17

1.1K 256 9
                                    

Pada awalnya aku merasa Putih telah menginvasi ranah pribadiku. Ada banyak hal yang ingin kusembunyikan. Rahasia yang kupendam seorang diri dan tidak perlu berbagi dengan siapa pun. Ibarat benda, kenangan milikku seperti kepingan kaca. Tajam dan berbahaya. Siapa pun yang menerima keping kaca tersebut, bila tidak berhati-hati, jemarinya akan tergores dan berdarah.

Seperti itulah kenangan punyaku.

[Bahkan malam yang gelap pun berangsur-angsur akan pergi.]

“Kamu lupa, ya? Sekalipun malam pergi, pagi datang, tapi malam lainnya tiba. Nggak usah sok filosofis deh! Nggak nyambung! Bukannya aku merasa terhibur, justru mual. Bukan bermaksud menyombong, ada banyak buku motivasi yang sudah kubaca. Semua buku itu sama sekali nggak membantuku.”

[Satu pun? Di antara sekian buku yang kamu baca, tidak satu pun?]

“Lebih mudah memahami kumpulan surat-surat Van Gogh daripada meresapi setumpuk buku motivasi!”

Setelah mencurahkan pengalaman tidak menyenangkanku ketika duduk di bangku SMP, aku dan Putih berakhir dengan kegiatan tidak berguna lainnya.

Aku mencari keripik kentang di lemari. Setelah menemukannya aku langsung menikmati semua keripik itu tanpa satu kali pun menawarkannya kepada Putih. Apa dia butuh makan? Eh aku tidak ingin tahu. Nggak penting.

[Apa ini termasuk salah satu caramu menyakiti diri sendiri? Dengan makan makanan mengandung garam dan gula berlebih?]

Menyakiti diri sendiri? Terus terang aku tidak tahu. Sedari dulu toh nggak ada yang peduli mengenai diriku kecuali aku sendiri. Orangtua, kerabat, tetangga ... mereka seperti hantu! Muncul sesuka hati, menudingku dengan telunjuk seolah aku terdakwa dalam pengadilan mereka, dan melabeliku dengan sederet nama angkuh.

“Mungkin,” jawabku sembari mengumpulkan bungkus keripik yang telah habis isinya. Kusatukan semuanya dan membuangnya ke tempat sampah. “Menyakiti diri sendiri dengan cara nikmat.”

[Bukankah aku ada di sini? Semua itu sudah berlalu. Kamu sekarang bebas dan aku jamin tidak akan ada satu manusia pun berani memperlakukanmu seperti mereka, orang-orang dari masa lalumu.]

Aku duduk dan bersender di tepi ranjang. “Putih, apa kamu pikir cowok tadi itu benar-benar berniat baik?”

[Kamu ingin mengalihkan topik pembicaraan?]

“Iya,” aku mengakui, “tolong apresiasi usahaku dong.”

[Asal kamu berjanji besok cari makanan sehat, aku akan mengamini keinginanmu.]

“Makanan sehat yang kamu ingin aku makan itu harganya mahal!”

[Kamu menggunakan uang hasil penjualan perhiasanku. Harga bukan masalah, ‘kan?]

Sial! Dia benar!

“Oke, besok aku makan nasi dan sayur. Puas?”

Putih menyundulkan kepalanya ke wajahku, lantas kemudian ia merebahkan kepalanya (sumpah berat! Beraaat) ke pangkuanku.

[Beri dia kesempatan. Sepertinya dia tidak bermaksud buruk. Setidaknya, kali ini dia berusaha menggunakan langkah yang baik dan tidak jahat.]

“Nggak ada jaminan dia aman!”

Ekor Putih bergerak ke kanan dan kiri. Beberapa kali ekornya mengenai kakiku dan kurasa dia makin mirip cowok yang berusaha mencari kesempatan kepada pacarnya. Mencurigakan.

[Percayalah kepadaku. Dia tidak akan berani. Kali ini aku sendiri yang akan menghukumnya andai ia berlaku buruk kepadamu.]

“Janji nggak bakal muncul di detik terakhir? Soalnya aku nggak mau babak belur sih.”

ALL OF THEM WANT TO KILL HER (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang