Unseen Resilience

270 24 3
                                    

"Berhentilah menjawab dan coba dengarkan perkataan ayahmu ketika dia sedang memberikan nasihat. Bagaimana hubungan kalian akan membaik jika terus berdebat seperti itu?"

Irene menghentikan langkahnya dan menatap wajah wanita paruh baya yang sedari tadi mengikutinya sambil mengoceh tanpa henti.

"Mulutku sudah diam sejak 10 menit yang lalu, tapi kenapa aku masih terus dimarahi?"

Wanita itu menghela nafasnya kasar, "Bukankah aku baru saja memberitahumu agar berhenti menjawab ketika seseorang sedang menasihatimu?"

"Iya! Aku sudah tau. Aku sudah mendengarkannya sedari tadi sampai telingaku mau pecah. Jadi kumohon berhentilah memarahiku."

Lalu gadis muda itu menutup pintu kamarnya begitu saja dan membiarkan wanita yang berusaha menasihatinya itu berdiri disana dengan helaan nafas jengah sambil menahan emosinya yang naik.

"Oh, astaga. Gadis ini benar-benar menguji kami semua."

Sebenarnya, Irene bukanlah gadis menyebalkan yang suka membangkang seperti ini, namun banyak sekali hal yang berubah darinya semenjak kepergian nona Lee, ibunya. Gadis manis berhati lembut itu berubah menjadi anak yang keras kepala, penuh emosi, dan sering kali bertindak semaunya. Tidak ada yang dapat menghentikan gadis itu, bahkan ayahnya sendiri. Selalu saja ada perdebatan atau pertengkaran antara Irene dan orang lain di rumah ini, seperti yang baru saja terjadi pada saat makan malam tadi.

Padahal ayahnya hanya menegur Irene karena sikapnya yang sering kali keterlaluan dan seenaknya. Namun Irene tidak menerimanya dan malah mendebat sang ayah hingga mereka berdua bertengkar.

Baru saja pintu itu tertutup, Irene kembali membukanya dan segera berlari ke arah balkon ketika mendengar suara mesin mobil dari halaman depan rumahnya.

Gadis itu berdiri di luar sana, menatap kesal ke arah mobil sang ayah yang akan segera meninggalkan halaman rumah. Decakan sebal terdengar begitu mobil hitam itu melewati gerbang tinggi yang terbuka lebar lalu hilang pergi menjauh.

"Dia sudah tidak peduli padaku," tukas Irene ketika bibi Choi berdiri di belakangnya.

Meski hubungan mereka tidak baik karena sama-sama keras kepala, tapi pergi meninggalkan rumah sejenak dan membiarkan putrinya sendirian bersama para pekerja di rumah ini sebenarnya bukan karena ia tidak peduli lagi. Namun, pria itu hanya takut terlalu emosi jika terus berada di sekitar gadis sensitif yang sering kali meledak-ledak dan sulit diredakan ini.

Setelah beberapa saat berdiri memandang halaman depan rumahnya yang kosong, tatapan kesal gadis itu perlahan berubah menjadi kilatan kecewa. Sambil menyilangkan kedua tangannya, Irene berusaha untuk menyangkal perasaan sedih dan kecewa setelah melihat sang ayah meninggalkannya tanpa mengatakan apapun. Bibi Choi menghela nafasnya dan hanya menatap gadis itu dari belakang.

"Apa aku terlihat kasihan dan menyedihkan sekarang?" tanya Irene tanpa mengalihkan pandangannya ketika dia mendengar helaan nafas dari belakang sana.

"Aku tidak ingin terlihat seperti itu." sahutnya.

Bibi Choi hanya diam, tak menjawab. Meskipun gadis ini sangat menyebalkan, namun jujur saja, dirinya tidak tega melihatnya. Melihatnya berlari dan berdiri di sana, menatap kepergian ayahnya, seakan-akan dirinya melihat Irene kecil yang dulu juga ditinggalkan oleh ibunya.

"Tidak, kamu terlihat cantik." ujar bibi Choi kemudian merangkulnya untuk masuk kedalam.

"Oh aku setuju, aku lebih suka itu."

-

Pagi ini, seperti biasanya sarapan sudah disiapkan dan tersedia di atas meja makan. Namun, sayangnya sama sekali tidak ada seorang pun yang duduk di sana dan menyentuhnya.

Padahal dulu, rumah ini ditinggali oleh keluarga kecil yang bahagia. Irene dan orang tuanya, bersama bibi Choi dan Pak Nam supir mereka, selalu sarapan bersama setiap pagi ditempat ini. Hanya mereka berlima, namun rumah ini selalu ramai dengan canda tawa dan obrolan hangat mereka.

Tetapi, semua itu berubah. Ada lebih banyak orang di rumah ini sekarang. Namun, sama sekali tidak terlihat adanya kehidupan keluarga di dalamnya. Tempat ini hanya dipenuhi oleh orang-orang asing yang dipekerjakan untuk membantu mengurus rumah ini setelah kepergian nona Lee.

Irene yang dulunya menjadi penghidup suasana di rumah ini, kini selalu menjadi satu-satunya alasan kekacauan yang sering terjadi di sini. Dia bertidak seenaknya, seperti memecat orang dan meminta pengganti yang baru hanya karena permasalahan kecil. Itu sebabnya orang-orang di sini selalu terlihat asing.

Tok tok tok

"Ku bilang aku tidak mau makan!" teriaknya.

"Jika ada yang berani mengetuknya sekali lagi, kalian semua dipecat!"

Sudah berapa kali mereka mengetuk pintunya sejak pagi buta hanya untuk menyuruhnya sarapan tapi Irene terus menolak.

"Terserah, tapi kamu harus makan."

"Aku tidak mengizinkanmu untuk masuk."

Irene sedikit terkejut ketika melihat seorang wanita paruh baya sudah berada di dalam ruangannya dengan membawa nampan berisikan makanan.

"Aku tidak meminta izin," sahut bibi Choi terus mendekati gadis yang masih berada ditempat tidurnya.

Jika saja itu bukan bibi Choi melainkan pekerja yang lain, dapat dipastikan gadis itu sudah memarahinya sambil berteriak sekarang.

"Aku akan memecatmu," tukas Irene, dan bibi Choi sama sekali tidak peduli.

Dia juga tidak mungkin melakukannya. Tentu saja karena wanita paruh baya ini sudah lama bekerja di sini. Dan Irene begitu menyayanginya dan tidak ingin kehilangannya.

"Pecat saja. Setelah itu tidak ada lagi yang tahan mengurus gadis keras kepala seperti mu," sahutnya.

Perempuan yang sedikit lebih tua dari usia ibu dan ayahnya itu menaruh nampan di atas meja kemudian berjalan ke arah jendela untuk membuka tirai yang masih tertutup agar sinar matahari bisa masuk dan membuat ruangan itu menjadi terang.

Irene menggerutu di sana sambil menarik selimutnya ke atas hingga menutupi kepala. "Benar-benar menyebalkan."

"Bangunlah, anak-anak seusiamu sudah berada disekolah untuk belajar sekarang. Tapi lihatlah apa yang kamu lakukan di sini?"

Bibi Choi kembali mendekat dan berusaha menarik selimutnya namun Irene dengan kuat menahannya.

"Jangan membandingkan ku dengan mereka. Kami berbeda."

"Apanya yang berbeda? Kamu hidup sebagai seorang putri manja yang tidak bisa melakukan apapun sendirian, sedangkan mereka hanyalah anak-anak biasa, begitu?"

Irene berdecak sebal dengan wajah yang tertutup selimut. "Mereka tidak ditinggalkan oleh ayah dan ibunya. Jelas kami berbeda," tukasnya.

Bibi Choi sedikit menghela nafasnya. Irene selalu menjadikan kondisi keluarga dan kepergian ibunya sebagai alasan untuk hidup tanpa arah dan tujuan seperti ini. Bibi Choi tahu bahwa gadis ini benar-benar terluka dan sedih karena hal itu, namun dia juga tidak ingin Irene terus hidup seperti ini.

"Jangan melantur, ayahmu ada di sini. Karena itu bangunlah dan lihat sendiri di ruangannya."

Bibi Choi kembali menarik selimutnya sehingga wajah cantik gadis yang sedang kesal itu terlihat dengan jelas sekarang. Irene memutar bola matanya tapi diam-diam merasa sedikit lega karena ayahnya kembali dan tidak benar-benar pergi meninggalkannya.

"Sekarang bangunlah," ujar bibi Choi duduk di tepi tempat tidur sudah siap untuk menyuapinya dengan makanan yang ada di tangannya, dan Irene menurutinya meski masih dengan ekspresi kesal di wajahnya.

"Hiduplah yang benar jika kamu menyayangi nona Lee. Dia pasti sedih jika tahu putrinya hidup seperti ini."

"Tapi dia tidak mungkin tahu."

"Berhentilah bicara," tukas bibi Choi segera menyuapkan makanan pada mulut kecil yang suka sekali menjawab itu.

-

Cerita mendadak, tolong beri tanggapan 🙏🏻

Behind | Irene Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang