[ BAB - 45 ]

25K 2.1K 1K
                                    

Buna mau klarifikasi dua hal dulu.

1. Di bab sebelumnya, Buna ngelakuin kesalahan udah Buna revisi dan bisa dibaca ulang. Mohon maaf sebesar-besarnya, terima kasih juga udah ingetin ke Buna🦋❤

2. Besok Buna bakal keluar kota, otomatis Buna bakalan susah UP, jadi ketemunya di hari senin.





Bantu koreksi typo, ya❤

BAB 45 — THE TEARS











“Tunggu cairan infusnya habis, baru boleh pulang, ya, Pak. Tolong, diinget-inget saranku, semua demi kepentingan kesehatan Anda, Pak. Biar enggak ke sini lagi.”

Aldy menceramahi seorang pasien yang umurnya hampir mencapai kepala enam. Ia sedari tadi sibuk mengomeli si bapak-bapak, saking gereget akibat si bapak tersebut tidak menjaga kesehatan dengan baik. Mana pingsan dengan kondisi dehidrasi. Duh! Ia tidak tega jika berhubungan tentang orangtua.

“Iya, Dok—terima kasih,” balas si bapak.

“Dy, saya—” Alam muncul, ia menyibak tirai putih pemisah antar ranjang pasien satu ke pasien lain, ia menjeda ucapan, begitu bersiap pamit, senyum di bibirnya merekah. “Lho? Dr. Hazan?”

Tanpa pikir panjang, Alam menyalami tangan si bapak pasien. Sebentar ..., sebentar—Aldy butuh timer untuk mencerna sikon.

Dr. Hazan, katanya?

Sekali lagi, dr. Hazan? Dokter? Ia membelalak, lalu tanpa sengaja nyaris tersandung kaki sendiri.

“D-Dokter?”

“Oh, Dy—beliau dr. Hazan, kepala bedah di rumah sakit Pelita Husada di Jakarta. Murid kesayangan dr. Kenan Rajarendra. Dr. Hazan, ini dr. Aldy.”

Rahang Aldy terjatuh. Demi seluruh Dewa dan Dewi yang eksis di dunia fana maupun dunia nyata. Pria itu malu bukan main. Saking malunya, kulit wajah yang seputih susu tersebut, berubah ibarat warna kepiting rebus.

“H-Halo, dr. Hazan,” sapanya, sambil menangis di ujung pelupuk. “Salam kenal, Dok.” Ia beralih ke Alam yang menaikan alis. “Dr. Alam, rekomendasi novel, dong.”

Tiba-tiba saja meminta rekomendasi novel? Alam memiringkan kepala, pertanda tak memahami. Ia tersenyum canggung ke dr. Hazan.

“Aku pengen transmigrasi, aja, Dok. Ya Tuhan, mau taruh di mana mukaku.”

Dr. Hazan terkikik, mendengar penurutan Aldy—ia sebenarnya tidak masalah atas sikap hangat yang dilakukan si pemuda, perkara mengomeli dirinya karena melanggar aturan makan. Toh, meskipun dirinya berprofesi sebagai seorang anggota medis, ia tetap membutuhkan bantuan dokter.

“Abi ..., aku kan—eh?”

Ketiga pria di bed delapan serentak menoleh ke sumber suara. Lho?

“Jeng Kunci!” seru Aldy, nyaring.

Lantaran terlampau gaduh, Alam memperhatikan Aldy, di kelopak mata si dokter muda itu muncul love-love imajiner begitu melihat si mbak manajer.

“Dr. Hazan, punya anak cewek, ya?”

“Iya, tapi emang enggak saya pamerin. Soalnya, dia gengsi,” pungkas dr. Hazan.

“Bukan gengsi, Abi!” sangkal Sandiana, yang selalu menutupi latar-belakang keluarganya.

“Anak? Oh?” Aldy berbalik, menghadap dr. Hazan, menghiraukan rasa malu yang tadi menyelimuti jiwa, ia tersenyum. “Saya dr. Aldy, Abi. Cowok yang udah enggak di-blok lagi WA dan IG-nya sama Jeng Kunci.”

MY SOFTLY HUBBY [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang