Bagian 14 : Masakan spesial

0 0 0
                                    

Hari Sabtu. Tidak ada jam pelajaran yang berlangsung di sekolah Galaksi Biru pada akhir pekan ini. Namun, semua murid diwajibkan masukuntuk mengikuti kegiatan ekstrakurikuler atau klub. Sekolah ini tersedia banyak klub yang bisa dipilih oleh murid sesuai keinginan dan kemampuan masing-masing.

Rayna, sebagai seorang yang sudah belajar bela diri sejak usia dini, bahkan sudah dipercayakan menjadi seorang asisten pelatih, tidak heran jika ia memilih ekskul bela diri yang ternyata juga ada di sekolah ini. Alhasil, dia yang memang sudah ahli dalam bidang tersebut dengan cepatnya menjadi terkenal dan populer di klubnya ini.

“Hai, good morning, Kak Rayn,” sapa salah seorang adik kelas perempuan yang berpapasan dengan Rayna di lorong sekolah. “Lagi on the way ke ekskul bela diri, ya? Boleh ikut?”

Rayna melirik sekilas dan menyadari adik kelas ini adalah salah satu murid di ekskul yang sama dengannya. Biasanya dia akan mengangguk dan membiarkan siapa pun—rata-rata mengaku sebagai fans—untuk mengikutinya. Tetapi, kali ini ia menggeleng.

“Gue mau pergi ke lapangan,” jawab Rayna datar.

“Lapangan? Maksudnya hari ini latihannya di lapangan, ya?”

Rayna menggeleng lagi. “Enggak. Gue gak ikut ekskul hari ini. Gue ada urusan lain.”
Tidak ingin terlalu banyak basa-basi, Rayna mempercepat langkah lalu berbelok, mengambil jalan yang menuju ke lapangan di luar, lebih tepatnya lapangan basket. Ia punya tujuan yang lebih penting daripada mengikuti  kegiatan ekskul, karena ini menyangkut kehidupan tenang di sekolahnya.

Sementara itu di lapangan basket, terlihat sekelompok murid yang sedang latihan throwing. Pak Dimas, guru Penjas sekaligus guru pembimbing di ekskul basket juga berada di sana, sedang serius mengawasi latihan klubnya. Karena murid yang meminati ekskul basket sangat banyak, latihan terbagi menjadi beberapa kelompok yang saling bergantian giliran. Dan Langit, salah satu pemain basket handal dan populer, sedang duduk di pinggir lapangan menunggu giliran kelompoknya.

“Sudah giliran kita?” tanya Bima seraya melempar botol minuman dingin yang baru dibelinya dari kantin kepada Langit.
Langit meneguk minumannya lalu menjawab, “Setelah kelompok ini.”

Bima ikut duduk di samping sahabatnya lalu memperhatikan kondisi lapangan. Kelompok ke-8 tengah berdiri dalam dua barisan dan saling melempar bola, sebelum lanjut ke free throw, inti latihan hari ini.

Topan dan Orion yang termasuk dalam kelompok tersebut tampak tidak serius mengikuti latihan, berhubung mereka berdua dinobatkan sebagai shooter yang hebat, bosan dengan latihan dasar ini.
“Kira-kira gue mau buat apa, ya?” gumam Langit mendadak secara tidak sadar, spontan membuat Bima menoleh.

“Soal apa?”

“Enggak. Hanya lagi cari ide untuk usilin cewek belagu itu.”

“Rayna maksud lo? Lo mau kerjain Rayna lagi?”

Langit mengangkat sebelah alisnya. “Apa maksud lo dengan ‘lagi’? Gimana gue bisa berhenti kalo cewek itu selalu berhasil menghindar? Gue nggak nyangka ada cewek setangguh itu!”

“Kalau gitu kenapa nggak berhenti saja? Daripada lo buang-buang waktu mikirin cara untuk ganggu orang, ternyata gak mempan. Apa lo sadar akhir-akhir ini kerjaan lo melamun aja?”

“Oh iya?”

Bima mengangguk. “Dan lo juga merhatiin Rayna terus setiap kita papasan sama dia atau di dalam kelas.”

“Serius?” Langit tidak bisa mempercayai pendengarannya.

“Jangan bilang lo mulai tertarik sama dia?”
Bagai tempat duduknya tiba-tiba tumbuh duri, Langit melompat berdiri dengan cepat kemudian melotot kepada Bima.

“Hei, Bro! Sudah berapa kali gue bilang kalo gue gak tertarik sama cewek itu? Gue merhatiin dia soalnya lagi cari celah, cari kelemahannya, sekaligus lihat reaksinya dia sama jebakan yang gue pasang. Gue mau lihat ekspresi ketakutan dia dan bertekuk lutut di hadapan gue. Itu yang gue mau,” sembur Langit sewot.

Bima membuka mulutnya seperti ingin mengatakan sesuatu untuk menyanggah, tapi tidak ada suara yang keluar. Alih-alih menatap Langit, ia beralih jauh ke balik punggung sahabatnya, melihat sesuatu. Bima tersenyum kecil setelah itu.
“Panjang umur dia, Lang.”

Penasaran dengan apa yang diucapkan, Langit pun menoleh, ikut serta melihat ke arah pandang Bima. Kedua matanya seketika membelalak saat menyadari siapa sosok yang kini berdiri di hadapan Pak Dimas.

“Rayna?”

Tanpa menunda, pada detik itu juga Langit—diikuti oleh Bima—beranjak ke dalam lapangan. Latihan yang sedang berlangsung bahkan berhenti sejenak karena kedatangan tamu tak diundang itu.

“Ada perlu apa, Rayna?” tanya Pak Dimas dengan nada yang tegas. Ia sepertinya masih ada sedikit rasa kesal atas kejadian waktu itu.

“Maaf menganggu latihannya, Pak. Tapi saya ingin bertemu dengan Langit, apa boleh?” ucap Rayna juga tegas, lebih ke berani tanpa sungkan. “Saya ada perlu dengannya.”

“Ada perlu apa sama gue?”

Cepatnya, Langit sudah tiba dan bergabung dengan mereka. Tatapan matanya tajam penuh kewaspadaan dan kebingungan yang bercampur jadi satu. Apakah perempuan itu datang untuk menantang Langit secara langsung di depan umum begini?
Rayna dan Langit memang sempat saling beradu tatap untuk beberapa saat. Namun, dugaan laki-laki itu salah. Alih-alih menantang, Rayna tiba-tiba membungkukkan badannya lurus 90 derajat, membuat Langit yang ada di depannya terperanjat.

“Mau buat apa lo?” tanya Langit kebingungan. Apa ini gaya kuda-kuda baru? Atau itu adalah salam hormat darinya sebelum mereka mulai berkelahi?
Tidak menunggu persetujuan terlebih dahulu, Rayna lantas bangkit meluruskan badannya kembali barulah menjawab, “Gue datang untuk minta maaf.”

“Minta maaf?” Apakah ini permainan baru darinya?

“Iya. Gue datang menemui lo untuk meminta maaf dengan tulus. Gue mungkin ada berbuat salah sama lo, jadi gue harap lo mau maafin gue.”

Langit menaikkan sudut bibirnya. Perempuan di hadapannya ini memang berkata maaf, tapi raut dan tatapan matanya sama sekali tidak menunjukkan “rasa bersalah” sama sekali.

“Hanya begini?” tantang Langit. Mungkin aksi Rayna ini cukup mempertaruhkan harga dirinya sendiri, tapi tidak mungkin Langit puas begitu saja.

Tatapan mata Rayna masih tajam, lumayan berapi-api. Tekadnya sudah kuat. “Gue mau mengundang lo makan,” ucapnya kemudian.

“Apa? Apa? Ada makan-makan?” Topan yang tidak tahu diri tiba-tiba nyerocos ikut serta. Ia tampak lebih antusias daripada lelaki yang sedang melakukan percakapan.
“Bos diundang makan? Gue mau ikutan juga, dong!” seru Orion tidak kalah heboh dari Topan.

Melihat kedua temannya yang tidak bisa membaca suasana, Bima segera menarik Topan dan Orion menjauh, memberi ruang untuk Langit dan Rayna lanjut berbicara.

Langit yang sempat teralihkan pun kembali menghadap kepada Rayna. “Apa lo bilang tadi? Undang makan? Maksud lo mau traktir makan, gitu?” tanyanya.

“Ya. Sebagai permintaan maaf, gue mau ngundang lo makan. Lebih tepatnya, makan masakan gue.”

***

Beberapa saat kemudian, terlihat Langit dan semua anggota gengnya—Helios—sudah berada di dalam ruangan klub tata boga. Ruangan tersebut desainnya mirip dengan kelas biasa yang ada jendela di dinding. Sehingga selain mereka yang bersangkutan serta anggota klub di dalam ruang, banyak murid-murid lain yang penasaran berusaha mengintip dari luar jendela.

“Kalian serius mau lihat gue masak?” tutur Rayna dengan nada ragu. Ia merasa sedikit malu dan grogi jika diperhatikan oleh banyak pasang mata seperti ini.

“Gak pa-pa, anggap aja kami gak ada. Lagian sama juga harus menunggu, jadi sekalin aja,” ucap Langit yang sudah nyaman di tempat duduknya. Ia juga ingin mengawasi Rayna, jangan sampai perempuan itu memasukkan sesuatu yang aneh ke dalam masakannya.

Topan yang duduk di seberang Langit—meja digabungkan menjadi besar—tampak sangat antusias. “Gue berasa seperti juri masterchef, deg-degan, nih!” ucapnya, yang disetujui oleh Orion.

“Lo mau masak apa?” tanya Bima.

“Nasi goreng.”

Aurora yang juga ikut serta menunjukkan wajah sinisnya. “What? Cuman nasi goreng? Gue sudah excited kira bakalan dimasakin masakan mewah. Ya elah, hanya masakan jalanan.”

Rayna yang tengah mempersiapkan bahannya terhenti sekejap. “Kalo lo gak mau makan ya gak pa-pa, gue gak maksa makan,” ungkapnya. Orang yang secara resmi ia minta maaf dan mengundang makan hanyalah Langit. Jadi kalau teman-temannya tidak bersedia, Rayna tidak peduli.

Aurora hendak melawan, tapi Lunaya yang duduk di sebelah segera menahannya. “Sudahlah, kita hanya diundang makan, gak usah debat.”

Merasa mereka berenam yang duduk di hadapannya sudah diam menyaksikan, Rayna pun melanjutkan persiapannya dan mulai memasak.

Sesuai namanya masakan jalanan yang disebut barusan oleh Aurora, bahan-bahan yang disiapkan Rayna juga sederhana: nasi putih, sayur-sayuran, telur, ayam suwir, dan beberapa bumbu umum. Kecuali nasi putih yang sudah didiamkan semalam—biar lebih enak, bahan-bahan lainnya Rayna memulai dari nol. Tanpa membuang waktu, Rayna langsung memotong bawang-bawang dan cabe yang telah disiapkan. Bagai koki profesional, ia memotong bahannya dengan cepat hingga bersuara, membuat sekitar yang menonton—terutama yang tidak jago masak—melongo.

“Weh, hebat juga dia,” gumam Topan spontan.

Aurora membuang muka. “Kenapa harus susah-susah pake pisau gede buat potong bawang? Kan bisa praktis pake mesin cutter. Jelas-jelas berlagak pro.”

Tidak terpengaruh oleh komentar Aurora yang sengaja disuarakan dengan keras, Rayna fokus membuat masakannya dengan lincah. Bahan yang sudah selesai dipotong halus ia masukkan ke dalam wajan besar yang telah dipanaskan. Rayna membuka api besar. Sehingga, dengan sedikit trik gerakan, begitu potongan bawang-bawang menyentuh permukaan wajan, kobaran api besar tercipta. Rayna membuat flambe, yang lagi-lagi mencengangkan banyak orang.

“Api gede!” seru Orion bagai anak kecil.

“Itu gak kebakaran, ya? Apa aman-aman aja?” komentar Lunaya dengan wajah yang menyiratkan kekhawatiran.

Di kala orang-orang pada panik bercampur kagum, Langit yang menyaksikan kobaran api tidak bereaksi apa-apa. Justru, pikirannya malah dibawa ke memori dulu. Kenangan saat ia melihat Raina memasak, juga membuat api yang sama.

Kya, kebakaran!” pekik Raina seraya menghindar secepat kilat dari wajan yang dipegangnya.

Langit yang pas berada di sekitar segera datang dan mematikan api yang menyala tersebut. Mereka berdua lantas terbatuk-batuk oleh asap yang keluar.

“Kamu masak apa, sih? Kok bisa keluar api kaya gitu?” tanya Langit dengan kesal setelah membuka jendela, menyegarkan udara kembali.

Raina memainkan kedua jari telunjuknya sebelum menjawab, “Mie goreng ….”
“Mie goreng? Masak indomie yang sederhana gitu aja kamu pun gak bisa?”
“Bukan, itu bukan indomie! Nana mau masak mie goreng dari nol, yang bisa banyak kreasi!”

Langit mengamati sekitar. Sesuai ucapan gadis itu, ia bisa melihat banyak bahan yang bertebaran di meja dapur. Tidak ada bungkusan mie instan, melainkan mie telur dan aneka bahan lainnya.

“Nana habis lihat video tutorial, kayaknya gampang. Jadi Nana pengen masak buat Lala …,” ujar Raina dengan kedua mata yang sudah berkaca. “Tapi … sepertinya gagal lagi ….”

Sejak zaman SD, Raina memang sudah suka dengan kegiatan memasak. Begitu ia tertarik dengan suatu masakan dan merasa enak, dia pasti akan mencoba untuk membuatnya, entah itu makanan berat ataupun dessert. Sayang sekali, niat dan bakat tidak sejalan. Dalam sepuluh kali memasak, sepuluh kali itu pula ia gagal. Raina tidak pernah berhasil memasak makanan yang “normal.”

Langit menghela napas. Tidak ingin melihat gadis kesayangannya ini menangis, ia segera memeluk dan menghiburnya.

“Gak pa-pa, Rain. Meskipun sampai seumur hidup kamu selalu gagal, aku akan selalu memakannya, tidak peduli itu gagal atau berhasil. Masakanmu adalah masakanmu.”

“Tapi kalau Lala sampai jatuh sakit karena masakan Nana bagaimana?”

“Tenang. Aku kuat, kok. Gak akan mungkin sakit karena memakan masakan buatanmu. Ngomong-ngomong, aku pas lagi laper. Masakin indomie, dong. Kalau indomie bisa, kan?”

Raina tidak berani menjawab. Sebab beberapa kali ia memasaknya, kalau tidak terlalu cepat diangkat jadinya belum matang, ya terlalu lembek.

Langit mengacak rambut gadis itu.
“Ya sudah, kita masak bersama. Kamu perhatikan baik-baik cara memasak mie ala Langit, ya.”

Raina tersenyum sumringah. “Ok, chef Lala!”

***

“Langit?”

Langit terkesiap. Ia yang tanpa sadar melamun pun sadar kembali oleh suara yang memanggilnya. Ia melihat Rayna tiba-tiba sudah berdiri di depannya sambil membawa piring nasi goreng.

“Gue sudah boleh sajikan?” tanya Rayna sekali lagi kepada ketua Helios, yang segera diberi anggukan. Lantas, gadis itu pun menyajikan enam piring nasi goreng di depan enam tamunya.

“Ini kayaknya enak bet!” Topan menarik napas dengan kuat. “Buset, harum banget!”
Langit mengamati masakan di hadapannya. Nasi goreng kecap, dengan berbagai bahan bercampur di dalamnya. Tampilan biasa, tidak ada yang istimewa. Kurang meyakinkan. Langit yang sedang berlagak juri profesional sedikit enggan untuk memakannya, tapi respon di sekitar berbeda dengan pendapatnya.

“Oh my God, ini enak banget! Nasgor terenak yang pernah gue makan!” seru Topan yang tidak bisa berhenti menyuapkan bersendok-sendok nasi goreng ke dalam mulutnya.

“Penampilan kaki lima, rasanya bintang lima!” timpal Orion yang juga sama histerisnya dengan Topan. Mereka berdua memang mudah sekali digoda dengan makanan.

“Indeed. Nggak sampai five stars, tapi emang layak untuk gue makan.” Kali ini komentar Aurora lumayan setuju dengan Orion.

“Bahannya biasa-biasa saja, tapi kok bisa enak gini?” Lunaya tampak bingung campur kagum selama mengomsumsinya.

“Kuncinya ada di api. Lo lihat bagaimana tadi dia flambe dan mengoyang-goyangkan wajannya dengan lihai pada api besar. Rasanya merata dengan baik,” komentar Bima dengan detail.

Apa bener seenak itu? batin Langit setelah mendengar semua pendapat teman-temannya. Mereka tidak disogok oleh Rayna, kan? Tak ingin menduga-duga, laki-laki itu pun menyendok makanannya dan masukkan ke dalam mulut.
Enak.

Bagai terhipnotis total, semua anggota Helios menikmati masakan Rayna dengan sangat nikmat, membuat mereka semua yang menonton pun ngiler ingin mencoba juga. Cepatnya, semua piring sudah ludes bersih tidak bersisa, bahkan Topan dan Orion yang tidak puas meminta tambah berkali-kali—tidak ada porsi lebih.

“Bagaimana? Enak?” tanya Rayna retoris.
“Harus gue akui, masakan lo memang enak,” jawab Langit dengan setengah hati.
Rayna tersenyum kecil. Meskipun ia tidak begitu suka memasak, tapi boleh dikatakan ini adalah bakatnya selain bela diri. Di mana, hanya perlu melihat satu-dua kali, ia sudah bisa memasak suatu masakan bahkan dengan rasa yang hampir sama. Nasi goreng ini pun adalah masakan ayahnya, salah satu makanan favoritnya.

“Pengen deh, gue memperkerjakan lo jadi koki pribadi gue biar bisa dimasakin tiap hari,” canda Topan iseng, tapi ternyata membuat Langit melirik ke arahnya.
Rayna mengabaikannya. “Jadi permintaan maaf gue bisa diterima?”
Langit menyeringai. “Ya, gue terima,” jawabnya.

“Makas—”

“Tapi ada syaratnya.”

Rayna menelan ludah. “Apa syarat lo?”
Langit menunjuk Rayna. “Lo, gabung sama kami.”

Di kala Rayna yang ditawari hanya kebingungan, semua orang yang berada di sana, terutama anggota lain Helios berteriak “Eh?” dengan serentak. Melotot, kaget, syok.

Mengabaikan semuanya, Langit berdiri lalu mengulurkan tangan untuk menyalami Rayna.

“Tapi gue—”

“Gue gak menerima penolakan. Selamat bergabung dengan Helios, anggota baru.”

To be continued

Hai gaess, maaf lama update, bnyk urusan di rl jadi ya gitu
Semoga suka ya, dukung terus karya kami

Salam inoyomi

Rain(a) between Sky & Space Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang