1. Berlebihan

7 1 0
                                    

Aku berlebihan akhir-akhir ini, dalam hal apapun, hampir segala hal. Tidak ada yang aku lakukan sewajarnya dan secukupnya. Semuanya berlebihan. Andai makanku yang berlebihan.

Aku duduk di kamar seorang diri—karena memang selalunya begitu.
Bahkan kupikir makan sambil nangis itu lebih efisien waktu. Tapi nyatanya air mata asin itu membuat nasi telurku makin terasa asin.

Alunan musik dekat sudut kamar, laptopku memutar lagu random. Kadang senang kadang sedih lagunya. Seperti hidup ini. Sejenak terbesit lagi—urusan duniawi perkuliahanku. Ah tidak, organisasi tepatnya. Jelasnya memang sedang runyam diantara kedua itu. Ditambah pula urusan pekerjaanku, triple kill!. Bagaimana tak menangis sesenggukan kemarin malam. Aku bahkan tak kuasa untuk kembali mengulang cerita itu disini. Padahal tadi niatnya ingin begitu. Jadi, anggap saja itu berlalu.

Lalu pada hari ini aku agak batuk. Makan seperti mau dimuntahkan padahal memang belum sempat kutelan nasinya tapi sudah gatal tenggorokan ini. Penampakan terkini cukup lusuh tengah malam dengan wajah yang absen skincare routine. Aku memang begitu jika tak jadi prioritasku.

Tadinya aku masak, walau sudah larut malam. Kurasa penghuni sini juga sudah bosan melihatku kelayapan di dapur malam-malam. Aku sangat sederhana masalah perut, sebisa mungkin satset karena aku merasa banyak hal lain yang perlu diselesaikan. Alhasil, telur yang tadinya sudah nebeng bersama nasi dalam rice cooker  30 menit yang lalu menjadi bahan utama masakanku.  Se-simple niatku, ulekan kasar perbawangan dan sedikit penyedap membuat suara tak biasa tengah malam. Tapi itu biasa bagi tetangga kamar kosku, walau normalnya mereka sudah di alam mimpi sekarang.

Aku suka sekali bawang, terutama bawang goreng. Pokoknya bawang adalah bahan masakan wajib. Kalau ada bawang selamatlah lambungku. Aku sangat suka sampai pakai banyak bawang. Padahal, itu cuma telur rebus sebiji yang aku belah dua. Biasanya aku sambal, tapi sedang kehabisan cabe, lebih tepatnya cabe itu keburu membusuk lama tak sempat ku eksekusi. Aku ingin mengantisipasi rasa mual karena minyak, untuk itu putusanku menambahkan sedikit air. Jadi, seperti telur rebus dikuahin anti sreg walau cuma modal dua bahan, tiga plus telurnya.

Tak sampai lima menit, sudah selesai. Ku ambil nasi cukup banyak, walau tak sampai habis.  Aku tahu nasi itu takkan termakan sampai habis jika pakai embel-embel "simpan untuk nanti pagi". Kubawa piring nasi agak menggunung itu ke kamar. Kebetulan hari ini aku baru makan nasi, salah, maksudnya hari kemarin—karena sekarang sudah ganti hari. Aku hanya makan dua roti coklat dan sosis. Itu juga roti kedua baru aku makan malamnya. Sungguh jahat diriku pada tubuh sendiri, bukan? Dan dari itulah aku mulai merenung.

Aku mencicipi saat suapan pertama, pas. Sengaja kubuat lebih asin karena kalau pakai nasi nanti jadi lebih hambar jika rasa diawal sudah dipaskan. Awal-awal memang aman, sambil sesekali aku kombinasikan bersama pangsit hasil danusan yang harusnya aku dagangkan tapi malah kubeli sendiri karena tidak punya waktu untuk menawarkan orang lain.

Lama kelamaan, rasanya agak aneh. Rasa bawang yang aku bangga-banggakan sebelumnya, sekarang terasa tidak enak. Ada rasa yang memang masih bisa aku terima masuk, tapi sepanjang menerimanya ada rasa tidak nyaman. Dan aku sadar, aku tidak harus makan terlalu banyak bawang meski aku suka itu.

Bersamaan dengan itu aku merenung, merasa sadar bahwa apa yang aku lakukan akhir-akhir ini serba berlebihan. Mulai dari sedih berlebihan, bergadang yang berlebihan, dan berlebih-lebihan things lainnya yang memang sudah berangsur-angsur membuatku merasa hidup jadi tak bermakna. Karena itu aku merasa porak-poranda, hidup tak seperti semestinya. Aku punya standar hidup yang tak terealisasi pada prakteknya.

Aku dengan keinginan untuk hidup rapi terstruktur, jika tidak pun, minimal santai tanpa tekanan. Bukan benar-benar ingin jadi "tanpa", tapi ini memang terlampau "banyak". Masalah utama disini, aku terhubung terlalu banyak dengan orang lain untuk hal yang tak terlalu aku senangi menjalani itu. Seperti sesuatu yang melelahkan tapi tak meninggalkan secercah kebanggaan dan kepuasan untukku melakukan itu. Dan kurasa, aku bukan gagal memahami diri. Tapi aku gagal mengasihi diri. Dengan melakukan apa yang tidak terlalu aku senangi, memaksa untuk tetap bertahan dan menyelesaikan, kemudian menjadi beban tersendiri, berakhir dengan banyak keluhan yang bahkan membutuhkan telinga orang lain untuk mendengarnya.

Harusnya aku mencoba hal baru yang menuju pada upaya mencapai apa yang menurutku membanggakan. Agar setidaknya ada banyak apresiasi dan kepuasan terhadap hidup diri sendiri. Aku salah mengklaim bahwa aku mengenal diri sendiri. Pada nyatanya, aku masih kurang kasih pada diri sendiri.

Fri December 1, 2023 02:03 AM.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 30, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

KESAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang