Fifty One

576 68 3
                                    

Niall Horan's POV

Sikap Luna berubah semenjak aku kembali dari membeli tiket. Entah kenapa ia menjadi lebih diam. Memang, aku tadi sempat berfoto dengan para directioners, tapi tidak mungkin kan Luna begitu karena ia cemburu? Luna kan tidak sebodoh itu.

Ia juga tidak memainkan handphonenya selama kami menunggu pesawat datang yang merupakan masih dua jam lagi. Ia hanya menyenderkan kepalanya di bahuku, dan aku meletakkan tanganku di pundaknya yang sebelah lagi. Ku harap ia hanya lelah.

"Luna, kau baik-baik saja?" Aku mencoba bertanya padanya. Ia mengangguk. "Kau tahu kau tidak bisa berbohong padaku, kan?"

Luna menghela napas, lalu meluruskan duduknya. "Aku... hanya bingung,"

Aku menaikkan sebelah alis mataku. "Kenapa?"

"Entahlah. Aku hanya ada perasaan buruk saja,"

Aku mendekapnya perlahan dan mendekatkannya ke tubuhku. "Tidak ada yang akan terjadi. Kau kan tahu aku akan selalu ada untukmu dan menjagamu," aku mencium kepala atasnya perlahan.

"Bukan untukku. Untukmu," aku sedikit terkejut dengan ucapannya. "Janji padaku kalau kau tidak akan meninggalkanku, dan tidak akan menyakitiku,"

"Tentu, Luna. Kau tidak memercayaiku?" Aku mengangkat dagunya.

"Aku percaya padamu, Niall,"

"Kalau begitu, percayalah padaku kalau aku akan selalu menjagamu dan mencintaimu tidak peduli apa yang terjadi," ia mengangguk. "Aku mencintaimu," aku mencium keningnya.

"Aku mencintaimu,"

––––
Luna Anderson's POV

Entah kenapa aku takut kalau Niall dan Harry bertengkar. Terakhir kali kami bertiga bertemu, Niall dan Harry tidak dalam suasana bersahabat. Dan kini Mom mengabarkan Harry tentang Dad dan Harry sudah berada dalam perjalanan.

Aku terbangun saat sudah sampai di Jersey. Niall membangunkanku, dan kini ia sedang menunggu taksi. Ia memaksaku untuk duduk saja dan membiarkan ia berdiri memanggil taksi. Ia juga membawakan koperku yang besar, dan tidak mau aku bantu.

"Sayang, ayo!" Niall memanggilku dan aku langsung mengikutinya dan masuk ke dalam mobil. Jujur aku sedikit merasa bersalah padanya karena tidak bilang kalau Harry juga akan ada dirumah. Tapi kalau aku bilang padanya dari sekarang, yang ada ia akan menjadi cuek padaku dan mendiamkanku.

Waktu berlalu cepat, dan tidak kurasa kini taksi sudah berhenti depan rumahku semasa kecil. Niall masih memaksa agar ia yang menenteng koperku, lalu aku membuka pagar, dan Mom menyambutku.

"Luna!" Mom memelukku erat. "Mom merindukanmu," aku membalas pelukan Mom. Tak kurasa air mataku ikut mengalir.

"Aku juga merindukanmu, Mom," Mom mencium pipiku.

"Lihat siapa yang ikut kemari!" Mom mendekat ke Niall dan membuka tangannya yang langsung disambut pelukan dari Niall. "Jadi kalian kembali bersama?" Mom menyengir kepada Niall.

"Aku terlalu mencintai anakmu, Kattie," Niall mencium pipi Mom, dan aku merasakan pipiku memerah akibat ucapannya. Terlebih, setelah Niall mencium pipi Mom, ia sempat-sempatnya mengedipkan sebelah matanya ke arahku.

"Mana Dad?" Aku bertanya pada Mom.

"Ia di dalam, sedang tidur. Ayo masuk, sini aku bangunkan," Aku langsung menarik tangan Mom.

"Jangan, Mom. Biarkan saja Dad tidur dulu," aku duduk di sofa. "Aku boleh ke kamar, kan?" Tanyaku.

"Tentu, sayang. Kalian tidur saja. Mom mau masak dulu,"

Pipiku memerah saat Mom mengatakan kalian padahal yang ingin tidur kan aku. "Aku saja Mom yang ingin tidur," aku menunduk. Tiba-tiba Niall merangkulku.

"Aku boleh ikut kan?" Ia menunjukkan cengiran giginya yang manis itu.

"Kau tahu, Niall? Kau sangat lucu dengan wajah seperti itu," aku mencubit pipinya dan menarik koperku ke kamarku.

Aku menghempaskan diriku ke kasur tempat aku dulu menghabiskan masa kecilku. Masa remajaku sudah jarang berada disini karena aku sudah bergelut dalam permodelan dan jarang dirumah. Lucunya, tidak banyak yang berubah dari kamar ini. Masih ada fotoku semasa kecil, fotoku juara model di suatu mall, dan masih banyak lagi.

Niall ikut masuk ke kamarku. Ia meletakkan kopernya dan ikut ke tempat tidur bersamaku. Disaat aku masih terbangun, ia sudah terlelap di sampingku. Raut wajahnya yang sedang tertidur pulas membuatku tidak tahan untuk menyentuhnya. Aku mengusap rambutnya, wajahnya, dan berulang-ulang begitu saja. Ia tertidur amat nyenyak dan damai, seperti tidak ada beban dalam hidupnya.

Aku mencintainya. Sangat. Memang banyak yang kami lalui bersama. Aku lupa akan kenangan bersama Niall, aku menjalin hubungan dengan Harry, aku kembali bersama Niall, dan pengakuan bahwa ia mencintaiku. Dan aku pun membalasnya. Mencintainya tidak butuh banyak alasan, cukup melihat matanya saja aku sudah tahu alasanku mencintainya.

Benar, bukan?

Aku masih mengusap wajahnya saat tiba-tiba aku teringat akan natal yang sebentar lagi datang. Niall jarang bilang ia menyukai sesuatu, dan kini aku bingung aku harus memberinya apa. Memang ia pernah mengatakan padaku bahwa dengan mencintainya saja sudah menjadi kado natal terindah untuknya, tapi tetap saja, aku ingin memberinya kado fisik.

Mengingat tentang hari ini, ya, Harry sudah dalam perjalanannya. Sedikit aneh kenapa harus bersamaan dengan aku dan Niall. Harry juga sepertinya tidak mengetahui tentang aku dan Niall yang sudah kembali bersama, dan aku tidak mau Harry dan Niall bertengkar. Mereka sudah cukup dewasa tentang masalah seperti ini, dan sepertinya cara fisik adalah hal terbodoh yang bisa terpikir oleh mereka. Memang aku tidak bisa berharap banyak untuk mereka tidak bertengkar hari ini, tapi aku ingin sekali mereka bisa kembali damai, kembali menjadi 'Narry' yang dari dulu kukenal.

"Sudah selesai memperhatikanku?" Aku refleks mengangkat tanganku saat tiba-tiba Niall berbicara. Memang sepertinya saking penuhnya isi pikiranku, aku jadi tidak sadar kalau ia sudah terbangun.

"Sudah," aku tersenyum ke arahnya, yang kini wajahnya hanya berjarak beberapa senti dariku.

"Kau terlihat tidak fokus tadi. Ada apa?" Ia memegang pipiku.

"Jadi kau sudah bangun sedari tadi?" Aku balik bertanya.

"Aku tidak tertidur, bodoh. Aku ingin pura-pura tidur tapi elusanmu membuatku ingin menciummu," ia mengecup keningku dan kembali memegang daguku. "Ada apa?"

Aku menghela napas. "Berjanji padaku kau tidak akan bertengkar dengan siapapun hari ini," aku tidak melepas tatapanku darinya.

"Memang ada apa?" Ia mengangkat alis matanya.

"Kau janji?"

"Janji, Sayang. Memangnya ada apa?"

Sebelum aku berbicara, kami berdua menoleh karena ada ketukan di pintu, yang menunjukkan keberadaan Mom.

"Maaf mengganggu, tapi Harry sudah datang,"


SORRY THIS IS JUST FILLER AND SUCKS AND STUPID but please at least appreciate my works and check my other fanfics too if you dont mind lol but i promise it'll be better after this chapter 


Somebody to Love {Niall Horan}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang