Pertengkaran (49)

244 16 8
                                    

Jangan lupa untuk bahagia
Tetap jaga iman dan imun

Happy Reading!

***
Raga menyiapkan makanan khusus untuk Naya, ia menyusun sajian dengan kehati-hatian, menggambarkan kasih sayang dalam setiap sentuhan. Lelaki itu menyambut sang istri dengan senyuman lebar, cahaya kebahagiaan terpancar di matanya saat Naya menghampiri meja makan. Dengan penuh antusias, Raga dengan lembut mendorong kursi roda Naya, berharap agar sang istri dapat segera tiba di depan hidangan yang telah ia susun dengan begitu indah. Meskipun demikian, Naya hanya mempertahankan raut wajah dinginnya tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

Pada meja yang dipenuhi aroma harum dan kebersamaan, Raga berusaha menyelipkan cinta dan perhatiannya dalam setiap hidangan yang tersaji. Namun, Naya tetap terpaku dalam keheningan, seolah-olah jarak tak terjamah memisahkan mereka meski hanya duduk beberapa sentimeter dari satu sama lain. Keheningan itu, seperti malam yang sepi tanpa bintang, menciptakan atmosfer yang menggambarkan kerumitan emosi di antara keduanya.

"Mama dan Ardan telah berangkat lebih dulu, Nay. Jadi sekarang, mari kita nikmati sarapan berdua," kata Raga sambil memperhatikan Naya yang sedang mencari Farah dan Ardan.

"Saya telah menyiapkan hidangan spesial untuk kamu. Kali ini, saya berhasil menggoreng ikan nila, Nay."

Naya mendorong piring yang baru saja diletakkan oleh suaminya, membuat senyuman Raga memudar. "Gue alergi ikan nila," ujar Naya sambil mengambil piring baru untuk menyiapkan nasi.

"Ikan nila bukanlah salah satu pemicu alergi bagimu, Naya," ujar Raga dengan sabar.

Meski mendengar penjelasan Raga, Naya tampak acuh tak acuh, seolah mengabaikan setiap kata yang diucapkan. Raga merasakan dinginnya hubungan mereka sejak insiden beberapa waktu lalu. Kejadian tersebut telah merubah dinamika antara Raga dan Naya, membuat ia merindukan sikap istrinya yang hangat.

Raga mencoba untuk menyelami perasaan Naya, mencari titik temu di antara keduanya. Namun, upayanya tampaknya bertabrakan dengan tembok yang kokoh. Naya, dengan keras kepala, memilih untuk menjauh membuat Raga frustasi.

Raga dengan lembut menawarkan. "Kamu ingin minum? Biar saya menuangkan airnya." Seraya dengan penuh kehangatan menuangkan air ke dalam gelas yang dimiliki sang istri. Meskipun tindakan ini terkesan sederhana, tetapi mencerminkan upaya kecilnya untuk memperhatikan kebutuhan dan kenyamanan pasangan hidupnya.

Naya berdecak sebal ketika suaminya masih tidak menyerah memberikan perhatian. Lantas, perempuan itu menuangkan air yang ada di dalam gelas itu ke mangkuk berisi air cuci tangan.

"Gue bisa sendiri, nggak perlu bantuan lo," ujar Naya dengan nada yang sedikit kasar, menunjukkan ketidakpuasannya terhadap tawaran bantuan.

Suasana di sekitar mereka menjadi tegang, dan Raga merasa kebingungan menghadapi reaksi tersebut. Ia mencoba memahami perasaan istrinya, tetap terasa sulit untuk menemukan kata-kata yang tepat.

Dengan penuh pertimbangan, Raga akhirnya berkata. "Maaf jika saya membuatmu merasa tidak nyaman. Saya hanya ingin membantu. Kalau kamu merasa lebih baik melakukannya sendiri, ya sudah tak mengapa." Raga memasang senyuman meskipun terlihat terpaksa.

"Gue merasa terganggu dengan sikap perhatian lo ini. Gue memang cacat, tapi untuk menuangkan air ke dalam gelas gue bisa melakukannya. Seharusnya, lo nggak perlu bertahan dengan seseorang seperti gue yang cacat dan punya sikap kasar."

Raga yang mendengar itu merasakan hatinya terasa seperti ditusuk ribuan jarum, sedangkan Naya berusaha menampilkan raut wajah yang tidak memperlihatkan perasaannya, meskipun sangat berbanding terbalik dengan keadaan hatinya. Raga memilih tidak melanjutkan sarapannya karena terlalu sakit dengan ucapan sang istri.

Rahasia Hati Braga (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang