Setahun kemudian, 2006.
Walaupun mulut kotor menyumpahi Ibu dengan ucapan sampah yang ku keluarkan sebagai pelampiasan emosi tempo lalu-anak pertama tetaplah anak pertama yang harus menjadi tulang punggung keluarga selain Ayah. Aku bekerja mati-matian di desa sebagai petani, menggantikan posisi Kakek di sini. Menanam padi, mengelola kebun semangka, memerah susu sapi, menjadi penulis cerpen dan cerita anak-anak lalu ku bacakan bersama-sama dengan anak desa, hingga yang terakhir adalah... Bekerja sebagai tukang jagal daging babi. Terlalu menakutkan, tetapi aku hanya bisa berpasrah kalau hidupku memang ditakdirkan seperti ini.
Huh... Jangan berpikir kalau semua hasil uang yang ku kumpulkan untuk membiayai semua keperluan Rinata, adalah kebenaran. Faktanya, untuk pertama kali aku mengeluarkan sifat egois dengannya walau aku begitu menyayanginya. Alasannya mengapa?
Lambat laun, hari terus berjalan, aku akhirnya menemukan apa impianku yang sebenarnya. Impian setiap orang, impian setiap kalangan, dan impian keluarga ku. Yaitu, berdiri di antara kalangan atas setelah kabur dari zona kemiskinan. Tentu saja dengan kata lain, impian menjadi orang kaya.
Semua uang yang aku kumpulkan setelah menyelesaikan semua pekerjaan di desa, akan ku pakai untuk merantau ke luar negeri dan mencari lebih banyak uang. Uang, uang, dan uang. Mulai detik ini aku sudah ditahap kecanduan oleh uang. Tak peduli seberapa menderitanya tubuhku mengejar uang, jika masih berada di zona ini terus-terusan, aku tidak akan berhenti. Bahkan mati sekalipun.
Setelah sekian lama aku tak kembali ke kota, di tengah-tengah malam saat semua orang sudah terlelap begitu nyenyak, aku sengaja kembali ke rumah agar Ayah, Ibu, juga Rinata, tak mengetahui kalau aku akan kabur dalam rentang waktu yang sementara, dari mereka.
Bagai maling yang masuk ke rumahnya sendiri, hati demi hati ku injak lantai tanpa bersuara, melihat sekitar ruangan yang gelap sebagai tanda kalau mereka semua telah dibawa oleh mimpi malam.
Syukurlah, kamarku ternyata kosong dan tidak dihuni oleh Rinata. Bergegas namun tetap berusaha tidak mengeluarkan suara sedikitpun, aku mengemas semua barang ku, semuanya. Tak ada satupun yang akan ku tinggalkan di rumah ini.
Aku melakukannya agar mereka tahu kalau aku akan menghilang sementara dari mereka. Entah menghilang dan terus menghilang, atau menghilang dan kembali lagi dalam versi lebih baik dari kehidupanku yang sekarang ini. Aku hanya bisa berharap, kalau aku bisa bertahan sampai di mana aku memutuskan berhenti melangkahkan kaki.
BUK!
Suara gemuruh benda jatuh itu tiba-tiba menyeruak ruangan ku. Benda jatuh tersebut merupakan sebuah notebook bersampul cokelat dengan tulisan Untuk Dia-yang tertera sebagai penanda di sana. Ah... Aku tahu apa isinya. Semua rasa dendam, kebencian, kekaguman, hingga tangisan miris dari seorang gadis jelek kala itu, semua ku tuliskan di sana.
"Anak sialan." Ucapku lirih menyumpah serapah.
Anehnya, aku tetap membawa buku itu tanpa alasan yang jelas. Mengapa? dan Kenapa? Yang sudah diketahui jawabannya bahwa—aku sendiri juga tidak mengetahui apa alasanku memasukkan memori emosional itu, untuk melarikan diri.
Aku berhasil keluar membawa semua kenangan ku tanpa mengeluarkan suara sedikitpun. Merasa lega, kalau pelarian ini tidak ketahui oleh siapapun. Jadi aku tidak akan menangis diperjalanan panjang, hanya karena sebuah perpisahan yang sudah ku janjikan bahwa aku tetap kembali. Aku membenci kata perpisahan.
Tapi, diketahui olehnya.
Diketahui oleh anak sialan yang sudah lama tak pernah ku lihat, tumbuh menjadi remaja tampan. Tipe-tipe orang yang menjadi bahan idola gadis-gadis sekolah. Apapun itu, aku tidak peduli lagi dengan wajah tampannya. Wajah dan mulutnya akan tetap ku anggap lebih menjijikkan dari sampah.
KAMU SEDANG MEMBACA
From Walkman To Secret
Romance(18+) Cerita fiksi ini mengandung unsur konten dewasa, kekerasan verbal/fisik, serta pelecehan seksual. Dimohon kepada para pembaca yang sekiranya masih di bawah 18 tahun, untuk mengikuti prosedur yang tertera. Saya menyarankan para pembaca di atas...