Tidak Peduli Ia Beristri

19.6K 46 3
                                    

Aku bergerak bangun dari kamar Sandro menuju halaman rumahnya saat seseorang mengetuk-etuk pagar rumah Sandro dengan gembok yang menggantung di pembuka pagar. Ternyata seorang kurir pos dengan map di tangannya yang membuatku harus keluar dari kamar Sandro yang nyaman untuk mengambil barang yang dikirimkan seorang kurir.

Tadi Sandro menyuruhku ke rumahnya untuk menghabiskan waktu liburanku di sana entah untuk apa karena dia sendiri berangkat ke kantor. Aku hanya berleha-leha di kamarnya yang beraroma seperti tubuh Sandro itu, sesekali mengiriminya pesan mesum seperti menanyai keadaan penisnya saat kukirimi foto seksiku yang berada di ranjangnya.

Pintu rumah Sandro aku buka lalu aku berjalan ke gerbang tempat kurir menungguku sambil sibuk dengan ponselnya.  Begitu aku berdiri di hadapannnya dan menanyakan kepentingannya, kurir tersebut menanyakan nama Sandro dan menyerahkan sebuah amplop cokelat yang aku yakini isinya adalah dokumen, aku  mengangguk menjawab pertanyaan kurir tersebut.

Tanganku membalikkan amplop untuk melihat tulisan di sampulnya. Amplop itu berasal dari pengadilan agama. Langkahku terhenti ketika melihat jenis kasus yang tertera disana dan mencoba membacanya sekali lagi. Jantungku berdetak cepat sambil kulanjutkan langkahku untuk masuk ke dalam rumah demi mengambil ponselku.

"Mas udah punya istri?" Tembakku langsung.

Sandro tidak langsung menjawabku, aku mendengarnya menarik napas. "Kamu ambil suratnya?"

"Iyalah."

"Nanti kita bicara di rumah. Jangan berpikiran yang aneh-aneh dulu. Satu jam lagi aku bakal pulang."

Aku menarik napas lalu mengiyakan ucapannya. Tanganku menyugar rambutku yang tergerai bebas. Aku duduk di sofa dan menyandarkan tubuhku di sandarannya.

Pikiranku berkelana. Pantas saja Sandro mahir memainkan gairahku dan sangat jago dalam permainan ranjang, ia pernah memiliki partner tetap rupanya.

Satu jam kemudian mobil Sandro terparkir di halaman rumahnya, ia memasuki ruang tamu dengan langkah cepat dan berhenti ketika menemukanku duduk di sofa sambil memainkan ponsel. Amplop khas pengadilan itu terletak begitu saja di atas meja, belum terbuka sama sekali. Aku tidak memiliki hak untuk membukanya. Akan kubiarkan juga Sandro menjelaskan semuanya. Pria itu meletakkan tas yang ia bawa di sofa lalu duduk di sampingku. Tangan panjangnya dibungkus kemeja yang sudah digulung sampai ke siku. Andai saja masalah amplop sialan ini tidak ada, aku akan menggodanya dengan mengelus tangan beruratnya itu.

Ia membuka amplop pengadilan itu tanpa suara lalu membacanya dalam diam. Matanya bergerak kesana kemari membaca setiap kata yang ada di dalamnya. Aku memerhatikan Sandro sambil menopang kepala dengan tanganku. Pria ini cukup tenang walaupun dihadapkan dengan surat pengadilan dan berhadapan dengan wanita yang ia tiduri.

"Aku memang sudah menikah, delapan bulan lalu. Kami nikah karena paksaan ibuku, aku sama sekali ga nyaman sama dia dan dia mutusin buat cerai kemarin."
Aku menatap mata Sandro mencari kebohongan disana. Namun, sejujurnya aku tidak terlalu peduli dengan cerita mereka.

"Kamu nafsu sama dia? Pernah tidur bareng?" Aku menoleh ke arah Sandro dan menatapnya tepat di bola mata pria itu.

"Nggak nafsu tapi pernah tidur bareng."

Aku tertawa mendengar jawabannya, "katanya nggak nafsu tapi pernah bobo bareng, gimana sih?"

"Waktu itu aku lagi mabuk dan dia juga godain aku." Belanya.

"Terus itu gimana ceritanya?" Alisku menaik dan aku mengarahkan mataku ke arah amplop cokelat yang masih berada di tangan Sandro.

“Lagi proses, kan aku udah bilang.”

“Kamu tidur berapa kali sama dia?” tanyaku penuh selidik.

“Tiga.”

Aku berdecih, “Mabuk doang tapi sampe tiga kali.”

“Aku tetap sangenya sama kamu kok.” Ucapnya cukup membuatku senang.

Aku mengangguk dan mendekat pada Sandro sehingga dapat mencium aroma parfumnya yang sudah bercampur dengan keringat. Tanganku mengelus dada bidangnya yang dilapisi kemeja biru, otot tubuhnya menonjol terasa di telapak tanganku. Sandro merangkul bahuku lalu menarikku lebih mendekat ke arahnya. Ia mencium bibirku sebentar lalu menatap mataku lalu menciumku kembali, ia memainkan lidahnya di sekitar bibirku, menggodaku untuk membuka mulutku agar lidahnya bisa masuk. Jari-jari rampingnya membuka kancing bajuku satu persatu satu saat lidahnya masuk ke dalam mulutku, menukar salivanya dengan salivaku.

Sandro membelai vaginaku yang masih tertutup celana saat kami masih bertukar saliva, ia meremas vaginaku membuatku mendesah manja merasakan nikmat hasil remasannya, aku semakin menempelkan dadaku ke dadanya. Sandro mengusap-usap vaginaku dari luar celana terlebih dahulu sebelum menarik celana dan celana dalamku turun hingga terlepas dari kakiku.

“Mhhh…” erangku saat tangannya mengusap kembali vaginaku. Aku memajukan payudaraku ke dada Sandro.

“Binal banget sih.”

“Karena kamu yahhh…” balasku sambil meraba-raba selangkangan Sandro.

“Emang dasarnya jiwa lonte kamu itu udah ada shh…”

Aku meremas penis Sandro saat merasakan jari-jarinya mengorek-orek kasar vaginaku yang basah.

“Basah banget memek kamu… Kepengen dikontolin banget ya? Hm?”

“Iya mashh, please ga kuat banget ahh…”
Surat dari pengadilan itu terletak begitu saja di meja. Suara percintaan kami menggelora di ruang tamu karena permintaan hebatku dengan Sandro.

Aku tidak peduli ia masih beristri yang penting Sandro memuaskanku dan ia terpuaskan oleh vaginaku.

Tanganku membuka kancing dan resleting celana kerja Sandro lalu bergerak menyentuh penisnya. Sandro kembali menciumku sambil tetap mengobok-obok vaginaku di dalam sana. Aku juga masih terus meloco penisnya dari balik celana dalamnya.

Sandro mengerang dan melepas ciuman kami, menyandarkanku di sandaran sofa lalu berdiri melepas celananya, aku juga turut membuka baju yang kancingnya sudah dibuka dan melepas braku hingga kami sama-sama telanjang di ruang tamu rumah Sandro.

Selanjutnya Di Karyakarsa!

Gara-gara Dating AppTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang