Jika berpikir yang mana yang lebih menakutkan diantara sesosok pembunuh berjubah hitam yang mengerjarku dibandingkan dengan sesosok Vinc, tentu saja Vinc. Sekarang Vinc menarik lenganku untuk menjauh dari kejaran sesosok berjubah hitam di belakang, mau bagaimana lagi untuk sementara ini aku tidak bisa memikah pada pilihanku menyangkut pada keadaan sekarang.
Tubuh kecilku tidak bisa bergerak seleluasa tubuh orang dewasa, dari segi ukuran saja berbeda apalagi energinya. Lemah. Aku tidak bisa melawan pembunuh itu walau aku masih sangat mengingat bagaimana cara bertarung. Aku menatap kearah belakang sebelum memperhatikan punggung Vinc yang menggunakan pakaian bebasnya berciprat darah sana-sini, bukan pakaian dengan banyak hiasan ataupun piama. Dia terbilang lebih tenang dari anak seumurannya, biasanya anak-anak lain akan ketakutan dan tidak berani bahkan untuk berlari dengan pikiran jernihnya ditengah kebisingan horor ini. "Apa dia memang sudah begini sejak kecil?" Gumamku dengan suara rendah.
"Hei, apa kau masih kuat berlari?" Suaranya sedikit teredam oleh kebisingan sekitar, hanya aku masih bisa menangkap suaranya. "Lumayan" Suara terengah-engah dariku tidak bisa menutupinya. Membuatnya melirik kearah belakang untuk melihat letak sang pembunuh.
"Aaakh!... Tolong! Siapapun-- "
Dia terhenti, aku ikut melirik ke belakang, pembunuh itu sedang menikam orang lain. Aku sempat ingin melangkah mendekat, tarikan dari tangan Vinc berhasil menghentikanku. "Tunggu! Dia membutuhkan pertolongan!" Akupun berusaha melepaskan tarikannya.
Dia mengerutkan kedua alisnya sembari berkata, "Hah? Untuk apa? Kita juga butuh pertolongan, jangan mengada-ngada." Dia menarikku kembali. "Tapi...." Raut kecewa tumbuh dariku.
Tanpa mendengarkanku, dia membawaku secepat mungkin menuju balik bangunan dan berhenti di sana, bersandar pada dinding setelah melepaskan genggamannya padaku. Beruntung tidak ada pembunuh lain yang menargetkan kami. "Kau.. Kenapa tidak menolong orang tadi? Kau kan membawa pedang." Terduduk di tanah, wajahku sudah dipenuhi keringat dingin. Terbayang segala wajah orang yang ada di sana, sudah lebih dari separuh orang yang mengikuti parade sebelumnya telah tiada dan sisanya di siksa langsung di sana.
"Kau orang bodoh atau sejenisnya? Jika aku yang kecil dan lemah ini melawan pembunuh semacam mereka menurutmu kepala siapa yang lebih dulu melayang?." Tangannya mengacak rambut dengan gusar, membuat rambutnya semakin berantakan, sama seperti wajahku sekarang. "Lalu darah siapa yang memandikan tubuhmu itu?." Telunjukku terangkat kearahnya.
Dia menelisik seluruh penampilannya sekarang, yang timbul dari wajahnya membuatku merasa jengkel. "Aku sebelumnya jatuh menggelinding diatas ceceran darah dan potongan apalah itu aku tidak tau, semacam daging. Kau pikir aku bertarung melawan mereka? Orang dungu mana yang mendapatkan pikiran itu pada otak kecilnya." Perkataan yang terlontar darinya segera mengerutkan wajahku seperti jeruk peras. "Cih, apa-apaan. Mulut pedas." Bisikku.
"Aku dengar." Dapat aku rasakan tatapan menusuk disaat aku mengecek telapak kakiku. "Tidak, maksudku mulutku pedas, sebelumnya aku makan malam dengan cabai." Aku mengerucutkan bibirku, kenapa aku harus takut padanya hingga sekarang? Itu harusnya tidak perlu, mana mungkin dia juga kembali ke masa lalu, aku sudah tahu, dibandingkan sebelum kembali ke masa lalu Vinc yang sekarang sangat nampak perbedaannya. Dia suka merayuku, dibandingkan mengejekku walau mungkin ada kemungkinan dia bersandiwara.
Aku semakin merasa gundah. Lirikannya masih tajam atau hanya perasaanku saja?.
Tiba-tiba aku rasakan tepukan pada sebelah bahuku, "sebaiknya kita pergi sesegera mungkin dari sini, aku rasa para pembunuh itu akan memeriksa daerah sini." Perkataannya membuatku tersadar. Aku memeriksa sebentar telapak kakiku sebelum berdiri. Ada beberapa luka pada telapak kakiku namun sekarang aku harus menahannya karena tidak ada obat di sekitar sini.
"Tunggu." Vinc kembali mendudukkanku. Dia berlutut di hadapanku, meluruskan kakiku. "Apa yang kau...." Ucapanku terpotong setelah mendapatinya merobek helaian kain pada pakaiannya menggunakan pedang yang sedari tadi ia genggam. Aku memperhatikan semua pergerakannya, mulai dari tangannya yang kecil melilitkan kain yang ia robek dari pakaiannya untuk menutupi permukaan telapak kakiku, terlihat telaten dan lembut. Setelah selesai membalut sebelah telapak kakiku kemudian dia beralih pada sebelahnya lagi, merobek pakaiannya, melilit, mengikat ujungnya dan selesai. Cukup cepat.
Aku tidak tau mengapa ia melakukan hal ini bahkan tidak menyangka. Apa dia mengingat kehidupan sebelumnya?. Pertanyaan tersebut membuatku terpikirkan hingga tidak disadari aku menelusuri raut wajahnya yang nampak serius, hingga dia melirik kearahku, aku sedikit tersentak dan memalingkan balik wajahku darinya. "Ada apa? Ada sesuatu di wajahku?" Tanyanya heran.
Menggeleng dan berkata, "hanya... di wajahmu ada cipratan darah." Dalihku, Berharap dia tidak bertanya lagi. Balasannya hanyalah oh, sembari mengusap pipi menggunakan lengannya. "Ayo, kita tidak punya waktu lagi." Tangan vinc terulur di depanku untuk membantuku berdiri, aku tidak berpikir panjang untuk menyambut ulurannya.
Sekarang tertinggal kebingungan di sini, kita harus pergi kemana?. "Kau kuat berlari kan?. Katakan saja jika sudah tidak kuat." Ucapnya setelah membantuku berdiri.
Aku menjawab dibarengi anggukan, "ya, masih." Sembari membersihkan bagian belakang piyamaku, walaupun memang tidak akan bersih sepenuhnya. "Baguslah."
Vinc berjalan cepat menelusuri jalan, meneliti sekitar jikalau ada sesuatu yang mencurigakan, sementara aku mengikutinya dari samping. Jika memang jujur, aku mengakui kehebatannya. Aku sadar usianya baru 8 tahun, namun ketika melihatnya yang saat ini, dia terbilang seorang anak yang berbakat dan pintar. Jika mungkin itu anak lain, mereka akan menangis dan tidak akan bisa berpikir sebaik mungkin pada situasi saat ini dan sebelumnya, aku juga begitu, saat aku seumuran kini, aku sangat terkejut dan takut mendekar kabar pembantaian yang berada dekat pada rumah. Oh, ngomong-ngomong tentang rumah, bukankah rumahku di saat ini berada tidak jauh dari sini?, aku hampir lupa.
Sekarang kami masih berada tidak jauh dari tempat parade, tepatnya di depan taman kota, yang mana jika belok kearah kiri, disanalah rumah Marques Leinicol, rumahku tentunya.
Aku menepuk bahu vinc, "hei, rumahku tidak jauh dari sini, tinggal belok kiri dan berjalan sebentar maka kita akan sampai. Mari ke rumahku saja, aku jamin di sana akan aman." Tunjukku kearah jalan menuju rumahku. Dia segera mengangguk walau dengan alis yang tertaut.
"Benar aman bukan?."
"Tentu." Aku meraih lengannya dan segera berlari menapaki jalan. Semakin dekat, pagar rumahku mulai nampak.
Lariku melambaat saat aku dengar suara vinc. "Oh ya, rumahmu yang mana?" Wajahnya sedikit penasaran dan bingung. "Itu, kau lihat pagar itu kan? Itu dia." Sontak ucapanku membuatnya terkejut.
"Apa? Rumah Marquez Leinicol bukan? Kau tinggal di sana?" Ucapnya hampir tidak percaya. Sampai di depan gerbang aku membawanya untuk masuk melakui celah yang cukup untuk kami lewati.
"Ya, aku anak mereka. Cepatlah, kita harus segera masuk." Pernyataanku semakin membuatnya melebarkan mulut. "Aku tidak menyangka, aku pikir tadi kau anak seorang pelayan di sana."
"Hah?!" Mataku ikut melebar dengan alis yang menukik tajam. "Memangnya penampakan apa dariku yang membuatmu menyangka aku anak dari pelayan?." Aku mendengus, melewati pagar hingga tidak sengaja dahiku sedikit terpentuk pagar besi. "Ack."
"Pfft.." Tawanya semakin membuat kekesalanku berapi, aku kembali keluar dari pagar untuk menariknya melewati pagar melalui celah sebelumnya. Dengan sengaja aku menyenggolnya saat mulai memasuki celah, membuatnya terpentuk besi pada lutut kaki.
"Ouch! Aduduh!" Rontanya sambil berlutut dan memegangi lutut kakinya.
Aku segera tersenyum lebar hingga mataku sedikit menyipit. "Hmfft..!"
Tawa tertahanku terdengar olehnya, diapun memberiku tatapan tajam. Aku tidak mengindahkannya, hanya tersenyum sinis sebagai balasan. Balas dendam kecil yang lumayan.
*Selasa/28/November/2023
KAMU SEDANG MEMBACA
Vincteva
Teen FictionPintu besar terbuka, cahaya masuk menyinari masing-masing retina mata yang ada di sana. Begitu memasuki ruang singgasana di sana sudah menanti sang raja, sebelah tangannya yang bertumpu pada dagu dan pipi sementara sebelah tangannya di sisi singgasa...