Nayya menerima uluran segelas teh hangat yang diberikan oleh Nadir, menyesap teh itu sedikit demi sedikit lalu meletakkannya di samping sepiring kwetiau rebus yang sudah dimakannya setengah. Melalui ujung matanya, Nayya melirik Nadir yang makan dengan tenang.
"Kamu gak tanya?"
Nadir menghentikan sendoknya yang hendak diarahkannya ke mulut, "Tentang?"
"Cowok kemarin, kamu gak penasaran dia siapa?"
Nadir tersenyum kecil, "Aku memang selalu ingin jadi tempat kamu bercerita Nay, tapi itu hak kamu untuk bercerita atau enggak. Aku gak mau jadi dominan dalam hubungan ini."
Nayya tersenyum mendengarnya, "Kalau begitu kita habiskan dulu makan ini, ada yang mau aku ceritakan sama kamu tentang hidupku."
Nadir mengangguk, lalu mulai melanjutkan makannya yang tertunda begitupun dengan Nayya. Sampai akhirnya mereka keluar dari rumah makan pinggir jalan, lalu kembali masuk ke dalam mobil.
"Kamu mungkin sudah tahu kalau kedua orangtuaku sudah meninggal Nad, mereka meninggal waktu umurku enam tahun. Sampai akhirnya aku diserahkan di panti asuhan, di sanalah aku bertemu Ibu Ayu. Perempuan baik yang mau merawatku seperti anaknya sendiri sampai akhirnya panti asuhan terpaksa digusur, mau gak mau aku harus terima tawaran adopsi dari sepasang orang tua yang mengaku sahabat orang tuaku. Kemudian aku diadopsi, dan Ibu Ayu pulang ke kampung halamannya.
Orang Tua angkatku yang baru baik, mereka punya anak lelaki dan perempuan. Lelaki yang kamu lihat di gerbang sekolah kemarin itu kakak angkatku Nad, dia Diman. Sedangkan adiknya gak terlalu menyukaiku, dia selalu merasa bahwa semua perhatian orang tuanya terbagi karena kehadiranku. Lalu aku memutuskan untuk keluar dari rumah mereka, dan tinggal bersama Ibu Ayu yang tanpa sengaja aku temui di rumah sakit."
Nadir tergelak mendengar cerita Nayya, dia merasa seperti kembali disayat oleh pisau kecil mendengar kisah hidup Nayya, dan hal yang paling membuatnya sakit adalah Nadir tidak berada di sisi Nayya ketika perempuan itu menjalaninya.
Tangan Nadir berusaha menggapai tisu, tangannya gemetar sebelum tisu mendarat di sisi wajah Nayya yang basah karena air mata, mencoba meluruhkan rasa sakit yang diderita Nayya maupun dirinya.
Maaf, Nay.
"I'm fine, semua itu sudah berlalu." Ungkap Nayya sambil berusaha tersenyum.
Seharusnya Nadir merengkuh tubuh Nayya saat melihat senyum palsu itu namun ternyata dirinya tidak benar-benar merasa pantas untuk melakukan itu karena semua kesalahan yang entah sampai kapan bisa diungkapkannya, atau bahkan tidak akan pernah bisa. Nadir tidak ingin mengambil risiko untuk dibenci Nayya seumur hidupnya. Tidak akan.
***Syarla berulang kali mengecek isi tasnya sampai akhirnya mengeluarkan semua barang-barangnya dari tas ransel berwarna pink itu lalu meneliti satu persatu namun tidak ditemukan juga olehnya flashdisk hitam yang dicarinya sejak tadi. Syarla ingat sekali bahwa tadi pagi setelah berdiskusi mengerjakan makalah untuk presentasinya lusa bersama teman sekelompok, dia meletakkan barang kecil itu di sisi kanan ranselnya atau dia salah mengira?
"Gue inget banget tadi gue letakin di sini, lo gak liat Gis?"
Anggis mengangkat kedua bahunya, "Gue gak lihat, kan lo tahu gue tadi kumpul sama teman sekelompok gue. Cari yang bener, siapa tahu nyelip!"
KAMU SEDANG MEMBACA
UNDERCOVER
Teen Fiction"Bagaimana kalau Nadir gak ada?" Nayya tak bergeming, matanya memerah dengan spontan. "Nadir mau pergi?" tanyanya dengan suara sendu. "Nadir cuma bertanya, bagaimana kalau Nadir gak ada? Nayya akan kesepian karena gak punya teman selain Nadir." Pere...