Mari kita meluruskan "kondisi" dari alur dan gambaran cerita ini yang memang agak-agak hehehe.
Pertama, mau mengingatkan kembali bahwa di awal, Kyra hamil karena di radu paksa (p3rk0sa) oleh Zhafi. Radu paksa dan zina berbeda ya, teman-teman. Karena zina adalah perbuatan yang dilakukan dalam keadaan keduanya sadar namun tanpa ikatan yang sah, sementara radu paksa terjadi di luar kehendak salah satu pihak.
Islam sendiri tidak mengenal istilah p3m3rk0s44n, tetapi mengenal zina. Dalam konsepsi pidana fiqh (al-Hudud), p3m3rk0s44n digolongkan tindak pidana kejahatan atas kehormatan (hak al-'ardh), yang berupa perzinahan dengan ancaman hukum cambuk 100 kali atau rajam sampai mati. Dalam kasus cerita ini, yang dapat hukuman harusnya Zhafi aja. Karna dia pelaku.
Nah terkait masalah perkawinan........
Hukum Menikahi Wanita Hamil (diluar nikah)
Dalam Islam, zina terbagi menjadi dua yaitu berdasarkan hukuman yang akan dijalankan. Pertama, zina muhsan, yaitu adalah zina yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan yang sudah baigh, berakal, merdeka, dan pernah menikah, baik itu sudah bercerai ataupun masih terikat suatu pernikahan. Hukuman keduannya adalah rajam. Kedua, zina ghairu muhsan, yaitu adalah zina yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan yang tidak memiliki ikatan pernikahan. Hukuman yang disyariatkan adalah cambuk 100 kali dan diancam diasingkan.
Istilah "menikahi wanita hamil diluar nikah" yaitu akad nikah yang dilakukan oleh perempuan pada saat ia sedang dalam keadaan hamil disebabkan terjadinya hubungan terlarang antara dirinya dengan laki-laki, diluar nikah, bisa karena zina atau radu paksa.
Para ulama berbeda pendapat tentang menikah dengan wanita hamil, dan ada dua kondisi yang dapat diambil dari kasus seperti ini. Pertama, nikahnya wanita hamil karena zina dengan laki-laki yang menzinainya. Kedua, nikahnya wanita hamil karena zina dengan laki-laki yang tidak menzinahinya.
Para imam empat madzhab berbeda pendapat tentang siapa yang boleh menikahi wanita hamil karena zina.
Imam Hanafi berpendapat ketika laki-laki yang menghamilinya menikahinya adalah boleh, boleh dalam arti ketika sudah menikah maka boleh langsung menggaulinya. Apabila yang menikahi wanita tersebut adalah orang yang tidak menghamilinya, hukumnya boleh dengan syarat tidak menggaulinya hingga ia melahirkan.
Imam Syafi'i berpendapat bahwa laki-laki baik yang menghamilinya ataupun tidak, boleh menikahinya.
Imam Maliki dan Imam Hanbali berpendapat bahwa laki-laki yang tidak menghamilinya, tidak boleh menikahinya kecuali telah habis masa iddahnya. Akan tetapi, Imam Hanbali memberikan syarat yaitu wanita harus bertaubat, sesuai dalil Qur'an Surah An-Nur ayat 3.
Sementara dalam KHI (Kajian Hukum Islam) yang berlaku di Indonesia, menikahi wanita hamil terdapat dalam pasal 53 dan meliputi tiga pembahasan, yaitu:
1. Seorang wanita hamil diluar nikah, dapat dinikahkan dengan laki-laki yang menghamilinya.
2. Pernikahan wanita hamil seperti yang disebut pada ayat (1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu dahulu kelahiran anaknya.
3. Dengan dilangsungkannya pernikahan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan pernikahan ulang setelah anak yang dikandung lahir.Kedudukan Hukum Anak di Luar Nikah (jika terjadi pernikahan setelah kehamilan)
Menurut madzhab Maliki dan Syafi'i, anak yang lahir setelah enam bulan dari pernikahan ibu dan bapaknya, maka anak tersebut dinasabkan kepada bapaknya. Jika anak tersebut dilahirkan sebelum usia enam bulan, maka anak tersebut dinasabkan kepada ibunya. Sedangkan pendapat madzhab Hanafi dan Hanbali anak yang lahir diluar nikah tetap dinasabkan kepada bapaknya sebagai anak yang sah.
Dalam perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, anak yang lahir diluar nikah:
a. UU No.1 Tahun 1974 pasal 43 ayat 1, menyatakan anak yang dilahirkan di luar pernikahan, hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Namun keluarganya dapat mengajukan tuntutan ke pengadilan untuk dapat memperoleh pengakuan dari bapak biologisnya.
b.Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 100, menyebutkan anak yang lahir diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya.Dengan demikian, apabila anak lahir kurang dari enam bulan sejak perkawinan, maka anak tersebut tidak dapat dihubungkan nasabnya kepada bapaknya, baik itu lahir dalam pernikahan yang sah sekalipun. Ia hanya memiliki hubungan nasab dengan ibunya dan keluarganya saja, ini yang membedakan antara hukum fiqh denganhukum pernikahan di Indonesia.
Sumber: https://ejournal.inzah.ac.id/index.php/assyariah/article/view/396/379
Nah pertanyaannya, akan menikah dengan siapakah Kyra? Dan akan menjadi anak siapakah bayi dalam kandungan Kyra itu? Wkwkwk
Kalo ada kekeliruan mungkin boleh bantu dikoreksi ya teman-teman. Penjelasan di atas menurut sepemahaman aku yg masih cetek ini, di tambah dari sumber tercantum.
Tapi sekali lagi, koreksinya mohon pakai bahasa yang sopan ya guys hehehehe.Ohiya, jangan lupa baca Bab 14 ya guys, sudah aku post beberapa jam yg lalu^^
Dah gtu aja, sampai ketemu di next chapter. Ciao, assalamualaikum!
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Penghujung Jalan Kita
Espiritual============================ Tentang luka, yang menjadi awal semua bermula. ~ Zhafi Hasan Sastrasanjaya Tentang cinta, yang memilih menua bersama. ~ Aksara Azzam Husani Tentang asa, yang menanti sebuah nama. ~ Salman Syair Al-Farisy Tentang kita, ya...