Alunan musik Despacito yang dinyanyikan oleh Luis Fonci dan Daddy Yankee menggema di sepanjang ruang Tobato Bar. Andrew melangkah mencari seseorang yang telah menunggunya. Hari ini adalah hari Jum'at. Sudah jadi kebiasaan jika bar ini akan dipenuhi banyak orang tatkala menuju weekend.
Paska menghabiskan dua minggu di California, Andrew berencana istirahat terlebih dahulu selama beberapa hari. Salah satu agenda istirahat itu ialah minum bersama teman-temannya.
"Morgan!" West mengangkat salah satu tangannya memanggil Andrew untuk mendekat. Seperti hari-hari yang lain, West datang dengan pakaian hitam dengan bucket hat putih miliknya.
West Wilton selalu tampil tertutup kecuali saat ia bekerja. Pakaian yang ia gunakan pun sebisa mungkin warna-warna yang gelap. Ia menghindar untuk jadi pusat perhatian, padahal pekerjaannya merupakan aktor. Terlihat begitu bertolak belakang dengan pekerjaannya yang menuntutnya agar mendapat banyak perhatian dan sorotan.
Setiap ditanya alasan mengapa ia selalu tampil sederhana, alasannya selalu sama dan tidak berubah. Ia terlalu lelah bekerja di depan layar.
Di sebelah West, ada Noah Johnson. Laki-laki itu bukanlah seorang aktor seperti West. Pekerjaannya sama seperti Andrew, berkutat dengan banyak berkas-berkas perusahaan dan meneruskan usaha keluarga besarnya.
Noah mendapat banyak perhatian dan cukup dikenal karena ia berpacaran dengan Olivia Gritt. Olivia merupakan seorang aktris. Jika Naina biasanya membintangi series pendek dan film, Olivia lebih sering muncul di dalam series yang cukup panjang. Ia merupakan aktris pendatang baru yang cukup sukses. Banyak orang yang mulai mengenal Olivia sehingga Noah tak asing untuk banyak orang.
Lain halnya dengan Sean. Jika Noah dan West menikmati hidup mereka dengan semua gemerlap kehidupan aktris dan aktor, Sean justru tidak tertarik dengan terangnya dunia itu. Jill—adik Sean—merupakan seorang penyanyi papan atas yang cukup terkenal. Namun, Sean Parker memilih untuk tidak memanfaatkan ketenaran itu. Ia berlindung di balik pekerjaannya sebagai seorang pemilik jasa cyber security dengan nyaman.
Tanpa gangguan, tanpa menarik perhatian.
"Sorry." Andrew duduk di salah satu kursi yang kosong tepat di sebelah Sean. Semua orang sudah memesan minumannya masing-masing, kecuali Andrew.
West mengambil sebuah botol lalu menuangkannya ke dalam gelas kecil yang masih bersih.
"Selamat datang untuk Tuan Morgan." Katanya sembari memberikan minuman itu pada Andrew.
"Hari ini, kita harus merayakan putusnya Noah," ucap Sean yang langsung mendapat tatapan tajam dari Noah yang duduk di hadapannya.
"Jadi, akhirnya dia putus?" Andrew mencoba untuk memastikannya lagi. Noah dengan lemas mengangguk dan menuangkan lagi minuman yang ia pesan. Ia sudah setengah mabuk dan hanya bicara seperlunya saja.
Tegukan demi tegukan membuat Andrew kecanduan. Ia memastikan dirinya tidak mabuk. Setidaknya, malam ini ia harus bisa menyetir sendiri.
"Bagaimana kalian bisa putus?" Tanya Andrew lagi.
Noah memukul wajahnya beberapa kali, memastikan dirinya tetap sadar. "Olivia bilang jika aku terlalu baik untuknya."
West tertawa mendengar penuturan salah satu temannya. "Lalu?"
"Dia bilang kalau dia tidak mencintaiku lagi, tapi aku mencoba mempertahankan hubungan itu. Aku berusaha sekuat tenaga membuatnya yakin jika kita bisa berjalan bersamaan. Tetapi..." Noah meneguk minumannya lagi. "...dia meminta putus."
"Benar seperti yang Olivia katakan, kau terlalu baik." Sean bersuara.
"Benarkah?" pertanyaan Noah berbuah anggukan dari Sean. "Lalu, aku harus menjadi jahat yang seperti apa? Setidaknya supaya Olivia bersamaku."
"Mungkin kau harus sejahat Joker." West melemparkan gumpalan tisu ke Sean yang justru memancing tawa semua orang di sana kecuali Noah yang sudah mabuk. Andrew hanya mengangguk tak bisa menertawakan perkataan Sean.
"Ayo kita main game. Siapa pun yang tidak bisa menjawab, harus minum satu gelas ini." West mengangkat sebuah gelas yang lebih besar dari gelas yang ia berikan pada Andrew.
Ia menyiapkan sebuah botol kosong yang siap memutar untuk menunjuk siapa korban yang akan dihujani pertanyaan.
"Noah tidak perlu ikut karena dia sudah tidak bisa menjawab lagi." Ujar Sean.
"Setuju!" Noah menimpali Sean. Entah ia sadar atau tidak dengan ucapannya.
"Baiklah, aku akan memutarnya." West memutar botol kaca berwarna hijau itu. Putarannya cukup cepat hingga botolnya berhenti agak lama. Andrew, West, Sean. Andrew, West, Sean. Andrew, West... dan Sean.
"Apa kamu pernah menyukai Naina?" pertanyaan West memancing rasa penasaran Andrew. Atas dasar apa West menanyakan Sean pertanyaan itu. West tentu tahu jika Sean berpacaran dengan Adelaide.
"Konyol sekali pertanyaanmu." Sean tertawa kemudian. "Tentu saja tidak pernah,"
"Karena jika kau bilang 'iya', mungkin Andrew akan menghabisimu disini." West bicara sembari tertawa.
Andrew pernah mendengar gosip soal Naina dan Sean yang katanya dekat. Naina sendiri tidak pernah mengaku di depannya. Tapi Andrew bisa membaca tatapan perempuan itu. Tatapannya tidak pernah berubah meskipun sudah beberapa tahun kabar itu muncul.
"Membunuh mungkin lebih baik," kata Andrew kemudian. Ia menatap West yang tersenyum jahil. "Lagi pula, kenapa pertanyaan itu terpikirkan olehmu, West?"
"Kita dapat bertanya apa pun di sini. Tidak ada yang melarang." West bicara dengan santainya. "Baiklah, aku akan memutar lagi."
Tangan West memutarkan lagi botol itu. Yang semula berhenti mengarah ke Sean, kini kembali berputar dengan cepat menuju target berikutnya. Andrew memperhatikan arah putaran itu. Sean, Andrew, West. Sean, Andrew, West. Sean, Andrew...
AKU?!
"Apa kamu punya pacar?" Sean bicara sambil tersenyum penuh arti. Sial, Andrew tak pernah melupakan jika Sean ada saat ia mengecup Jane di penthouse miliknya.
Menjawab tidak, sudah pasti bukan jawaban yang tepat. Andrew dan Jane sudah sepakat untuk tanda tangan kontrak bertunangan minggu lalu. Walau keduanya belum meresmikan pertunangan ini, tetapi mereka sudah setuju untuk menikah tahun depan.
Jika Andrew menjawab 'tidak', sama saja ia tidak mengakui Jane sebagai tunangannya. Tapi, lupakan saja. West dan Noah belum seharusnya tahu soal ini.
Laki-laki itu meraih segelas minuman yang belum tersentuh. Dengan beberapa tegukan, bir itu habis begitu saja. Andrew sampai membalikkan gelasnya tepat di kepala sebagai bukti jika ia benar-benar menghabiskannya.
Tawa Sean pecah melihat tingkah salah satu temannya. Kecuali West yang menatap Andrew dan Sean penuh tanda tanya. "Apakah ada yang aku lewatkan?"
"Kau harus bertanya padanya." Andrew memutar botol itu untuk menghindari pertanyaan lainnya. Sean sungguh kurang ajar, ia memancing West yang rasa ingin tahunya setinggi langit.
"Siapa perempuan yang kau pacari?" Sial Andrew tidak suka West yang menyudutkannya.
"Aku tidak menerima pertanyaan lain kecuali jika botolnya mengarah padaku." Tolaknya kemudian.
"Namun, mulut botolnya mengarah padamu lagi." Sean menimpali ucapan Andrew. "Jawab saja perempuan mana yang membuatmu seperti ini, Andrew."
"Sialan, Sean." Andrew mengumpat.
Dengan sangat terpaksa, Andrew meraih botol yang masih terisi dan menuangkan isinya ke dalam gelas. West tidak perlu tahu sekarang. Mungkin ia perlu tahu jika Andrew dan Jane sudah merencanakan untuk meresmikan pertunangan ini.
Andrew meneguk bir itu untuk ke sekian kalinya. Rasanya semakin hangat dan Andrew semakin menginginkannya. Tanpa menunda, ia meraih botol itu dan langsung meminumnya hingga habis.
"Laki-laki bodoh itu sekarang bisa jatuh cinta?" tanya West kepada Sean yang hanya dijawab dengan kedua bahu yang terangkat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Games With Love
ChickLitAndrew penasaran dengan Jeanne Clark-teman adiknya. Ia pikir rasa penasaran itu akan usai ketika ia memutuskan mengenalnya lebih dekat. Tetapi, ternyata tidak sesederhana yang ia pikirkan. Games With Love | The Alexandria #1