Salman

1 0 0
                                    

Brukkk.. semua buku yang dipegang Aminah jatuh berhamburan di tengah jalan. Hanya selisih satu detik, perempuan yang menjadi pemilik buku itu juga sudah tersungkur diatas bukunya.

“Eh, maaf. Sini aku bantu.” Ucap laki-laki berkulit putih yang segera meraih tangan Aminah dan membantunya berdiri.

Aminah hanya terdiam dan membiarkan lelaki itu membantunya berdiri. Aminah yang awalnya sudah ingin mengeluarkan rentetan omelan itu tiba-tiba kehilangan kata-kata.

“Kamu gak kenapa-kenapa, ‘kan?” Tanya lelaki itu cemas setelah membereskan buku-buku yang berserakan.

“Iya, aman.” Ucap Aminah singkat dengan mata yang belum bisa berkedip.

“Kalau gitu aku pergi dulu, ya. Aku buru-buru, nih. Kita ketemu lagi lain kali, ya.” Ucapnya sambil tersenyum manis.

Aminah hanya mengangguk dan menatap punggung lelaki itu berlari menjauh. Nampaknya ia memang sangat tergesa-gesa.

“Ganteng banget sumpah.” Gumam Aminah yang masih mematung sendirian. Andai saja ia sedang ada di kamarnya, sudah bisa dipastikan ia akan melambung tinggi sampai kepentok atap.

***

Dua hari kemudian.

Aminah kini sedang berjalan gontai seperti tidak memiliki semangat hidup. Rasanya badannya remuk sekali. Ia yakin tulang punggungnya sekarang sudah tidak lurus lagi akibat tidak pernah berbaring dengan nyaman.

Beberapa hari ini ia memang sibuk di organisasi, yang membuat ia sangat sibuk bahkan sampai bermalam di kampus.

“Akhirnya kelar juga, ya, Den. Abis ini pokoknya aku mau tidur sampai pagi.” Ucap Aminah dengan lesu, tapi bahagia juga karena acara sudah selesai.

“Gila kamu. Ini baru jam empat sore. Mau tidur sampai besok pagi? Itu tidur apa mati?” Jawab Dena setelah mendengar Aminah melantur.

Akhirnya mereka berdua tertawa lepas menikmati sore dengan berjalan kaki menuju kafe di ujung jalan.

“Aminah!” Sapa seorang pria dengan wajah ceria dari dalam kafe.

“Iya, ada apa?” Ucap Aminah ramah.

“Kamu lagi sibuk, gak?” Tanya lelaki berkemeja abu itu. wajahnya tampan dan kulitnya bersih, sangat menggiurkan tentunya.

“Aku sih mau cari minum dulu. Habis itu aku pulang.” Jawab Aminah jujur.

“Kalau gitu kita minum di sini aja, ya. Aku yang traktir. Anggap aja permintaan maaf karena nabrak mau kemarin.” Ajaknya serius.

“Oh, boleh, kok.” Ucap Aminah dengan senyum lebar, seperti mendapat suntikan semangat.

“Etdah. Tadi bilangnya capek.” Ucap Dena keheranan.

“Anda bisa diam tidak?” Ucap Aminah yang membuat Dena mendesis kesal.

“Terserah kamu, deh. Itu Papa aku udah jemput. Aku pulang dulu, ya.” Ucap Dena setelah pria paruh baya yang biasa Aminah panggil sebagai Pakde itu menjemputnya.

“Ah, iya. Hati-hati ya, Den. Titip salam ke Ibu kamu, besok-besok aku main ke rumah.” Ucap Aminah tulus.

Mereka duduk berhadapan di sana, menciptakan rasa risih dalam hati Aminah karena lelaki ini pasti akan memandangnya.

Salman juga terpana melihat kecantikan Aminah yang sekarang duduk dengan pandangan ke kiri dan kanan seolah menghindari tatapan matanya. Sesekali Aminah menunduk sopan ketika matanya beradu dengan lelaki berkulit putih itu.

Baru saja Salman ingin memulai pembicaraan, Aminah terkesiap begitu mendengar ponselnya berdering.

“aku izin angkat telpon di sini, ya.” Ucap Aminah sopan.

“Ah, iya. Silakan.” Ucap Salman memperbolehkan.

“Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Ustadzah.” Ucap Aminah memberi salam.

“Ah,maaf, Ustadzah. Akhir-akhir ini Aminah banyak tugas. Kadang juga pulang malam gara-gara sibuk organisasi. Pulang ke rumah juga langsung ketiduran, itu pun gak sempat mandi. Tapi Ustadzah tenang aja, selama di sini Aminah gak pernah bolong-bolong loh sholatnya. Yaa.. tapi kalo urusan hapalan, Aminah kayanya benar-benar belum bisa atur waktu.” Ucap Aminah dengan nada menyesal, hal itu membuat Salman tertawa.

“Oh, jadi Bunda bilang gitu ke Ustadzah? Iya deh nanti Aminah muroja’ah lagi ya hapalannya, ustadzah tunggu aja. Aminah pasti setor, kok.”

“Hah? Ustadzah serius? Tapi Aminah gak kaget sih. Soalnya Bunda pernah bilang kalo Ustadzah curhat ke Bunda soal ini. kata Bunda kasian temen-temen yang kajian, gak ada yang gangguin.” Ucap Aminah sambil tertawa lepas.

“Ah iya, Ustadzah. Aminah pasti inget semua pesan Ustadzah, kok. Insya Allah Aminah di sini baik-baik aja.”

“Waalaikumussalam warahmatullah wabarakatuh, Ustadzah.”

“Selama ini kamu aktif kajian, ya?” Tanya Salman setelah Aminah menyimpan kembali ponselnya.

“Iya, awalnya terpaksa, sih. Tapi lama-lama seru juga.” Ucap Aminah jujur.

“Hmm.. yang namanya perbuatan baik selalu begitu Aminah. Semuanya harus dipaksakan dulu. Karena kita akan bisa karena terbiasa. Yang dulunya berat sekarang jadi biasa aja ‘kan karena dibiasakan?” Sahut Salman dengan semangat.

“Betul banget. Dulu aku awal ikut kajian juga duduk di pojokan sambil ngantuk. Sekarang aku sadar, kalau ilmu itu gak bisa datang ke kepala kita dengan sendirinya. Harus kita yang punya tekad dan usaha untuk itu.” Balas Aminah dengan antusias.

“Oh, iya. Nama kamu siapa?” Tanya Aminah sesaat setelah menyeruput cappucino hambar di hadapannya.

“Salman.” Ucap Salman sambil tersenyum. Sudah lama ia menanti pertanyaan itu.

Aminah kagum dengan nama itu. Manis sekali, semanis orangnya.

“Oh, iya, Aminah. Sekarang kamu sibuk apa?” Tanya Salman yang ingin kenal lebih jauh dengan Aminah.

“Selain kuliah dan sibuk organisasi, aku juga suka menulis. Beberapa karya aku Alhamdulillah udah terbit. Terus aku juga ikut kajian di mesjid deket rumah aku kalau lagi senggang. Kalau lagi padat kayak gini jadi jarang, sih. Tugas aja masih numpuk.” Ucap Aminah curhat.

“Kalau kamu sibuk apa sekarang?” Tambah Aminah.

“Gak ada sih, paling biasanya aku bantu Ummi ngajar anak-anak komplek ngaji. Kadang, juga nganter Ummi buat ngisi pengajian ibu-ibu.” Ucap Salman cengar-cengir.

“Wah, kamu sama Ummi kamu hebat banget.” Ucap Aminah antusias.

“Nanti kita ketemu sama Ummi, mau?” Tawar Salman.

Aminah  mengangguk semangat seraya tersenyum lebar. Salman yang memandangnya juga ikut tersenyum. Sifat Aminah yang ceria dan manis berhasil membuat Salman jatuh cinta dalam waktu singkat.

***

“Jadi kamu dari Banjarmasin? Di sini tinggal sama siapa?” Tanya ibu Faridah.

“Aminah di sini sendiri sih, bu. Tapi biasanya ada temen bunda yang jenguk Aminah.” Sahut Aminah sopan.

“Wah kalo kayak gitu sering-sering aja ke sini. Bantu ibu ngajar anak-anak, ya. Kata Salman kamu suka mendongeng juga, ‘kan? Pas banget itu buat anak-anak biar tambah semangat."

“Iya, Bu. Insya Allah kalo Aminah ada waktu Aminah pasti mampir ke sini.” Ucap Aminah sopan.

Dan perbincangan singkat itu berlanjut dengan obrolan hangat di meja makan malam itu. aminah tampak mudah berbaur dengan ibunda Salman.

Hingga jam delapan malam, Aminah pamit untuk pulang dengan diantar oleh Salman. Sebenarnya Aminah sudah menolak, tapi Faridah bersikeras dengan alasan anak perempuan tidak boleh pulang sendirian malam-malam. Akhirnya Aminah setuju untuk pulang dengan diantar oleh Salman.

“Aminah sopan banget, ya, Ca. Ummi suka banget. Salman pinter banget milih cewek.” Ucap Faridah meminta persetujuan kepada adik Salman yang biasa dipanggil Caca itu.

“Bener banget, Ummi.” Sahut Caca mengangguk mantap.

***

Insan Terbaik di Waktu TerbaikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang