[6]

1.8K 91 18
                                        

Kado yang mungkin akan kuberikan terakhir kalinya untuk Mas Fajri, sebuah sepasang kaus kaki yang aku beli di pasar. Tidak terlalu spesial namun hanya ini yang aku ingin berikan terakhir kalinya untuknya, pasalnya dia memang ingin sekali kaus kaki berwarna cokelat dan ditambah hiasan titik putih dibagian jari-jarinya. Menurutnya itu sangat bagus, aku yang mendengarnya terheran-heran karena tak biasanya seorang pria merasa kagum pada sebuah kaus kaki.

Segera kumasukkan kaus kaki ini beserta sepucuk surat berwarna hijau dan kututup rapat-rapat. Sebuah lekukan menghiasi bibirku, tak sabaran adalah hal yang kini kurasakan. Aku tak sabar ingin memberikan ini pada Mas Fajri, karena tak lama lagi acara ulang tahunnya akan dimulai.

"Saras, ayo keluar! Acara akan segera dimulai," teriak Kak Shofa dari luar kamar sambil berusaha mengetuk pintu.

"Iya, Kak!" jawabku dan segera bergegas untuk meninggalkan kamar dan membuka pintu secara perlahan.

Senyum merekah di bibir Kak Shofa dan merangkul tanganku untuk mengikutinya ke arah taman yang sudah banyak diisi oleh para tamu undangan yang tidak terlampaui banyak, hanya dihadiri oleh keluarga dekat dan beberapa teman dekat Mas Fajri.

"Rupanya kamu sudah menyiapkan kado spesial untuk Fajri ya, Ras?" tanya Kak Shofa yang melihat ke arah kotak kecil yang tengah kupegang.

Aku tersenyum memandang kotak yang kupegang seraya menjawab pertanyaan Kak Shofa, "Iya."

Acara berlangsung sangat khidmat, Mas Fajri begitu bahagia dan tercetak jelas senyuman yang tiada hentinya di kala para tamu memberikan ucapan selamat kepadanya. Tapi kini giliranku untuk menemuinya dan memberikan kado pada Mas Fajri. Kemudian tatapan kami bertemu, dan di saat hampir dekat dirinya memutuskan untuk berjalan ke arah kanan dan meninggalkanku dengan kotak hadiah ini. Aku hanya tersenyum tipis melihat kejadian yang terbilang sering terjadi ini.

Sempat kurasakan pusing yang mendera kepalaku dan kaburnya pengelihatan di kedua mataku, dan hampir membuatku kelimpungan sebelum seseorang menangkup tubuhku yang hampir jatuh.

"Kamu tidak apa-apa?" tanya orang itu dan membawaku ke ujung taman dan mendudukiku di kursi kayu.

Rupanya Kak Emi dengan wajah khawatirnya membantuku untuk duduk, "Terima kasih, Kak."

"Kamu kenapa lagi?" tanya Kak Emi yang duduk di sampingku.

"Aku tidak apa-apa, Kak," jawabku memberikan keyakinan terhadap kesehatanku.

"Kalau ada apa-apa jangan segan-segan untuk memanggilku, ya," tawar Kak Emi sambil tersenyum ke arahku.

"Sungguh aku tidak apa-apa, Ka--"

"Kumohon, Ras, kalau kamu memang butuh bantuanku jangan segan-segan untuk memanggilku, ya," katanya lagi dan kusambut hanya dengan anggukan.

"Ya ampun Saras, kamu kenapa lagi ini?" ujar Kak Emi histeris yang menyentuh bawah hidungku yang mengeluarkan cairan merah kental. Entahlah aku tak bisa melihat lagi, kepalaku begitu berat dan hal yang terakhir aku rasakan tubuhku sudah terjatuh entah di mana.


***


Ruangan ini begitu terang namun baginya hanya bayangan hitam yang menakutkan, ruangan ini begitu damai namun baginya hanya kedamian yang begitu gelap, ruangan ini begitu dingin namun baginya tak terasa satu pun udara yang menyentuh kulitnya. Sampai pada kebenaran yang sama di mana ruangan ini sepi, hanya ada dia dan seseorang yang begitu gengsi akan perasaan sesungguhnya. Aliran butiran kristal bening telah tercucur di pelupuk matanya, hanya pautan erat di tangan nan dingin ini yang bisa membuatnya kuat. Namun apa daya jika Tuhan sudah berkehendak lain.

Sebuah Pilihan [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang