Bab 10. CINTA ITU LUKA
"Cinta itu luka di saat sang hati tak mampu mengelola, apalagi jika bukan untuk pasangan halalnya."
—Ni'matul Jannah—
"Ada kegiatan baru, Fa?" tanya Sari.
"Kalau yang lewat jalur rencana gak ada, paling ini mendadak dari … waduh niku Gus Afif pun jalan ke aula," kata Athifa.
"Apa ya? Masa ada pelanggaran lagi? Yang melanggar waktu itu kan udah beres termasuk aku," sahutku.
Dengan cekatan kami berusaha cepat untuk berkumpul. Ternyata, Gus Afif membagikan kerudung untuk kami semua dari sebuah toko pakaian yang tidak jauh dari pesantren kami. Lebih senang lagi, model kerudungnya merupakan kerudung yang lagi viral. Hanya saja warnanya berbeda-beda per-golongan kelas atas, tengah, dan bawah.
***
"Yeee, muleh, Saatnya njajan!" Rini sudah jalan lebih dulu ke depan pintu kelas.
"Mau beli apa?" tanya Alfi.
"Pentol yok! Pentol yang banyak belungannya di depan ndalem enak bet, asli!" Aku menyeret tangan Alfi untuk segera beli pentol.
"Oh, pentolnya Pak Sut ya," sahut Sari.
"Parah deh Sari. Bukanlah, ora kolu pentole Pak Sut, hueeeek! Pentol yang dijual Pak Sut, iki seng pener. Iyo ra?" racau Rini.
"Hahaha, Sari gak mungkin mikir gitu."
"Tahu nih, Rini udah melayang aja."
"Hehe, candaaaaaaa," kata Rini.
Sudah seperti biasanya Rini berulah begini. Saat kakiku melangkah, tanpa sengaja mata ini memandang Kang Ahmad yang juga keluar kelas. Ia terus mengikuti langkah kami sampai ke markasnya Pak Sut. Bukan untuk apa-apa, Kang Ahmad juga mau beli pentol.
"Kamg Ahmad, ojo ngendih lo, kita tekane wes luweh disik!" pinta Sari.
"Ora-ora, tapi aku luwe, Cah. Utek wes budrek ngge mikir matematika, wetenge kemruyuk, maeng istirahat gak sempet beli karbohidrat," keluhnya.
"Suwun, Pak." Alfi menerima pentolnya lebih dulu. "Ya ampun, ngenes banget Kang Mad Mad. Nih tak kasih!"
Degh.
Tega sekali Alfi. Sudah tahu kalau aku mencintai Kang Ahmad, ia sendiri juga berusaha mengingatkanku untuk tidak dekat dengan Ahmad, sekarang apa yang aku lihat? Dia malah menyuapi pentol, geram sekali diriku. Biarlah mulut belum jadi menelan pentol dengan cepat, mending lari saja ke kamar.
"Ma … tunggu mau ke mana!" teriak Alfi.
"Titip ya Sar pentolnya, mau ke pesantren dulu, ke kamar!" Aku berlari sembari menjawab, tanpa menoleh.
"C-cemburu? Argghh! Payah kamu Al!" Sari menepuk jidatnya.
"Buruan kejar!" imbuh Rini.
Sepintas masih terdengar, mereka membicarakanku. Mereka peka, tetapi kenapa Alfi begitu di depanku secara terang-terangan? Aku memang mencintai Gus Afif, sedangkan dengan Kang Ahmad sebenarnya hanya pelampiasan saja. Akan tetapi, rasa cemburu itu sekarang juga benar-benar muncul. Dasar cinta monyet, gila! Aku mencintai dua laki-laki sekaligus.
"Ma, Ni'ma … aku masuk ya, sepurane," ucap Alfi.
Malas sekali menjawab. Kamar kita saat ini terpisah, di antara para Bestod, aku hanya sendiri sejak menjadi pengurus perlengkapan. Biarkan saja, diriku masih sangat terbakar. Kang Ahmad juga seperti itu, dia tidak memikirkan perasaanku bagaimana.
***
"Ni'ma, besok malam Jum'at jadwalnya kamar kamu," kata Athifa.
"Oh iya, waktunya kegiatan apa ya?" tanyaku.
"Lupa, belum cek, tapi ingat kalau waktunya kamar kamu, soalnya udah dari kamarku. Kamu ingat gak Al, terakhir apa? Kan dua Jum'at zonk karena kita rapat di yayasan," ucapnya.
"Waktunya Diba'an, setelah Manaqib Akbar terus Diba'an kan?" kata Alfi.
Hatiku masih saja benci teringat kejadian kemarin. Duduk sebangku, tetapi tidak tidak saling sapa. Apa dia rasa sudah benar? Kenapa tidak minta maaf dengan serius? Ingin rasanya pindah tempat duduk, cemburuku semakin panas.
"Arep permen?" Sari menyebar permennya di meja.
"Asyikk, permen gratis! Iki pelet po uduk?" celetuk Rini.
"Hahaha, Iyo. Ngge melet sampean iku ben ra mbegijis, nggledhis ae." Sari tertawa sembari memilah-milah permen.
"Ooo tidak bisa! Tidak bisa, saya dan jiwa-jiwa saya sudah tugasnya ngene, ben rencang-rencang sing cemburu, sing lara ati ora ngegas mecucu. Ngono kan, Ma. Hahaha …."
'Dih! Rini semakin membuat panas saja. Bercanda ya bercanda, tapi ini … argghh!' batinku.
Alfi juga kelihatan canggung, biasanya saat jam kosong seperti ini, aku dan Alfi sudah konser. Apalagi sekarang lagi trending lagu baru, menahan itu sungguh uji kesabaran sekali. Bukan cuma Alfi, Sari pun terlihat sedang berpikir, sedangkan Athifa bersama Rini entah membicarakan apa mereka berdua sembari melihat coretan-coretan bukunya.
"Tempat tinggal kalian tuh jauhan gak sih, Al, Ma?" tanya Sari.
"Lumayan," jawabku serentak.
Kalau hari biasanya, bisa jawab kata bareng begini pasti sudah diiringi tawa. Jangankan tawa, untuk senyum saja sekarang rasanya sangat susah. Apa ini akan berkepanjangan? Semoga Alfi segera minta maaf, masa aku yang minta maaf? Memang keras kepala, apalagi di sini posisinya aku yang cemburu, malas kalau aku yang harus minta maaf.
***
"Ma, ayo tumut Gus ke rumah sakit!" ajak Gus Afif."Sinten sing sakit, Gus? Data pagi mboten wonten yang perlu dibawa ke rumah sakit," jawabku.
"Ada yang tiba-tiba lemes setelah semua berangkat sekolah, tadi saya yang antar ke sana … dan hasilnya HB turun, butuh transfusi darah, cepat pengurus kesehatan ajak tumut sedanten! Sama Rata diajak nggeh," katanya.
'Ya Allah, semoga yang sakit diberi kekuatan. Ngapain bawa Mbak Rata? Ishh!' batinku.
"Ralat, ojo Rata, ambi Alfi mawon. Harus ada pengurus koperasi yang ikut, soalnya untuk memudahkan administrasi juga," ujarnya.
"Kenapa harus Alfi? Sanes pengurus koperasi seng lintune mawon tah, Gus?"
"Telingane kamu pun denger to? Cepet dipanggil!" serunya.
Bau-baunya, Gus Afif sudah mau mengeluarkan kata yang membius. Sudahlah, aku panggil saja. Hari yang masih apes, kalau untuk sekarang itu mending dengan Mbak Rata daripada Alfi. Untungnya, ada temanku pengurus kesehatan yang ikut, jadi mulutku tidak bersemedi di samping Alfi.
"Nggih, Gus," jawabku.
Santri yang dimaksud Gus Afif yang sakit tersebut merupakan santri baru. Ada rasa bersalah, karena anak tersebut sampai turun HB-nya drastis. Aku merasa kurang dalam memperhatikannya, tetapi tidak mau ambil pusing. Dokter saja masih bisa salah diagnosis, apalagi aku yang masih awam sekali tentang dunia medis, buat pelajaran saja, keterbukaan terutama antara pengurus kesehatan dengan santri baru harus lebih dibuka lagi, supaya mereka tidak canggung mengakui kalau dirinya sedang sakit dan segera bisa diobati.
"Sar, bilangin ke Alfi diajak ke rumah sakit sama Gus Afif," kataku.
"Bilang sendiri aja, aku diutus Ummi sekarang, lagi buru-buru." Sari berlari untuk ke dapur.
"Fa, tolong bilangin dong, aku masih kebelet," kataku.
"Sepurane, ditimbali Gus Azhar aku Ma. Ini benahin jilbab gak jadi-jadi," jawab Athifa.
'Arghhhh! Terus gimana aku bilangnya?' batinku geram.
KAMU SEDANG MEMBACA
Basmalahnya Gus untuk Mbak Santri
Любовные романы"Setiap jiwa punya cerita, setiap raga punya cita, setiap hati punya cinta." "Hancur, rapuh, sakit dalam cerita, cita, atau cinta bukan berarti hidupmu sirna. Hanya saja masih waktunya harus melawan lara. Sampai kapan? Sampai Tuhan menitik masa, d...