"Apa kamu sedang dekat dengan seseorang?" Pertanyaan dadakan itu mengalihkan perhatian Andrew.
"Tidak, cuma orang iseng."
Setelahnya, Andrew hanya memandangi laptopnya yang tengah diambil alih oleh Sean. Temannya itu sibuk mengurus masalah para pencuri data yang semakin kurang ajar. Akhir-akhir ini, salah satu anak perusahaan Morgan Corporation, Hanna Bank, mengalami serangan hacker sejak beberapa bulan yang lalu. Andrew sudah bekerja sama dengan polisi bahkan badan intelijen. Namun, keduanya masih belum diketahui bagaimana kelanjutannya. Dengan sangat terpaksa, Hanna Bank mempercayakan bagian security kepada salah satu anak perusahaan Parker Corporation yang dibangun oleh Sean langsung.
Menghabisi seorang hacker tidak semudah yang dibayangkan. Mati satu akan menumbuhkan seribu serangan lain yang tak ada matinya. Ini merupakan ancaman terbesar Hanna Bank sebagai salah satu Bank nomor satu di Indonesia. Jika serangan ini terjadi dan data pelanggan dicuri, Hanna Bank akan sulit mendapatkan kepercayaan konsumen.
"IP mereka bisa berubah secara berkala." Sean bicara dengan anak buahnya melalui panggilan telepon. Mereka tengah bekerja sama dari berbagai tempat. Sean terbiasa melakukannya seperti itu. Kadang kala ia bisa bekerja ketika mereka sedang minum bersama.
"The Vibes lagi, Pak." Seruan lain terdengar di antara mereka melalui sambungan telepon. "Sepertinya ada yang dituju di Hanna Bank."
Andrew pernah mendengar perihal The Vibes. Di Indonesia terdapat sebuah grup hacker paling terkenal. Komplotan itu sudah selayaknya perusahaan. Mereka menjual data-data yang dicuri dengan harga yang fantastis. Biasanya mereka menawarkan data-data itu melalui pasar gelap dan sangat-sangat menjaga kerahasiaan mereka. Selain menjual data-data yang mereka curi, terkadang mereka menyediakan jasa mencuri data penting bagi seseorang yang dapat membayar mereka sebanyak mungkin. Lebih tepatnya, The Vibes bisa memeras seseorang dengan data yang mereka miliki. Mereka begitu ahli hingga The Vibes sangat sulit di ringkus. Bahkan intelijen sekali pun kesulitan melakukannya. Mereka selalu punya celah untuk kabur, dan bisa saja mereka tidak bekerja dari Indonesia. Sangat mungkin jika mereka melakukannya dari luar negeri.
"IP dari Kamboja." Andrew hanya memperhatikan Sean yang sibuk bekerja. IT diluar kapasitas Andrew. Sean yang paling handal diantara teman-temannya. Tangannya menari dengan cepat sembari mengetik hal yang tak Andrew ketahui. "Satu lagi, cut! Cut!"
Bunyi bel mengalihkan perhatian Andrew. Sean memang sedang sibuk meringkus para hacker, tetapi bunyi bel yang ditekan berkali-kali tidak bisa Andrew diamkan saja. Ia melangkah mendekati pintu lalu membukanya. Andrew sudah menduganya. Malaikat kematiannya sudah datang dengan wajah yang merah. Ia marah.
"Hai," sapaan hangat itu tidak berarti karena ia langsung menyerobot masuk ke dalam penthouse. Ia terlihat begitu kesal hingga wajahnya ditekuk sejak pertama kali Andrew melihatnya di depan pintu. "Apa yang membuatmu datang kesini?"
Dia tidak memedulikan pertanyaan yang Andrew ajukan. Ia berhenti di depan dapur yang bersebelahan dengan kamar Andrew. Lokasinya tepat di hadapan ruang tamu. Ia menghela nafasnya pelan sembari mengamati Andrew yang masih berjalan mendekatinya.
"Mau minum sesuatu?" tawar Andrew yang tak Jane hiraukan. Entah apa yang perempuan itu ketahui hingga Jane jadi sekesal ini. "Apa yang membuatmu begitu kesal?"
"Apa kamu membicarakan semuanya ke Om Richard?" rupanya Richard sudah bicara dengan perempuan itu. Andrew duduk di salah satu kursi bar yang ada di dapur. Memandangi Jane yang berdiri di hadapannya dengan kedua tangannya yang terlipat.
"Aku bercerita soal idemu yang cemerlang itu." Jane memutar bola matanya kesal. Andrew berasumsi jika ia sedang memikirkan bagaimana caranya membunuhnya karena amarah Jane sudah diujung tanduk. "Tentu aku keberatan dengan ide itu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Games With Love
ChickLitAndrew penasaran dengan Jeanne Clark-teman adiknya. Ia pikir rasa penasaran itu akan usai ketika ia memutuskan mengenalnya lebih dekat. Tetapi, ternyata tidak sesederhana yang ia pikirkan. Games With Love | The Alexandria #1