[ BAB - 42 ]

22.8K 2.1K 1.2K
                                    



Bantu koreksi typo, ya❤

BAB 42 — SHADOW
















“Nave, kamu siap? It's first time after a long journey, kamu udah lima tahunan enggak berhadapan sama wartawan umum, lho. Mana jumlah yang dateng para gerombolan, gitu.”

Navella memicing, rambut pink-nya di bentuk bun it up, dirinya dibalut Viscoe Lamé dress with sequin embroidery; adalah sweater dress yang atasannya ramping, disertai bawahan rendah dengan rajutan halus yang memanjakan kulit. Dress yang ukuran panjangnya sampai menyentuh mata kaki tersebut mempunyai belahan sebatas lutut sang nona artis. Hingga, memancarkan kesan anggun nan tertutup kala pasang mata memandangnya.

Sangat cocok, mengingat proporsi badan hour glass Navella yang cukup spesial di kalangan wanita. Ia juga sengaja mengurangi ketebalan make-up, ia memilih natural look, yang ala kadarnya. Supaya, visual asli yang jarang dikonsumsi langsung oleh publik itu, dapat dinikmati sepuasnya.

“Dah, lah, Jeng San, tujuan wartawan dateng ke sini buat ngontenin aku. Walaupun mereka datengnya gerembolan, bukan buat tawuran, kok. Santai, aja—aku jago!”

Justru itu Sandiana kian khawatir. Navella selalu disembunyikan manajemen, sampai paparazi pun menyerah mencari konten tentangnya. Sudah lama tak muncul di depan kamera yang ditayangkan live. Berabe urusannya jika Navella melakukan sebuah kesalahan; ia berpotensi dirujak netizen Indonesia yang memang senantiasa menanti keburukan sang artis.

Sandiana meneguk ludah, dari balik panggung saja. Ia mendengar berisiknya ratusan wartawan yang berada di sana. Ia mengatur deru napas, otomatis memanjatkan do'a.

Memilih ballroom hotel sebagai mediator ruangan konferensi pers, rasanya bukan preferensi yang tepat, beban mental yang menyelimuti Navella pasti berlipat ganda. Padahal, Sandiana sengaja merekomendasikan outdoor. Sayangnya, sarannya sebagai manajer tak diindahkan pihak panitia yang menyelenggarakan.

Seandainya tahu begini—Sandiana akan melapor pada Alam!

“Jeng San!”

“Ha? Iya?”

“Aku keluar, ya?”

Sandiana mengangguk kikuk, ia mendengar derap heels Navella mengetuk material ubin. Mencekam sekali aura yang meliputi jiwa dirinya.

Terhitung sepuluh langkah, Navella kini berdiri di tengah panggung.

Tidak terdengar lagi suara berisik, ballroom yang diisi ratusan manusia dalam mode silent. Suasana mendadak begitu hening, tenang dan benar-benar senyap usai Navella menampakkan diri.

Netra dengan berbagai pupil warna membidik ke satu arah, yakni Navella. Tidak hanya satu atau dua orang yang rahangnya terjatuh—gerakan tangan mereka yang tadi sibuk mengatur kamera, menulis pertanyaan di kertas, membaca pertanyaan yang hendak mereka ajukan, serta jemari yang menari di keyboard laptop, kini terhenti.

Tidak ada aktivitas apa-apa sama sekali. Aksi diam tersebut berlanjut sekitar tiga menit. Tentunya, itu bukan waktu yang sebentar, apalagi cuma sekadar untuk menonton visual seseorang.

Sangat gamblang, mereka menyanjung visual si nona artis tanpa perlu mengucapkannya dengan lantang.

“Halo?” ujar Navella, menggunakan mic yang ia genggam.

MY SOFTLY HUBBY [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang