(Dilarang plagiat)
Tidak ada yang salah dengan perkemahan itu. Tidak ada yang dibenarkan dari sebuah legenda. Nyanyian itu adalah sebuah kutukan. Membaca sebaris kalimat saja sudah cukup untuk menghadirkan mimpi buruk yang tidak bisa dijelaskan. Ringo merasa kebingungan dan kecil di hadapan tantangan yang tampaknya begitu besar.
"Aku begitu bodoh. Hanya bisa membaca huruf Yunani Kuno," gumam Ringo dalam kekecewaannya, merenung tentang betapa terbatasnya pengetahuannya dalam hal ini.
Rumah mereka, meski minimalis, tetaplah tempat yang nyaman bagi Ringo dan ibunya. Dera angin dan hujan melanda, mencabik-cabik deret pepohonan palem di sepanjang trotoar, tetapi rumah mereka memberikan perlindungan. Bangunan semen merah jambu dan kuning menjajari tepi jalan, jendela-jendelanya tertutupi papan, menambah kesan hangat di dalamnya. Di luar, hamparan semak-semak kembang sepatu dan lautan tampak bergulung ganas, tetapi di dalam, suasana tenang dan nyaman.
Ranae tersenyum tipis melihat Ringo yang sedang memandang keluar jendela. "Apa kamu merindukan sekolahmu, Ringo?" tanyanya, mencoba menyentuh perasaan anaknya.
Pertanyaan sang ibu membuat Ringo mengalihkan perhatiannya padanya. Aroma yang begitu lezat dari dapur menggerakkan dua kakinya menuju meja makan.
"Hujan ada di luar, Ibu. Kenapa Ibu membuat sup?" tanya Ringo, mencoba mencari tahu alasan di balik hidangan yang disiapkan ibunya.
"Sup ini akan membuatmu hangat, anakku," jawab Ranae dengan lembut, mencoba memberikan sedikit kehangatan dalam hari yang dingin itu.
Setelah itu, dia mencoba menyalakan televisi untuk mencari berita mengenai cuaca hari ini. Meskipun televisi tua itu tampak usang, Ranae masih berharap bisa mendapatkan informasi yang mereka butuhkan.
"Nairó, éprepe na eíches pethanei." (Anak muda, kamu seharusnya mati).
Bisikan itu melintas di indera pendengaran Ringo saat Ranae menaikkan volume suara televisi. Suaranya terdengar samar, tetapi cukup jelas bagi Ringo untuk memperhatikannya. Ketegangan melintas di wajahnya, menciptakan kerutan di dahinya yang biasanya tenang.
"Ibu, bisa matikan televisinya?" pinta Ringo dengan suara gemetar, mencoba menyingkirkan suara yang mengganggu dari benaknya.
Mendengar ucapan anaknya, Ranae merasa ada yang tidak beres. Ringo, yang biasanya tenang, tiba-tiba tampak tegang. Dia memandang anaknya dengan penuh kekhawatiran saat Ringo mematung, seolah tenggelam dalam pikirannya sendiri. Suara guntur yang membahana di atas apartemen mereka menambah ketegangan suasana.
Dengan cepat, Ranae mematikan televisi dan mendekati Ringo.
"Apa kamu baik-baik saja?" tanya Ranae, suaranya penuh dengan kekhawatiran saat dia memeluk Ringo dengan erat.
Ringo hanya mengangguk lemah, mencoba menenangkan dirinya sendiri dari serangkaian pikiran yang menghantui. Dia merasa hampa, kebingungan menyelimuti benaknya. Bisikan tadi masih menggelitik pikirannya, menciptakan rasa ketidaknyamanan yang sulit untuk dijelaskan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ringo : Catching Fire (Revisi)
Aventura[Jangan Plagiat] Di alam semesta yang penuh dengan dewa dan kutukan kuno, lima jiwa berani merentasi utara yang gelap untuk menemui dewa yang terbantai. Tetapi takdir memiliki rencana lain, ketika empat di antaranya menghilang tanpa jejak, meninggal...