Bagian 6.3

32 3 0
                                    

Setelah menjalani serangkaian pemeriksaan dan rawat inap selama satu ahri. Akhirnya sore ini aku sudah bisa pulang. Hanya disarankan untuk lebih berhati hati kedepannya. Dan juga tidak boleh stress dan melakukan kerja berat.

Hal itu sangat membuatku muak. Semenjak mendengar perkataan dokter, Lauda mengeluarkan sifat posesifnya. Dia melarangku untuk berjalan kaki ke parkiran dan menunggu Phine yang mengambil mobil dengan kursi roda. Yah... Sahabatku itu memaksaku untuk duduk di kursi roda dan didorong olehnya. Aku bersyukur.

Aku duduk dijok belakang dengan Nenek May. Beliau tidak mengatakan apapun. Tangan rapuhnya terus menggenggamku dan mengelus rambutku. Aku merasakan beliau sangat senang melihatku pulang. Tapi entah kenapa aku merasa Nenek May sangat aneh hari ini.

"Apakah Nenek semalam baik baik saja?"

Ah iya .... Semalam Nenek May tidur di rumah sendirian. Lauda dan Phine menjagaku semalaman. Pasti Nenek May merasa sangat kesepian di rumah sendirian. Kasihan Nenek, kalau dia ikut tidur di kamar inapku jelas tidak nyaman. Serba salah jadinya.

"Nenek baik baik saja La... Memangnya siapa yang mau berbuat jahat dengan nenek tua renta seperti ini" Nenek May terkekeh pelan "ada ada saja kamu"

"Hehehehe"

Aku memalingkan pandanganku keluar jendela. Pemandangannya sangat indah. Sawah yang membentang luas. Suara gemericik air di sungai kecil yang mengalir. Dan cahaya matahari yang tenggelam perlahan menambah kesempurnaan..

Jendelanya terbuka perlahan. Aku melirik Phine yang memang membuka kaca sampingku dengan sengaja. "Terimakasih Phine" ucapku.

"Noprob Anne" kata Phine. Dia kembali fokus dengan kemudinya.

Sapuan angin membuatku nyaman. Rasanya sangat sejuk dan menenangkan. Desa adalah tempat ternyaman untuk orang orang sepertiku. Tidak salah aku memutuskan untuk datang ke sini.

Kalau saja aku tidak memilih desa ini sebagai pelarian, aku tidak akan setenang ini. Tidak akan bertemu dengan orang orang baik. Tidak akan bertemu dengan Kai. Desa ini menyakitiku dan menenangkanku secara bersamaan. Obat terampuh adalah hal yang menyakitimu.

Dan tidak salah aku melihat Kai juga. Melihat Kai dengan balutan baju batik bercorak batik Mega Mendung. Dengan lengan baju yang panjang, celana kain hitam, dan sebuah motor bebek yang membawaku kemarin.

Kai berdiri di pelataran rumah Nenek May. Aku terpaku. Bukan, bukan karena Kai. Melainkan beberapa orang disana. Kedua orang tuaku, dan sepertinya perangkat desa sini karena mereka masih memakai baju dinas.

Ada apa ini?

Begitu mobil berhenti, aku langsung turun di bantu oleh Lauda. Sepertinya bukan aku saja yang terkejut. Lauda juga. Kami berpandangan satu sama lain.

"Anne... mama dan papa mau bicara di dalam" ucap Mamaku.

Aku merasa sangat tidak enak dengan Nenek May. Ucapan mamaku memang tidak sopan. Nenek May mengerti, dia menyerahkan kunci rumahnya kepada kedua orangtuaku.

Sedangkan aku yang tidak berdaya mengikuti mereka dengan menunduk. Rasanya sangat lemas. Semua tamu duduk di ruang tamu. Aku menyuruh Mama dan Papa ikut ke dalam kamarku. Kami berbicara disana.

Sejujurnya aku sangat merindukan mereka. Tapi aku sadar, sekarang bukan waktu ya untuk hal seperti itu. Sepertinya mereka akan membicarakan hal yang sangat penting.

"Kamu dilamar oleh pemuda itu, dia ayah dari bayimu bukan?"

Kai?

Bagaimana dia bisa tahu kedua orang tuaku? Bagaimana dia bisa memutuskan dengan sepihak perkara penting seperti ini? Apakah dia tidak mau tahu dengan pemikiran ku? Kenapa semua orang memutuskan dengan sepihak?

Mama tidak mengatakan apa apa. Tapi dari raut wajahnya merasa kelegaan yang luar biasa. Apakah Mama merasa lega telah menemukan pria yang memerkosaku? Dan mereka akan menikahkan ku dengan Kai? Tanpa memedulikan pendapatku?

"Kalian harus segera menikah sebelum perutmu membesar"

Dan tebakanku benar. Belum sempat aku menjawab, mereka sudah memutuskan sendiri. Mereka meninggalkanku dengan pikiran linglung di kamar. Sendirian dan tidak punya hak untuk berbicara. Selalu seperti ini.

Aku berjalan dengan lunglai menuju ruang tamu. Rasanya, ingin sekali aku menghilang di dunia ini. Serasa semua orang tak ada dipihakku, tapi Lauda sudah menungguku di depan pintu kamar. Dia membimbingku untuk duduk di sofa. Dia adalah salah satu nikmat dari Tuhan.

Semua orang sudah berkumpul menantiku. Phine dan Nenek May kemudian datang membawakan teh hangat dan kue kering. Sekarang sudah lengkap.

Pak Kirun, kepala desa, berdehem pelan "sehubungan dengan datangnya saya sebagai kepala desa dan dua rekan saya, kami ingin membenarkan apakah ananda Annelise benar sedang mengandung?"

Aku menghela nafas panjang. Mungkin warga desa merasa risih selama ini. Apalagi desas desus itu memanglah kenyataan. Aku datang sebagai pendatang yang sedang mengandung tanpa suami.

Belum sempat aku berbicara. Kai sudah berdiri "Maafkan saya pak tapi kami sedang mengajukan pernikahan kami. Semoga desas desus yang ada bisa ditutup rapat oleh bapak. Saya akan menghargai itu"

Aku melihatnya. Aku melihat Kai yang berbicara ini sepihak. Melihat Kai menyodorkan amplop di depan Pak Kades dan dua perangkat lainnya. Pertama kalinya aku melihat penyogokkan di depan mataku.

"La.." panggilku lirih.

Tanpa berbicara apapun, Lauda mengusap pundakku pelan. Memang, sedewasa apapun dirimu orang tua akan selalu berkuasa penuh apapun itu selama belum menikah. Apalagi aku Annelise Jane Hoffman, putri satu satunya keluarga Hoffman.

Dan tanpa membiarkan aku mengeluarkan suaraku. Kai dan kedua orang tuaku berunding tentang hari baik untuk menikah. Berikut tentang pendataan KUA yang akan terjadi di kecamatan ini. Mereka bersepakat untuk melangsungkannya dua minggu lagi dari sekarang.

Bahkan peringatan dokter untuk jangan terlalu stress sudah tidak aku hiraukan lagi. Pernikahan dadakan ini saja sudah menguras otakku. Lauda dan Phine tidak mengatakan apapun, begitupun dengan Nenek May. Mungkin mereka tau, ini bukan ranah mereka untuk ikut campur. Walaupun mereka melihatku tidak menginginkan hal ini semua. Ya Tuhan  aku memang merepotkan keluarga Lauda.

"Bisakah aku meminta untuk tidak terlalu banyak tamu?" Ucapku mengehentikan diskusi mereka "aku sedang hamil. Tidak ingin menerima tamu yang terlalu banyak. Tolong mengertilah"

"Tapi keluarga kita tentu akan menentangnya sayang..."

Ada nada penekanan disetiap kata yang diucapkan Mama. Yah.. mama yang selalu ingin semuanya terasa wah untuk keluarganya. Bahkan dia sampai lupa untuk menanyakan bagaimana perasaan putrinya.

Mama yang akan menekanku untuk unggul di setiap pelajaran padahal aku sudah mati matian belajar. Mama yang memasukkanku di semua les yang teman teman aku ikuti sampai aku tidak punya waktu bermain. Mama yang akan mendandaniku bak seorang princess padahal rambut dan kakiku sakit.

"Terserah Mama saja" pasrahku.

Toh percuma saja aku melawan. Setiap omongan kedua orang tuaku adalah mutlak yang tidak bisa diganggu gugat lagi. Rasanya kebebasanku tidak berlangsung lama. Setelah keluar dari rumah itu kemarin sampai hari ini, aku merasa bebas untuk diriku sendiri.

"Saya ingin tamunya cukup keluarga dekat saja"

Dan sekarang aku akan memiliki Kai. Aku harap laki laki itu bisa melindungiku. Walaupun aku sangat sangsi karena tidak mengenalnya dengan baik.

To be continue

Salam hangat, fi.

Tangerang, 29 nov 23

Kopi SusuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang