chamomile tea

940 99 2
                                    

🌼🌼🌼

"Masa pemulihan akan membutuhkan waktu empat sampai enam bulan. Tangan kirinya tidak boleh digunakan untuk aktivitas berat seperti mengangkat beban."

Laki-laki di hadapannya ini menganggukkan kepala seolah paham dengan apa yang diucapkan oleh Serra padahal sejak tadi matanya tidak lepas dari wajah si dokter muda sembari terus mengulum senyum.

"Kalo mau mandi gimana?"

Serra mendongak. Ia menelengkan kepala sejenak sebelum tersenyum untuk kembali memberikan jawaban. "Boleh minta bantuan sama orang tua atau saudara untuk sementara waktu memasang dan melepas pakaiannya ya, Pak."

"Kalo mandinya boleh dibantu juga?"

"Hm, ya?"Serra membuka mulut tidak mengerti dengan maksud pertanyaan pasiennya itu. Namun yang didapatnya justru tawa renyah yang meluncur dari bibir yang sedari tadi tidak berhenti tersenyum.

Serra lalu menggantungkan stetoskop di lehernya setelah selesai memeriksa pasien. Lantas berdiri setelah membantu merapikan selimut yang menutupi tubuh pasiennya ini.

"Kalo begitu saya permisi, ya, Pak. Selamat istirahat."

Belum sampai langkahnya mencapai pintu, panggilan dari pasiennya kembali terdengar.

"Saya boleh tahu nama Dokter?"

Serra menoleh. Ia melempar senyum sembari mengganggukkan kepala. "Serraphina."

"Oke. Serra."ia kembali tersenyum menangguk sopan. "Dokter gak mau tahu nama saya?"

Oh yang benar saja. Serra tahu bahwa pasiennya ini masih muda tapi memang boleh menggodanya begitu?

"Tentu saja tahu."Mata Serra berlari mencari papan nama yang berada di kaki bankar. "Bapak Aldric Ryan Sanjaya."

Hening sesaat. Serra membaca papan nama itu sekali lagi sebelum ia mengangkat kepala. Matanya bertemu dengan milik si pasien yang bernama Aldric Ryan Sanjaya ini. Siapa?

Aldric Ryan Sanjaya

Sanjaya?

Sanjaya!

Matanya membola namun Aldric Ryan Sanjaya justru tersenyum semakin lebar di atas kasurnya. Tampak menikmati sekali ekspresi Serra yang kini bagai melihat hantu di tengah malam. Hmm memang benar sekarang hampir tengah malam.

Pantas saja Dokter Fahri memperlakukan pasien ini secara berbeda, pun juga Dokter Harum yang sudah mengingatkannya untuk berhati-hati menangani pasien ini. Lagi pula siapa juga yang melemparkannya ke kandang macan seperti ini?

Pasien pertama Serra adalah pemilik rumah sakit dan ia sudah melakukan kesalahan besar hari ini.
Tidak. Serra harus tetap menjaga ekspresinya dengan tenang. Jangan sampai laki-laki yang tengah menatapnya usil itu merasa bangga menikmati kebodohannya saat ini.

"Kalo begitu, saya permisi Pak Ryan."

Langkah kakinya kembali berhenti ketika suara Ryan Sanjaya kembali menahannya.

"Terima kasih chamomile tea-nya. Enak sekali."

Tadi sewaktu Serra memutuskan masuk ke ruangan ini, ia hanya ingin mengantarkan secangkir teh chamomile untuk pasien yang ia telantarkan hari ini sebagai permintaan maaf. Siapa sangka si pasien justru tidak tertidur dan menonton tayangan sepak bola dari TV besar yang menggantung di dinding kamar rawat inap itu.

Serra tidak menaruh curiga pada si pasien yang menempati ruang rawat Cendana yang merupakan kamar kelas paling tinggi di rumah sakit ini. Serra hanya berpikir bahwa pasienya ini adalah seorang anak dari pejabat mana atau mungkin seorang eksekutif muda. Tidak ia sangka bahwa si pasien adalah pemilik rumah sakit. Yang mana ibu dan kakaknya adalah dokter paling dihormati di seluruh gedung atau mungkin di seluruh Indonesia.

The Night BeforeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang