Suara alarm dengan bentuk kelinci kesayangan Hema kado pemberian papa saat ulang tahunnya yang ke-9 berbunyi nyaring masuk menggetarkan gendang telinganya. Hadiah kecil yang berharga, karena ia diajarkan bangun lebih awal sebelum matahari menyebarkan sinarnya sejak saat itu. Kebiasaan ini sudah diajarkan orang tuanya sejak ia masih duduk di bangku sekolah dasar.
“Kring…Kring..Kring” pada suara ketiga Hema cepat-cepat mematikan bunyi alarmnya. Meski sudah terbiasa Hema masih terganggu juga dengan suara yang memekakkan telinganya.
Jam menunjukkan pukul 5 pagi, ia berdiri dan melangkahkan kakinya membuka tirai serta pintu balkon kamarnya. Masih gelap, bahkan beberapa lampu rumah tetangganya masih menyala terang.
Udara pagi yang dingin masuk melalui celah pori-pori kulitnya membuat sang empu bergidik, tujuannya memang agar matanya segera terbuka tidak ada rasa kantuk lagi.
Setelah dirasa matanya cukup segar, ia berjalan menuruni anak tangga, ke dapur yang berada di lantai 1. Di sana terlihat seorang wanita berusia hampir menginjak kepala 4 yang sudah rapi dan cantik dengan berbalut atasan kebaya sederhana, bahawan kamen semata kaki serta rambut yang diikat berbentuk sanggul sibuk membuat canang.
“Pagi, Ma.” Sapanya dan tak lupa mencium pipi mamanya. “Papa mana?” lanjutnya yang tengah berjalan menuju washtafel dapur untuk mencuci wajahnya. Kebiasaan.
“Pagi, sayang. Papa dikamar masih mandi. Sana kamu juga mandi dulu, sudah mau jam 6.” Jawab mama Hema yang masik sibuk menaruh bunga-bunga kedalam canang yang dibuat.
Tak ada niat menjawab mamanya karena ia sedang sibuk meneguk air, lalu ditaruhnya gelas di meja dapur. Ia berjalan ke atas lagi untuk mandi, bersiap untuk sembahyang paginya.
45 menit kemudian Hema sudah siap dan rapi menggunakan kampuh serta sabuk yang melilit pinggangnya, kaus biasa yang dikeluarkan menutupi pakaian bawahnya serta udeng dikepalanya. Ia menoleh sebentar pada cermin sebelum keluar kamar. “Tampan sekali, tidak pernah tidak.” Batinnya dengan kepercayaan diri 200%.
Papa dan mamanya sudah siap di pura kecil sudut depan rumah mereka. Rutinitas sembahyang pagi selalu dilakukan bersama jika tidak ada halangan yang mengganggu.
Selesai sembahyang, Hema melanjutkan untuk bersiap-siap ke sekolah, berganti pakaian, sarapan, lalu ia berpamitan pada orang tuanya.
“Pa, Ma. Aku udah selesai. Pamit berangkat dulu ya, mau nungguin Ipal jemput.” Ia mencium kedua orang tuanya bergantian.
“Hati-hati ya, salamin juga ke Ipal suruh hati-hati.” Sahut mamanya dan anggukan dari Papa.
Hema tersenyum menanggapi serta tangan yang dibawa ke pelipisnya menunjukkan gaya hormat.
Jika dipikir-pikir sebenarnya ia tak perlu repot-repot menunggu untuk sampai ke sekolah karena sang papa juga pasti melewati sekolahnya jika berangkat bekerja. Tapi, berangkat bersama Ipal sudah suatu keharusan sejak SMP kalau tidak dia akan mengomel tidak setia kawan.
Ia duduk menunggu Ipal menjemput didepan rumahnya. Jam sudah menunjukkan pukul 06.25 WITA, Ipal sudah tiba dan mereka berangkat ke sekolah yang berjarak 15 menit saja.
==================================
*Kamen: kain bawahan seperti kain jarik pada pakaian adat bali yang menyerupai sarung. Biasanya wanita yang menggunakan, tetapi laki-laki juga bisa.
*Kampuh: hampir sama seperti kamen biasanya digunakan laki-laki jika sembahyang.
*Udeng: ikat kepala yang digunakan umat hindu, khususnya untuk laki-laki.
*Canang: ini adalah bunga persembahan untuk berdoa dari umat Hindu Bali yang sering digunakan dalam sehari-hari.
*Sembahyang: sembahyang atau beribadah rutin untuk umat Hindu yang dilakukan 3 kali dalam sehari diwaktu kritis (pagi pukul 06.00, siang pukul 12.00, sore pukul 18.00)
KAMU SEDANG MEMBACA
SWATAMITA [OFFGUN]
Fanfiction(Off-Gun) // BxB // Tamat Dipertemukan dalam sebuah kejadian yang menyakitkan, hati yang dipaksa utuh, Hema dan Wira mencoba membuka lembaran kisah baru. //Saat kita sedang berdua menunggu Swatamita. Aku menatapmu memuja, indah, kamu selalu indah, b...