Clang!
Suara pedang saling beradu, terdengar dari area latih tanding yang sering digunakan para masyarakat untuk berlatih, bertanding dengan satu sama lain. Obor menjadi penerangan di sekitar mereka, ketika matahari lenyap dan bulan hanya menghiasi langit. Tanah berpasir yang tandus menghasilkan debu bagai asap kobaran api, seiring langkah diambil setia insan dalam arena. Di sini, taruhannya bukanlah nyawa, sebagaimana sebuah taruhan hidupmati dalam adu pedang besi, tajam. Pedang kayu tergeletak begitu saja di dekat garis berwarna hitam yang digambar dengan arang, beserta pilar-pilar menjadi tautan tali seperti pagar. Nyawa yang diamankan, maka imbalan pemenang hanya segelas bir di bar, yang terletak tepat di dekat arena. Dekat markas prajurit kerajaan, berisi beberapa pasukan yang kembali dari medan peperangan.
Clang!
Sepatu itu bergesekan dengan tanah kala terdorong, ketika menyelamatkan diri dari tebasan pedang. Mata berkila jingga karena cahaya obor. Siapa yang kalah, hartanyalah yang digunakan untuk memborong bir untuk mabuk-mabukan dan berpesta ria.
Pedang itu melayang kanan-kiri, saling menangkis satu sama lain. Ujung tajamnya menggores leher meneteskan setetes darah dan jatuh ke tanah, tanpa membasahi kerah pakaian. Saling beradu kekuatan hingga salah satunya kembali terdorong ke belakang, akibat besarnya tenaga dari kibasan pedang yang ditepis. Salah satu dari mereka, yang bertubuh lebih tinggi dan besar, mengambil langkah maju yang berani, bahkan segera menangkis pedang yang harusnya menebasnya dari sebelah kiri bagian atas, menuju lehernya. Pedang itu beradu ketika lawannya gentar, melangkah mundur saat berupaya mempertahankan posisi, saat semakin terpojokkan, di antara garis pembatas area latih tanding.
Brak!
Setelah berkali-kali pedang itu beradu, kini salah satunya tersungkur jatuh, keluar arena dan pedangnya terbanting, terlempar ke atas tanah, bertabrakan pada dasar tanah dengan keras seperti terbanting. Tenaga lawannya benar-benar tidak main-main, mengelabuinya dari segala arah lalu menyerang dengan gagah, membuat ia gentar akan tatapan haus darah, selayaknya binatang buas di dalam medan perang, di tambah bekas luka panjang pada kening terhubung ke pipi, pada pinggir mata yang dilukai. Tetapi wajah itu tidak ditutupi armor atau helm dengan lambang kerajaan di sisi lain, hanyalah wajah kusut dengan hiasan bekas luka yang kini tampak di mata.
"Tak apa?" tanya sang pemenang, ia mengulurkan tangannya, membantu kawannya itu berdiri. Tangan kekar itu diraih dan ia menarik kawannya yang mendengkus jengkel, mengalami kekalahan sekali lagi. Sudah sekian tahun Damnes Jendaves mengabdi pada tanah kerajaan ini, menjadikannya salah satu prajurit yang kuat dan tahan banting, baik secara fisik maupun mental. Tubuh kekar dan bekas luka tanda perjuangannya yang gila-gilaan, belum lagi hawa tubuh seolah tidak terdeteksi untuk beberapa situasi. Dia menarik kawannya seolah hanya menarik kabus untuk melayang di udara.
"Ah, sialan! Aku kalah lagi ...." Lawannya mengerang jengkel. Mata sipit yang sinis itu menusuk riak Damnes yang seolah tidak bersalah sama sekali. Riak polos yang benar-benar bertolak belakang akan tubuh kekar beserta kulit penuh bekas goresan pedang, dengan kain pakaian yang melekat pada tubuh kekar, tampilannya benar-benar menipu!
"Kau itu apa, sih? Ksatria juga bukan, tapi jago sekali!" Punggung Damnes ditepuk berulang-ulang, keras hingga menimbulkan suara yang agak ngeri. Akan tetapi Damnes hanya memperlihatkan giginya yang berbaris putih beserta senyum-yang membuat sudut bibir yang terdapat bekas sayatan pedang itu juga menyungingkan senyuman. Seolah ramah, baginya. Tapi tampak bagai seringai mengejek untuk orang lain yang mendapati senyum itu. Pengecualian itu si kawan seperjuangan, Wasver Lademirien. Entah telah berapa puluh kali Wasver kalah ketika mereka berlatih tanding, melawan ketangkasan berpedang Damnes juga keterampilan pria itu dalam bela diri. Meski sempat ada saat-saat di mana Wasver menang, ketika Damnes selalu dalam posisi lengah atau perhatiannya teralihkan, akan tetapi poin selalu diungguli oleh Damnes. Kondisi tubuh Wasver selalu lebih buruk, sedang Damnes lebih banyak memiliki bekas luka. Seolah-olah dalam pertarungan, dialah sang pemenang, yang tersembunyi di antara prajurit kerempeng di dalam medang perang, penjara yang membuat mereka selalu mengingat kematian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jejak Hitam Putih
FantasySide story Mrtyu 2 “Mati kau maniak perang sialan! Buat sakit hati saja!” Ucapnya sambil menginjak-injak punggung Damnes. Perjalanan menuju gua, berujung pengkhianatan, hari-hari punggungnya dihujani belati kata-kata, ia yang terbuang ke neraka, m...