinya.

Seperti diterpa angin, gambaran-gambaran muncul di benak begitu tubuh Sasi kecil menembusnya. Tubuhnya seperti menciut menjadi berumur lima tahun. Sasi kecil selalu dititipkan di rumah adik laki-laki ayahnya yang ada di pusat kota, tapi kehidupannya tak berjalan baik karena bibi suka mengomel siang dan malam karena dirinya tak tahu malu dan hanya menghabiskan beras. Di saat paman pulang dari pekerjaan kantornya dan membawa sepaket ayam goreng, bibi akan menyuruh Sasi pergi ke kamar, setelahnya mereka akan berbincang di depan televisi dengan ditemani ayam goreng dan minuman dingin bersoda. Di saat-saat seperti itu bibi akan memulai pembicaraan yang tidak mengenakan tentang ayahnya dan Sasi kecil.

Namun, ada malam yang berbeda dari biasanya. Jam menunjukkan pukul 12 malam, tapi ayahnya tak kunjung datang. Saat itu Sasi lima belas tahun tak curiga sama sekali dan memilih tidur untuk menunggu, tetapi sampai matahari muncul dari ujung timur dan langit mulai terang, ayah belum datang juga. Di tengah hari, saat dirinya pulang dari sekolah dengan ditemani kakak sepupu laki-laki yang tak lain adalah anak bibi, polisi muncul di depan rumah. Mereka bilang menemukan ayahnya di dekat dermaga, tapi dengan luka tusuk di bagian dadanya. Bibinya menunjukkan muka memelas dan kaget, ia juga berbicara panjang lebar dengan akting sebaik mungkin.

Pagi itu ayah berpamitan dan bilang akan pulang lebih awal, tapi ayahnya ternyata pulang untuk selamanya.





























To be continue...

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 26, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Half MoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang