1

17 3 2
                                    

Satu tahun yang lalu , tepatnya saat Ghina selesai kegiatan sekolahnya.

Ahmad mendatangi dirinya. "Ghina, hari ini kamu sibuk?"

"Enggak, aku gak sibuk," sahut Ghina sambil menatap Ahmad.

Mata tulusnya terasa hingga Ahmad tak bisa menahan senyuman di bibirnya yang indah itu.

"Kalau ngga sibuk, kamu berangkat pesantren kilat lagi ya?"

Ghina tak menyangka bahwa Ahmad akan mengajak dirinya untuk pesantren kilat bersamanya, biasanya, hanya Naya yang akan mengajaknya, itu pun jarang jarang-jarang Naya mengajak dirinya untuk pergi ke masjid. Namun, Ahmad mengajaknya dan itupun secara langsung? Apakah itu tidak aneh di mata dirinya? Tentu saja Ghina merasakan aneh dengannya.

"InsyaAllah ya Mad, aku sudah lama ya enggak pesantren kilat lagi?"

"Kamu kangen nih ceritanya?" imbuh Ghina.

"Istighfar Gin, istighfar," balas Ahmad.

Ghina teringat. "Eh iya, astagfirullahalazim."

"Tapi emang iya sih," celetuk Ahmad dengan suara pelannya.

Ghina tak mendengar apa yang dikatakan Ahmad, walau penasaran, tapi ia tak peduli.

"Mad," panggilnya.

Sontak Ahmad pun menegok ke arah suara.

"Dalem," sahutnya.

Ghina bertanya, "Em, sehabis ini kamu mau lanjut sekolah dimana?"
Ghina bertanya gugupnya sambil mengusap keringat yang membasahi wajahnya.

"Aku? Kemarin aku sempat ada ngisi formulir dari SMK Swasta. Tapi, ustadz Iqbal kayaknya gak akan izinin aku untuk ke SMK Swasta itu deh," jawab Ahmad.

"Terus kenapa kamu isi formulir promosi kemarin?"

Ahmad merenung sejenak. "Em 'kan, itu barangkali yang berminat ke situ aja. Untuk lanjut mau kemana, aku serahin ke ustadz Iqbal aja kayaknya."

"Loh, orangtuamu?" tanya Ghina dengan penasaran.

Ahmad tersenyum lebar dengan mata berbinar.

"Aku belum cerita ini ke kamu?" tanyanya sambil menatap Ghina dengan memiringkan kepalanya agar sejajar dengan matanya.

"Tentang?"

•••

Vira, seorang wanita yang menjadi teman sebangku Ghina di Sekolah menengah atas Cakrawala 1.
Berlari dengan tergesa-gesa sembari membenarkan hijabnya.

"Ghin, Ghin," panggil Vira.

"Apa Vir," jawab Ghina yang sedang mengemas barang-barang yang berserakan di meja belajar sekolahnya itu.

Vira duduk tepat di sebelah Ghina. Dan kemudian berkata, "Anu, hari ini 'kan guru agama kita nugasin kita buat hafalan tiga surat alquran 'kan?"

"Iya, lalu?" tanya Ghina karena pertanyaan Vira menggantung.

"Hari ini kamu belum tes kan? Ayo temenin aku ke ruang guru buat tes surat ini," ajak Vira.

Ghina terkekeh. "Kenapa gak sendirian saja? Ayo selagi gurunya masih ada disini."

Vira merengek dengan suara yang sedikit pelan. "Antar dong Ghin, kamu belum juga kan?"

Akhirnya, Ghina bangkit dari duduknya dan meladeni temannya yang katanya malu untuk di tes sendirian. Alasannya karena agar ada temannya.

Vira akhirnya maju ke hadapan meja guru.

Lalu bu guru bertanya, "Kamu ada perlu apa Ghina?"

Ghina menjawab sembari membungkukkan badannya sejenak. "Oohh, ini Bu, nemenin Vira."

Bu guru menatap Ghina sembari memegang buku absen.

"Ghina duduk ya, nunggu giliran di panggil," ucap bu guru.

Vira sedih dan raut wajahnya berubah, namun dia hanya bisa pasrah.

Ghina lantas melempar senyuman kepada bu guru dan pamit ke Vira untuk duduk di bangku miliknya.

Seusai di tes, Vira pun meledek Ghina, namun Ghina hanya bisa minta maaf dari dalam  hatinya.

"Ghina, sini maju ke depan," panggil bu guru.

Ghina beranjak dari duduknya dan maju ke tempat meja guru.

Mendadak, dering telfon bu guru bunyi, dan bu guru berkata, "Ahmad, ini tolong tes Ghina sebentar ya, ibu ada keperluan. Nanti kalau sudah, taruh buku-buku ini di meja ibu ya."

Ahmad pun mengangguk. "Iya bu."

Bu guru pergi meninggalkan ruang kelas, kelas yang awalnya sunyi menjadi ramai.

Ahmad berdiri di sebelah kanan meja guru.

Ahmad melihat absen dan mencari nama Ghina."Tiga surat kan? Apa aja Ghin?"

Ghina diam sejenak mengingat apa surat yang barusan ia hafalkan.

"An-Naba Al-Qariah, sama Al-Qadr. Mungkin?"

Ahmad mengangguk. "Iya Gak apa-apa, sebisanya, ayo baca."

Jujur saja Ghina ingin lari pergi dari situasi ini, rasanya canggung sama seperti dulu.

Lalu, Ghina mulai membaca satu persatu surat Al-Quran yang sudah ia hafalkan itu, setelahnya Ahmad mencatat bahwa Ghina sudah di tes.

"Kamu ada perkembangan ya? Tapi kamu harus tetap belajar, nanti sore jangan lupa ngaji sama ustadz Iqbal ya," kata Ahmad memperingati.

Tentu, wajahnya kini menjadi merah tomat. Bahkan, suaranya menjadi gemetar setelah mendengar apa yang Ahmad katakan barusan.

"Gak tau Mad, hari ini bisa atau enggak nih ngaji bareng ustadz Iqbal."

Ahmad mendekatkan wajahnya ke Ghina. "Harus," bisiknya pelan.

Telinganya benar-benar geli mendengar nada suara Ahmad.
"Gatau Mad, tapi insyaallah aku usahain."

"Harus dateng."

Semakin Ahmad dekat, semakin Ghina menghindar. "Mad jauhan dikit napa."

Ahmad terkekeh pelan. "Ga ah, pengen deket-deket sama bebeb nih."

"Nih Ahmad apaan sih kok jadi kayak buaya darat, jijik amat," batin Ghina.

"Tapi aku tetep ganteng kan Ghina?" tanya Ahmad seolah bisa mendengar suara hati Ghina.

Ghina menoleh. "Maksud?"

Ahmad terkekeh pelan. "Ya, aku tetep ganteng kan?"

Ghina kini terkekeh juga. "Mana ada kamu ganteng."

"Kamu ganteng banget."
.
.
TBC

Ahmad s2 sekarang agak beda gak guys?

Panggil aku Rere/Reri atau kakRe juga gapapa, jangan author lagi ya.

Salam hangat dari Rerileymatew

Akasa 2 Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang