Part 3

73 8 0
                                    

Perut Cessa sudah penuh dan membuatnya sulit untuk menahan kantuk ketika dia telah pulang dan sampai ke kamarnya yang nyaman--mencuci muka dan menggosok giginya, lalu mengganti pakaiannya dengan piyama, semua Cessa lakukan secara hampir tidak sadar sampai dia naik ke atas kasur dan langsung terlelap.

"Terus dia anak band, Dan?" itu merupakan pertanyaan kepo Dito yang ke empat selagi mereka bertiga dengan rusuh dan tidak sabaran masuk ke dalam kamar Danang.

Danang mengangguk, "Tapi dia lagi vakum, katanya mau fokus buat masuk kampus yang dia targetin banget."

Berbeda dari kamar Cessa yang sudah hening, di seberang sana kamar Danang masih samar terdengar tanda-tanda kehidupan dari tiga penghuni cowok di dalamnya. Apalagi kalau bukan Dito dengan topik tentang Cessa. Untung saja kedua temannya memang belum berniat tidur, maka percakapan mengenai adik Danang itu mengalir dengan mudah.

"Oh iya ya, si Cessa udah mau lulus-lulusan..." Dito manggut-manggut. "Emang target dia mau masuk mana?"

"Nah, itu yang dia ngga pernah cerita ke gue sampe sekarang. Ke bokap nyokap juga, padahal nyokap udah wanti-wanti jangan sampe dia ambil kuliah yang jauh. Malah dia disuruh ambil yang disini aja," terang Danang sambil membuka lemari pakaiannya dan mengambil tiga kaos--satu disampirkan ke bahunya, lalu dua lagi dia lempar ke arah tempat tidur dimana kedua temannya itu duduk.

Arga menangkap keduanya, "Kalo jauh tapi sekampus sama lo, dibolehin?" ujarnya dan asal memberi salah satu kaos ke Dito.

"Wuih!" belum lagi Danang sempat menjawab, Dito sudah menyela, "Itu ide bagus banget, Ga." Dito berkata dan langsung disambut dengan gumaman 'Kapan gue ngasih ide?' oleh Arga. "Iya, Dan. Kalo kayak gitu gimana tuh?" sambung Dito lagi.

Danang bersender pada lemari pakaiannya dan tampak berpikir, "Kemungkinan dibolehin nyokap sih... Ah, jangan deh. Ruginya tuh ada dua: pertama gue pasti harus jagain si Cessa yang bandelnya minta ampun itu, dan kedua dia yang jadi mata-mata nyokap buat mantau gue." lanjut Danang kemudian setelah berpikir lebih jauh, dia jadi malas membayangkan satu kampus dengan adiknya itu.

"Gue siap Dan gantiin lo buat jaga Cessa," ujar Dito. Arga memperhatikan ekspresi dan nada bicaranya tadi--tidak salah lagi, dia serius saat mengatakannya.

"Wah... Lo ternyata beneran suka sama dia ya, Dit?" gumam Arga bertanya, namun lebih terdengar seperti pernyataan.

Dito tergagap, "Eh--itu, ehm. Engga, gue becandaan doang kali, Ga."

Mata Danang melebar, dia yang sedari tadi menilai tingkah Dito akhirnya juga menyadari bahwa ada nada yang serius. "Ngga, lo ngga becanda itu--tau banget gue. Gila, Dit. Baru tadi pagi lo kenal adik gue bisa langsung suka?" tanyanya tidak percaya.

Wah, pertanyaan ini, batin Arga. Tapi menurutnya dengan Cessa yang seperti itu tidak heran kalau Dito bisa langsung suka. Seperti itu bagaimana? Gayanya yang supel dan ramah? Kern saat bermain gitar? Atau rambut indah dan sifatnya yang menarik? Mungkin semuanya, pikir Arga. Namun kenapa Arga membayangkan semua hal baik pada Cessa? Bukannya tadi pagi dia membandingkan sikap urakan Cessa dengan...

Dito mengalihkan pandangan dari tatapan menginterogasi kedua temannya dengan mengambil salah satu majalah alam milik Danang, "Uh--oke. Kayaknya, Dan. Kayakya gue suka sama adik lo," gumamnya pelan sambil membolak-balik halaman majalah tanpa fokus untuk membacanya.

Danang dan Arga agak terkejut mendengar pernyataan jujur sohibnya itu, mereka saling pandang penuh arti. Arga mengangkat bahunya, seperti menyerahkan semua pada Danang. Danang tidak tahu harus merespon bagaimana, baru kali ini dia menghadapi kasus dimana temannya suka pada adiknya sendiri. Bagaimana menurutnya jika Dito pacaran dengan Cessa? Pacar? Tunggu dulu.

"Gue baru inget kalo Cessa udah punya pacar, Dit." Danang teringat sekitar setahun yang lalu ketika terakhir pulang liburan, Cessa mengenalkannya dengan seorang cowok yang tingginya hampir menyamainya.

"Seriusan, Dan? Cewek kayak dia gitu punya pacar?" respon Arga lebih cepat dibanding Dito rupanya, dan sepertinya tingkat keterkejutan dia juga lebih tinggi. Bagaimana tidak pikir Arga, cewek yang tidak peduli dengan penampilannya, urakan, dan sejenisnya seperti dia ternyata punya pacar--pacar yang berarti menerima segala tingkah rusuhnya Cessa, yang menarik itu.

"Maksud lo? Adik gue cewek kayak apaan emang? ujar Danang terlihat tidak terima.

Arga tidak menjawab, sejujurnya dia juga bingung mau menjawab apa. Untung Dito konyol yang lagi galau itu segera menyela, "Jadi serius itu ya...?" Dito menghela nafas, sepertinya dia kecewa.

"Yoi, Dit. Gue ngga ikut campur deh ya kalo masalah beginian," Danang tersenyum mengharap maklum. Lalu dia beralih pada Arga dan tertawa, "Eh, tapi jangan heran lo, Ga. Justru lebih banyak fans si Cessa dibanding gue waktu masih sekolah. Kalo kuliah sih ngga usah di tanya, jelas satu kampus ngefans sama gue... Aduh!" cerocosan asal Danang dilanjutkan dengan pekik kesakitan karena Dito melemparnya dengan bola basket yang sama dengan dipakai Cessa tadi.

"Bola basket lagi!" pekik Danang. "Tadi sama Cessa sekarang elo. Udah deh, cocok lo berdua. Nikah gih sana, trus punya anak bola basket..." gerutunya lagi sambil tergopoh berjalan ke kamar mandi.

While Her Guitar Gently WeepsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang