Aku terbangun di ruang kesehatan Profesor Sofia, aku tidak mengingat apa pun setelah tubuhku diambil alih oleh jiwa yang tercemar itu.
Di dalam ruangan ini ada teman-temanku termasuk Profesor Sofia yang mengecek keadaanku.
"Apa sudah merasa lebih baik Nadindra?"
"Sudah, Prof," jawabku. Sebelum keluar dari ruangannya Profesor Sofia memintaku untuk beristirahat terlebih dulu dan tidak mengikuti pembelajaran akademi hari ini.
Aku hanya mengangguk dan menunggu cerita teman-temanku.
"Nadin." Nah, ini dia yang kutunggu.
"Aku benar-benar tidak mengingat apa pun, apa kalian bisa menceritakannya?" Dengan posisi duduk bersila aku menatap memelas pada mereka.
"Kau tadi sangat luar biasa!" Naomi dengan antusiasnya mengguncang bahuku.
"Naomi benar, kau akan tercatat dalam sejarah akademi karena bisa membuat barier sekuat itu seorang diri." Aku hanya menggaruk tengkuk yang tidak gatal, bukan ini yang ingin aku dengar.
"Nadin, ini bukan hal yang biasa. Selama kau membuat barier itu, kau tampak berbeda. Bola matamu berubah menjadi biru tua, seolah siapa saja yang menatapmu ia akan tenggelam di dasar laut yang paling dalam. Aku sebagai seorang yang memiliki sihir bumi dapat merasakannya. Keegoisan, kemarahan, kebencian, keserakahan semuanya bersatu dan itu membuat auramu menjadi gelap," jelas Florensia.
"Saat aku dan Profesor Sofia memberimu healing, tubuhmu menolaknya. Aku tidak pernah melihat hal seperti ini sebelumnya." Athalia yang tadi bersemangat bersama Naomi kini menatapku seolah meminta penjelasan.
Aku menghela napas. Meminta maaf berkali-kali di dalam hati karena aku tidak akan mengatakan yang sebenarnya. "Aku hanya seorang amatiran, dan aku sama sekali tidak tau apa pun."
"Di dalam tubuhmu seperti ada sesuatu yang lebih kuat. Aku pernah membaca buku tentang seseorang yang memiliki kekuatan yang terkunci." Ayden memberi tambahan. Aku menatapnya, berharap memberikan penjelasan lebih jelas.
"Tidak selamanya kekuatan yang kuat itu menguntungkan, ada juga yang menghancurkan. Ini terjadi sekitar lima puluh tahun yang lalu, seorang yang di kunci kekuatannya karena dia tidak bisa mengendalikannya. Pada akhirnya, ketika tubuhnya tidak lagi menampung kekuatan itu, dia meledek dengan sendirinya."
"Apanya yang meledak?" tanya Sakya yang memangku wajahnya. Seperti mendengarkan dongeng.
"Tubuhnya." Aku menelan ludahku kasar. Apa suatu hari nanti aku akan berakhir seperti itu juga?
Semuanya bergidik ngeri mendengar cerita Ayden. Kami seperti mendengarkan cerita horor, termasuk aku yang seperti diberi gambaran masa depan.
"Nadindra, aku ingin bicara denganmu." Aku menoleh ke sumber suara. Aku mengerjap mata empat lima kali, baru kali ini Elio menyebut namaku. Kenapa tidak sekalian dengan nama panjang dan orangtuaku? Ah, astaga! Apa yang aku pikirkan.
"Hanya berdua." Elio menatap ke yang lainnya, meminta mereka untuk keluar.
"Tumben sekali."
"Dia mengusir kita?"
"Apakah penting sampai kami tidak boleh mendengarnya?" tanya Ayden yang mash betah duduk di atas kursinya.
Elio mengangguk. Aku tertawa saat yang lainnya memutar bola mata malas.
"Jangan lama-lama, aku tidak ingin kembali ke kelas. Jadi aku bisa menjadikan menjaga Nadin sebagai alasan." Aku melempar bantal ke arah Sakya, enak saja dia menjual namaku untuk membolos.
Ketika semuanya sudah keluar aku baru sadar, ternyata ada Ezra yang tengah duduk bersadar sambil menutup buku di atas wajahnya.
"Dia tidur?" tanyaku. Elio berjalan mendekatinya, mengambil buku yang menutup wajah tampannya itu.
Ezra membuka matanya. Menatap Elio dengan wajah kesal. "Ada yang ingin aku bicarakan juga dengan Nadindra."
Elio mengangkat sebelah alisnya. "Setelah aku selesai dengannya."
"Kenapa aku tidak boleh mendengarnya?"
"Apa kau tidak mengerti privasi?" Elio menatap Ezra dengan senyum mengejek.
"Ezra, kau keluarlah dulu. Apa pun yang ingin kau bicarakan tunggu aku dan Elio selesai. Kami ingin membicarakan sesuatu yang cukup penting hanya berdua saja." Ezra mendengus, dia keluar menyusul yang lainnya.
"Menyebalkan." Aku terkekeh mendengar gerutu Elio.
Aku dengan posisi duduk bersila menatap Elio yang berdiri di depanku. Debarnya dan rasanya masih sama. Sepertinya, aku masih mencintainya.
"Apa yang ingin kau bicarakan?" tanyaku memecah keheningan.
"Apa kau masih ingat yang disampaikan Raja Shefon?"
"Iya, aku juga ingin membahas itu denganmu."
"Jadi kapan kita akan pergi ke Desa Olasri?" tanya Elio.
"Aku ingin secepatnya, tetapi kita harus meminta izin terlebih dulu dengan Profesor Devian sebelum keluar dari akademi."
Elio mengangguk setuju. "Apa kau sudah baik-baik saja?"
"Iya. Aku pikir lusa nanti kita bisa pergi. Apa kau tau letak desa itu?"
"Desa Olasri itu adalah desa terpencil dan ada di ujung timur kerajaan Tresioz Naturen."
"Akan mudah jika kita mengajak Florensia karena dia Tuan Putrinya," ucapku bercanda.
"Ya, jika kau mau rahasia kita bukan rahasia lagi maka lakukanlah." Aku menggeleng.
Kenapa saat kami hanya berdua, sulit sekali mencari sesuatu untuk dibicarakan? Otakku seolah berhenti untuk berpikir ketika ada Elio di dekatku.
Tiba-tiba tangan Elio mendekati wajahku, aku sampai menahan napas menunggu apa yang akan dia lakukan.
"Jika ada sesuatu yang terjadi padamu, ceritakanlah padaku. Karena di dunia ini kau hanya memilikiku dan aku hanya memilikimu," ucapnya sambil menyelipkan rambutku di telinga.
Aku benar-benar lupa bagaimana caranya bernapas sekarang.
"Kau mengerti?" Aku mengangguk dan aku berharap dia tidak mendengar detak jantungku saat ini.
"Profesor Sofia menyuruhmu untuk istirahat."
"Iya, tapi ada yang ingin Ezra bicarakan." Aku seperti orang penting karena banyak yang ingin bicara denganku.
"Aku akan mengatakan kau sudah tidur pada laki-laki api itu." Aku sontak tertawa mendengar kalimat yang keluar dari mulut Elio.
"Dan kau laki-laki petir," ucapku dengan tawa yang masih tidak bisa dihentikan.
"Sudahlah, aku akan ke luar. Istirahatlah perempuan air." Aku cemberut. Aku tidak menyangka jika Elio bisa berbicara banyak seperti itu.
Aku melihat punggungnya yang mulai menjauh dan kemudian hilang setelah pintu ia tutup. Dan aku? Aku seperti orang yang kehilangan kewarasan di sini. Berguling-guling dan tertawa tidak jelas.
Hari ini, di ruang kesehatan Profesor Sofia aku dan Elio menghabiskan waktu sedikit lebih lama.
Seandainya aku berada di duniaku, aku akan langsung menceritakan hal ini pada Layla. Elio, kau benar-benar membuatku gila.
Aku adalah orang yang baru mengenal apa itu cinta dan aku jatuh pada seorang yang sulit ditebak seperti Elio.
Dan pada akhirnya aku akan dibuat ragu. Apakah dia juga mencintaiku atau hanya menjalankan rasa kemanusiaan untuk saling membantu.
─── ⋆⋅☆⋅⋆ ───
KAMU SEDANG MEMBACA
A Way Home for Nadindra
FantasyNote : Bukan novel terjemahan! Ini jernih hasil pemikiran sendiri, plagiat jangan mendekat! **** Nadindra adalah murid kelas 3 SMA Swastamita Candrasila. Siapa sangka study tour yang ia ikuti malah menjadi malapetaka. Niat hanya ingin mengambil foto...