.
.
"Aku merasa, ada kepingan penting yang hilang, selama hubungan kami seolah terputus."
.
.
***
"Benar. Peluru yang menembak Sobri malam itu, berasal dari pistol milik keluarga saya," kata Adli sambil mengangguk.
"Siapa yang menembakkannya?" tanya penyidik di ruang pemeriksaan.
"Pengawal saya," jawab Adli.
"Apa anda punya izin untuk senjata itu?" tanya sang penyidik dengan pandangan menyelidik.
"Punya. Keluarga saya punya banyak senjata revolver, tujuannya murni untuk perlindungan diri. Semuanya berizin. Dan semua pengawal saya yang menggunakan pistol, telah memenuhi syarat," jawab Adli dengan penuh keyakinan.
Pria yang bertanya, nampak tercenung. Dia sudah tahu keluarga Danadyaksa adalah keluarga pebisnis yang pastinya ada saja musuh-musuhnya. Orang tidak bisa meraih kejayaan, tanpa memiliki beberapa musuh. Jadi wajar kalau keluarga pengusaha sebesar Danadyaksa, para pengawalnya dibekali senjata.
"Kalau begitu, kami akan membuat surat panggilan untuk pengawal anda itu."
"Tidak perlu. Sudah saya suruh dia datang. Ada dua orang pengawal yang saya minta datang malam itu ke rumah Kak Raesha. Dua-duanya sekarang ada di parkiran kantor polisi ini," kata Adli.
Penyidik itu terdiam sesaat. Pengusaha ini -- Adli Pratama Danadyaksa -- datang ke sini dengan persiapan menyeluruh, agaknya.
"Baik, kalau begitu. Setelah sesi wawancara dengan anda, kami akan perlu mewawancarai kedua pengawal anda bergantian."
"Oke. Tidak masalah."
"Sekarang, bisa anda ceritakan kronologisnya? Kenapa anda memutuskan untuk mengirim dua orang pengawal anda, bersenjata pula, ke rumah Ustadzah Raesha saat malam kejadian itu?"
Suara ketikan keyboard komputer, melatari percakapan antara Adli dan penyidik.
"Oke. Kak Yunan tiba di rumah mendiang Mbah saya, pukul delapan lewat lima menit," kata Adli mulai bercerita.
"Bagaimana anda bisa menyebutkan waktunya dengan tepat?"
"Karena, saya saat itu bolak-balik mengecek jam tangan saya. Kak Raesha mulai tidak bisa dihubungi sejak pukul tujuh malam. Kak Yunan terdengar cemas saat bicara dengan saya di telepon, saat itu Kak Yunan baru tiba di bandara Soetta. Saat tahu bahwa Kak Raesha malam itu di rumah sendirian, Kak Yunan terdengar khawatir. Saya tadinya tidak khawatir, tapi kekhawatiran Kak Yunan menular ke saya. Maka saya mencoba telepon Kak Raesha tapi nomornya tidak aktif. Sebelum itu, chat saya tidak terkirim ke Kak Raesha. Maka tiap beberapa menit sekali, saya mengecak jam sekaligus mengecek ponsel, berharap ada balasan dari Kak Raesha. Saya sedang mengatur pemasangan terpal di halaman rumah mendiang Mbah saya saat itu. Karena pelayat terus berdatangan, sementara di dalam rumah mulai penuh."
Sang penyidik mengangguk. "Lalu, kakak anda yang bernama Yunan, hanya sebentar saja di rumah itu lalu langsung ke rumah saudari Raesha?"
"Iya. Sebenarnya, Kak Yunan mungkin merasa ingin secepatnya ke rumah Kak Raesha, tapi dia merasa itu kurang sopan untuk dilakukan, karena Ibu kami masih sangat terpukul dengan wafatnya kedua orang tuanya. Maka Kak Yunan memutuskan mampir dulu ke rumah Mbah kami, untuk menyampaikan belasungkawa pada Ibu kami."
"Berapa lama saudara Yunan berada di rumah itu?"
"Hanya sebentar. Mungkin tak sampai sepuluh menit. Setelah Kak Yunan berangkat dengan mobil yang disetiri supir saya, saya segera menelepon ke rumah saya, dan meminta dua orang pengawal menyusul Kak Yunan ke rumah Kak Raesha. Hanya untuk berjaga-jaga saja. Siapa tahu memang benar ada sesuatu yang tidak beres terjadi di sana."
KAMU SEDANG MEMBACA
ANXI EXTENDED 2
SpiritualSemua berubah semenjak Ilyasa wafat. Yunan jadi lebih dekat dengan Raesha, jandanya Ilyasa, sekaligus adik angkatnya sendiri. Plus, Yunan jadi lebih akrab dengan Ismail dan Ishaq, kedua putra Raesha. Arisa sebagai istri Yunan, dibuat galau dengan p...