NISKALA : 01

276 18 3
                                    

Shankara Chandrakanta Indlyn. Nama yang pertama kali muncul dalam benak kala anak itu lahir. Anak yang kini sudah berusia delapan tahun, tumbuh dengan didikan yang super terjamin. Oleh orangtuanya, Shanka senantiasa diayomi, dikagumi, dan diberi kasih sayang yang berlebih. Tak luput dari semua itu, Adiknya pun turut diperlakukan demikian. Nama Adik dari Shanka adalah Azeera Chandrakanta Indlyn, yang kerap dipanggil Zee. Mereka adalah sepasang Kakak-beradik yang terbilang begitu dekat. Wajar, umur keduanya hanya berjarak satu tahun.

Shanka, atau Shani-nama panggilan khusus keluarganya-itu sangat menyukai mainan. Ia bagai terobsesi. Setiap mainan-mainan terbaru muncul, Shani pasti akan membujuk Ibu dan Ayahnya untuk segera membelikannya mainan tersebut. Akibat dari orangtua Shani yang tipenya penyayang, tentu mereka pun dapat cepat memenuhi keinginan sang anak secepat mungkin. Tergantung dengan harga mainan itu sendiri.

Terkadang, Shani selalu ingin membeli mainan yang harganya di atas gaji orang dewasa pada umumnya. Seperti mainan Lamborghini Aventador LP Jenis Car yang harganya 4,8 juta dolar AS atau seputar Rp 65,7 miliar. Pantas jika kedua orangtua Shani menolak permintaan tersebut.

"Tapi Shani mau itu, Ma!" Shani berteriak sambil merengek. Sedangkan sang Ibu-Vina-sudah tampak pasrah atas perilaku Shani yang akhir-akhir ini membuat kepalanya berdenyut.

"Shani, itu terlalu mahal. Beli lego aja, ya? Barengan sama Adek," bujuk Chandra, si kepala keluarga. Namun, Shani tetap kekeh meminta mainan mahal tadi. "Shani udah punya banyak lego! Shani bosen!"

"Shani ... jangan keras kepala," peringat Chandra lembut, dan Shani tak menghiraukannya sama sekali. Ia tetap berpegang teguh kepada keinginannya untuk segera memiliki mainan impiannya itu.

"Emang apa bagusnya, sih, mainan itu? Kenapa Kak Caka mau banget?" Zee bertanya bingung, turut menyambung ke dalam obrolan.

Shani tersenyum. "Karena mainan itu mahal dan menarik. Koleksiku bakal tambah keren kalau aku punya mainan itu." ia melirik Ayah dan Ibunya secara bergantian. "menurut aku, kalian juga cukup keren buat dijadiin koleksi," gumam Shani, tak terlalu jelas terdengar.

***

"Aku masih belum mendapatkan mainan itu karena sangat mahal," kata Shani yang pada saat ini umurnya sudah menginjak sepuluh tahun. Wajah Shani berubah lesu, bibirnya mencebik. Kemudian, matanya beralih melirik kardus besar yang terletak di pojok kamarnya.

"Tapi kurasa, jika dihitung dari jumlah organ tubuh Papa dan Mama, aku pikir itu cukup," Shani tersenyum, lalu berjalan menghampiri kardus tersebut dan membukanya perlahan.

Tampaklah beberapa potongan tubuh manusia yang lengkap dengan organnya. Shani mengernyit, ia kesulitan menahan napas sebab bagian-bagian tubuh itu mulai membusuk dan bau. Shani tak tahu menahu bagaimana caranya agar hal ini tidak terjadi. Wajar, saat itu umur Shani masih di bawah, maka pikirannya pun tak dapat menyamai pikiran orang dewasa. Bahkan, mungkin orang dewasa sekalipun tak segila Shani sekarang.

"Papa dan Mama sangat bau," ujar Shani spontan. Langsung menutup kardus itu kembali. "hah .. aku cuman ingin mendapatkan mainan itu. Kenapa begitu sulit?"

Ingin sekali Shani berteriak dan menangis. Tetapi semua itu sia-sia menurutnya. Siapa juga yang akan menenangkannya? Kedua orangtuanya sudah terlanjur ia habisi. Dan sekarang Shani bingung harus melakukan apa terhadap kedua mayat ini.

Sebelum Shani melakukan aksinya pagi tadi, ia sempat berpikir untuk menjual bagian tubuh dan organ milik kedua orangtuanya itu. Tak memikirkan di manakah ia harus menjualnya. Yang Shani pikirkan hanyalah bagaimana caranya ia mendapatkan uang lalu membeli mainan itu. Memang dasarnya anak kecil, mana tahu tentang jual-beli di pasar gelap.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 04 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

NiskalaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang