Parish merasakan kelelahan dalam tidurnya. Dia pikir bisa lebih lama dalam keadaan gelap dimana matanya tertutup. Sesekali menahan napas, akan sampai mana dia benar-benar kuat tanpa bernapas.
Namun, sinar dari lampu di malam hari itu menusuk gelapnya, memaksa iris amber itu keluar dari balik kelopak mata. Parish tak tahu sejak kapan berada di kamar asing ini. Dia sangat ingat apa yang terjadi sebelumnya.
Melakukan hal itu lagi, menahan napas kala emosi menyerang tepat pada otaknya. Semuanya tak sinkron dan sangat singkat untuk dirinya jatuh tak sadarkan diri, pendengaran yang tak berfungsi, dan pandangan yang mengabur. Hal terakhir yang dia ingat adalah wajah khawatir Shaka.
Hal baik mulai menghampirinya, bahkan untuk Juni. Bukankah dia bisa pergi saat ini, dia ingin berada dalam dekapan ibu. Rasanya masih sama, Parish terombang-ambing di tengah lautan luka. Benar, dia terlihat baik-baik saja. Benar, dia terlihat mulai mengikhlaskan segalanya. Tetapi sejatinya, tak ada hari tanpa penyesalan, tak ada hari tanpa trauma menyakitkan itu yang hampir menggerogoti habis dirinya.
Semuanya masih terpendam, rapat tanpa ingin seseorang mengeluarkan dirinya yang terjebak emosi. Parish benar-benar sudah lelah akan semua hal, tangisnya meluruh seiring gejolak pening itu mendidihkan otak. Tanpa tahu Juni berada di sekitarnya, meraung keras mengundang Sheon datang.
"Parish? Ada apa, Sayang?"
Parish tak ingin melanjutkan hidupnya, dia benar-benar ingin mengakhiri semuanya. Mengapa begitu susahnya? Apa yang Tuhan dan semesta harapkan dari dirinya? Dia tak begitu kuat, bahkan berulang kali dihantam luka.
Juni tak bisa menahan tangisnya. Ini pertama kali dirinya menyaksikan kerapuhan kakaknya. Suara pedih itu menusuk relung-relung jiwanya. Sosok kakak yang selalu menjadi tameng dan selalu mengutarakan kalimat penguat untuknya, ternyata memang tak pernah membutuhkan hal tersebut. Sangat jelas kesakitan yang Juni tak pernah tahu kini menguar, ketakutan, kelemahan, trauma yang disembunyikan.
"Kakak ...," paraunya. Selama ini Parish adalah saksi kesakitan ibu. Dan kini dirinyalah yang menjadi saksi kesakitan Parish. Seberat itu hidup yang Parish lalui.
Dulu Parish berjanji untuk selalu ada untuk Ibu dan Juni, dengan senyuman dari perempuan hebat itu memberinya alas untuk berjalan. Kini Ibu pergi, merangkak pun rasanya tak mungkin.
Suara hujan di luar tak berhasil menutupi raungan Parish, Shaka mendengar itu. Berdiri menghadap jendela, pandangannya tak lepas dari rumah sebelah. Tangannya senantiasa menepuk juga mengelus punggung kecil Kuki. Bocah itu tadinya memaksa untuk mencari Parish Noona-nya. Segala cara Shaka gunakan untuk menahan keinginan kecil itu. Dia merasa Parish butuh ruang dan waktu untuk melepas semuanya.
Gadis itu menyimpan semuanya sendiri, sulit untuk Shaka menembus emosinya. Dia pikir harus melakukannya secara bertahap, semua dunianya teralihkan oleh gadis itu. Ingin menariknya keluar dari lautan luka itu, seperti saat Shaka menarik Parish di malam itu.
***
Juni membawa nampan berisi semangkuk bubur dan segelas susu untuk Parish, meletakkan segala yang tangannya bawa. Beralih mengelus surai Parish, membangunkannya.Berusaha sekuat mungkin menahan tangis. "Ayo makan. " Membantu Parish menyempurnakan posisi duduknya. "Ibu Sheon yang buatkan. Ini sangat enak. Juni cicip-cicip sedikit tadi."
Sendok itu dengan cepat berada di hadapan Parish. "Ayo buka mulutnya."
"Aaa .... "Bibir itu sedikit bergetar saat terbuka, kakaknya pasti sangat lapar. Melahap habis bubur pada sendok itu, Juni merapikan helaian rambut Parish guna tak mengganggu acara makannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pathetic - Sunsun
Short StoryTerjebak pada ruangan hampa, seakan bila pintunya terbuka sedikit akan memperlihatkan kehancuran yang dapat menanam trauma. "Kenapa kamu datang disaat posisi kita sama, yang saya butuhkan bukanlah orang seperti kamu" Dia yang juga hancur datang mel...