Chapter 20 - Seseorang dari Masa Lalu

22 10 1
                                    


Ada asap yang mengepul dari tiga cangkir kopi yang disajikan oleh Daisy. Tersedia juga beberapa slice mile crepes yang Daisy ambil dari etalase kue. Suasana canggung mendominasi di meja itu.

"Congrats, ya, bakerynya." Reihan menyalami Daisy untuk mengucapkan selamat.

"Thanks. Ini pacar lo? Wah, cepat juga pergerakan lo, ya. Terakhir gue tanya Jayden katanya lo masih jomlo."

Jessi hanya bisa tersenyum mendengar ucapan Daisy. Reihan menggenggam erat tangan Jessi yang duduk di sebelahnya. Ia mencoba untuk menenangkannya. Reihan tahu kalau keadaan ini tidak nyaman. Bertemu dengan mantan pacarnya pacar kamu, dan mantannya ini seperti masih ingin flirting.

Daisy mengulurkan tangannya ke arah Jessi. "Kenalin, gue Daisy, mantan pacarnya Reihan waktu SMA."

Ternyata Daisy masih punya muka untuk menyebut kalau Reihan adalah mantan pacarnya. Kenapa tidak sekalian saja diterangkan kalau Daisy adalah mantan pacar yang ketahuan berselingkuh dengan sepupunya sendiri?

Jessi menyambut tangan Daisy dan menjabatnya. Jessi ingin sekali rasanya waktu berputar lebih cepat agar Jessi dan Reihan bisa mengakhiri momen yang canggung ini.

"Tera masih sama Gea?" tanya Daisy penasaran.

"Masih, kok." Reihan hanya menjawab seperlunya karena malas memperpanjang obrolan.

"Keren banget peletnya si Gea. Tanyain, dong, dukunnya nemu dimana. Gue mau juga punya pacar yang bisa tahan lama kaya gitu."

Reihan mendengkus mendengar perkataan Daisy. "Take and give. Relationship bisa bertahan kalau dua-duanya punya effort yang sama. Gak cuma satu aja yang berjuang."

"Lo lagi nyindir gue, ya?" Nada bicara Daisy sedikit naik.

"Lah, tadi lo yang nanya. Ya, gue jawab."

Pramusaji toko memberikan pesanan Jessi ke meja itu. Ini kesempatan bagi Reihan untuk segera menyudahi pertemuan tak terduga yang menjemukan ini.

Reihan langsung menyeruput kopinya walau masih agak panas. Lalu mengajak Jessi untuk beranjak dari situ sebelum emosinya meledak.

"Gue pamit ya, mau antar Jessi ke rumahnya."

Reihan dan Jessi sudah sampai di ambang pintu. Segera meninggalkan tempat yang membuat detik per detiknya menjadi terasa lama. Denting bel di pintu sudah berbunyi menandakan pintu sudah terbuka.

"Han, lo harus tahu. Gue nyesel dulu mutusin lo."

Suara itu sontak membuat Jessi langsung menghentikan langkahnya dan menengok ke arah Daisy. Astaga, Reihan ingin sekali menenggelamkan muka Daisy ke rawa. Apa dia tidak memikirkan perasaan Jessi? Reihan berbalik sejenak hanya untuk membalas teriakan Daisy.

"Udah telat, woy!"

Reihan menggandeng Jessi untuk segera masuk ke mobil. Jessi pasti sedang bertanya-tanya kenapa hubungan keduanya tampak tidak baik-baik saja. Reihan akan menjelaskannya agar semuanya gamblang.

"Maaf, ya, harusnya kita cari toko kue yang lain."

"Gak apa-apa. Bukan salah kamu, kok." Jessi mengusap punggung tangan Reihan.

"Dia mantan pacarku. Dulu dia selingkuh sama sepupuku. Gila, kan?" Reihan langsung berbicara tanpa Jessi minta.

Reihan menatap mata Jessi, mata yang membuatnya suka rela untuk tenggelam di sana. "Setelah itu aku jadi malas untuk membuka hati. Banyak yang datang tapi mereka aku suruh pulang. Sampai akhirnya aku ketemu kamu, Jess. Kamu yang pegang kuncinya, jadi pintunya bisa terbuka lebar lagi. Makasih, ya udah datang di hidup aku."

Jessi hanya bisa tersenyum mendengar perkataan Reihan. Ia membelai kepala Reihan dan menyugar rambutnya. "Iya, makasih juga udah datang di hidupku yang dulu kaya penjara."

Reihan mencubit gemas pipi Jessi. Kemudian Jessi menangkup wajah Reihan dengan tangannya lalu memberikan kecupan singkat di pipi Reihan. Hanya satu atau dua detik. Namun, itu bisa membuat hati Reihan riang sepanjang jalan.

***

Reihan dan Jessi sudah sampai di depan rumah Jessi. Reihan membantu Jessi untuk membawa kue yang tadi ia beli. Arloji di tangan kiri Reihan menunjukkan jam 9 malam karena mereka tadi terjebak macet di beberapa titik.

"Nanti kalau Papi marah, kamu masuk ke dalam aja ya. Biar aku aja yang Papi kamu marahin."

Reihan ingin menjelaskan kemana saja mereka berdua sampai tiba malam ke rumah Jessi. Ia tidak mau Jessi jadi kena marah gara-gara pergi bersamanya. Jessi membuka pagar dan membaca situasi rumah. Masih ada suara berita yang ditayangkan di televisi. Semua lampu masih menyala. Berarti Papi dan Mami belum tidur.

Pintu rumah sudah dikunci. Reihan mengetuk pintu sampai beberapa kali karena tidak ada jawaban. Lalu ada suara derap langkah yang terdengar dari dalam rumah. Pintu langsung terbuka, menampilkan Papi yang tampak sudah mengantuk.

"Malam, Om. Mohon maaf kemalaman pulangnya soalnya tadi mampir ke toko kue dulu terus kejebak macet."

"Masuk dulu, ngobrol di dalam aja."

"Iya, Om, terima kasih. Jessi ke kamar aja istirahat, ya." Reihan memberi kode pada Jessi untuk segera masuk ke kamarnya. Biarlah kemarahan Papi akan ditanggungnya sendiri.

Reihan dan Jessi masuk ke dalam rumah. Jessi merasa tidak enak sebenarnya meninggalkan Reihan tanpa pendampingannya di situasi genting. Ini pertama kalinya ada teman laki-laki yang dipersilakan masuk oleh Papi, karena dulu Deo tidak berani masuk ke rumah. Hanya sebatas pagar lalu segera pulang.

Reihan sudah duduk di kursi yang berada di ruang tamu rumah Jessi. Om Bram berada di depannya bersama dengan Tante Ruth.

Jujur saja Reihan sedikit gugup. Apakah ia akan dimarahi atau diinterogasi? Terserah, Reihan sudah pasrah. Tidak masalah dimarahi jika memang karena kesalahannya.

"Reihan, makasih, ya. Semenjak kenal kamu, Jessi jadi ceria lagi. Dulu kalau pulang dari mana-mana, dia langsung masuk ke ngunci diri di kamar," papar Tante Ruth memulai pembicaraan.

"Sama-sama, Tante."

"Kamu sayang sama Jessi?" Om Bram bertanya dengan tatapan yang sangat tajam.

"Sayang, Om." Reihan mengangguk, tetapi tidak dipungkiri kalau ia juga gugup.

"Tolong jaga Jessi, ya. Saya percaya kalau kamu anak baik-baik."

"Iya, Om. Tolong ingatkan saya juga kalau saya mainnya terlalu malam atau terlalu sering ngajak Jessi keluar. Saya masih perlu dinasehati."

"Sudah malam, silakan pulang ya. Malam ini kamu bebas, tidak ada main catur. Hati-hati di jalan, ya."

Reihan pamit pulang dari rumah Jessi. Setelah menyalami Om Bram dan Tante Ruth ia mengirim beberapa pesan ke ponsel Jessi, tetapi tidak terbalas. Mungkin Jessi sudah tertidur. Hari ini ibarat permen nano-nano. Rame rasanya tapi cenderung tidak jelas.

Reihan melajukan mobilnya membelah jalanan ibu kota. Ia menyetel radio untuk menemani perjalanannya. Ada sebuah lagu yang langsung terdengar saat ia menyalakan radio.

"Aku untuk kamu, kamu untuk aku. Namun, semua apa mungkin ... "

Reihan langsung mematikan radio. Biarlah sepi yang mengiringi perjalanannya daripada ditemani oleh lagu yang seolah sedang menyindirnya.

Au Revoir [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang