Chapter 29 - Persimpangan Jalan

10 6 0
                                    

Rentang waktu terus berputar seiring detik jarum jam yang terus berulang. Berkeliling tidak bosan di tempat yang sama. Bergerak maju karena memang begitulah tugas seharusnya.

Tak terasa, satu tahun sudah hubungan ini Reihan dan Jessi jalani. Belum ada cahaya terang yang terlihat karena mereka tidak menemukan garis ujungnya. Hanya ada persimpangan jalan yang senantiasa menunggu mereka untuk memilih. Menempuh jalan yang terjal atau akhiri saja. Lalu putar balik mencari jalan yang lebih menjanjikan untuk bisa dijalani.

Jessi sebenarnya ingin hari Minggunya santai. Setelah pulang dari gereja, ia ingin beristirahat di rumah. Menonton serial sambil mengunyah cemilan. Tidak ingin kemana-mana karena Reihan sedang pergi ke Sukabumi untuk menghadiri acara keluarga.

Ternyata rencana Jessi gagal karena setelah pulang dari gereja, ada keluarga Daniel yang berkunjung ke rumahnya. Daniel sudah mendaftar S2 di salah satu universitas di Jakarta, jadi dia sekarang menetap di sini.

Jessi sudah beberapa kali bertemu dengan Daniel, hanya menyapa untuk basa-basi. Tidak pernah ada obrolan yang lama. Lagipula untuk apa? Jessi malas memulai membahas ini itu dengan orang baru.

Mami menyuruh Jessi memotong kue untuk tamu sementara Mami menyiapkan minumnya. "Jess, si Daniel itu pintar loh. Dia cumlaude, jurusannya juga sama kaya kamu. Nanti kalau kamu ada tugas atau mau ngajuin judul skripsi coba konsultasi dulu sama dia." Mami terlihat sangat bersemangat.

Jessi hanya mengangguk dan kembali menyusun kue di piring. Lantas membawanya ke ruang tamu untuk disajikan. Di sana ada Daniel beserta ayah dan ibunya. Jessi menarik diri dari sana dan emilih untuk menyalakan televisi untuk mencari serial yang akan ditontonnya.

Entah sejak kapan Daniel ada di sana juga. Duduk agak jauh dari di kursi Jessi dan Jessi baru menyadarinya saat Daniel bersuara.

"Hai, Jess, boleh gabung gak?"

"Eh, boleh, kok."

"Lo suka nonton film apa?"

"Horror, exorsict, gore, yang kaya gitu lah."

"Ck, biasanya cewek kan sukanya drama romantis. Kok lo beda sih?"

"Biasa aja ah. Gue bukan pick me girl."

"Sorry sorry, gue gak maksud kaya gitu."

Jessi memilih untuk menonton film The Insidious. Entah sudah berapa kali Jessi menontonnya. Jessi sangat suka dengan perjuangan orang tua itu untuk mencari anaknya yang berada di dunia lain.

"Ini film lama kan?" Daniel membuka kembali obrolan untuk menghapus canggung.

"Iya, tapi gue suka aja nonton ulang lagi." Jessi hanya menanggapi seperlunya. Matanya masih tertuju pada televisi yang ada di hadapannya.

Nyatanya Daniel tidak menyerah, ia kembali mengajak Jessi mengobrol tentang kuliahnya. Sampai Jessi harus memelankan dahulu volume suara dari film yang ditontonnya. Mereka di jurusan yang sama jadi bukan hal yang sulit bagi Daniel untuk berbicara seputar materi perkuliahan. Ia juga sempat menawarkan diri kepada Jessi untuk membantu apabila Jessi ada tugas.

"Eh, lo belum punya cowok kan?" Daniel bertanya kepada Jessi yang sedang meneguk secangkir teh. Jessi hampir tersedak namun masih bisa menenangkan diri.

"Hm? Gimana?" Jessi hanya ingin memastikan pertanyaan Daniel.

"Abisnya kata Mami gue, kita tuh mau dijodohkan. Terus Mami lo udah setuju. Ya tinggal kitanya aja yang pedekate."

Jessi menggigit bibirnya. Tidak mungkin. Mami dan Papi selama ini baik sekali terhadap Reihan. Bahkan Papi sering memuji, setelah bertemu dengan Reihan dia jadi lebih bersemangat. Teganya Mami melakukan ini tanpa persetujuannya. Jessi seperti ditusuk diam-diam dari belakang.

"Tante Ruth juga bilang katanya lo butuh mentor gitu buat ngajuin judul skripsi. Gue bisa kok bantu kalau lo mau. Gue boleh minta nomor lo gak?" Daniel memberikan ponselnya ke arah Daniel dan menerimanya. Ia menekan tombol angka yang berisi nomornya.

Ada panas di dadanya. Jessi merasa dikhianati oleh Mami. Air matanya hampir jatuh, namun segera ia hapus. Jessi tidak mau Daniel melihatnya menangis.

"Jess, kalau lo rasa ini kecepatan, kita bisa kok pelan-pelan aja."

Jessi memalingkan wajahnya dan izin untuk ke kamar. Ia menumpahkan tangisnya di atas bantal. Mengingat bagaimana ia harus berbicara dengan Reihan perihal perjodohan ini? Bagaimana jika Reihan menyerah? Bagaimana jika akhirnya ia putus dengan Reihan? Jessi sering berbisik pada hatinya, jika ia dan Reihan memang berbeda. Tapi ia juga nyaman dengan Reihan. Tidak mau mengganti Reihan dengan yang lain.

Jessi berharap Daniel dan keluarganya segera pulang karena ingin cepat bertanya kepada Mami kenapa Mami sampai hati membuatnya mengkhianati Reihan. Mami harus tahu bahwa Jessi tidak mau. Jessi menolak keras untuk dijodohkan dengan Daniel. Atas dasar apapun.

Ada ketukan dari pintu kamar Jessi. Itu pasti Mami. Jadi Jessi segera menghapus jejak-jejak air mata di wajahnya. Jessi berkemas diri sebelum membuka pintu.

"Daniel mau pulang, kok kamu malah di kamar terus sih?"

Jessi tidak menjawab. Ia hanya berjalan menuju ruang tamu untuk menemui Daniel dan keluarganya. Mereka pulang setelah bersalaman dan masih melanjutkan candaan sampai ayah dan ibu Daniel masuk ke mobil.

Jessi membereskan ruang tamu terlebih dahulu. Mencoba mengambil jeda karena dadanya masih terasa sesak. Jessi bahkan beberapa kali tidak mengangkat telepon dari Reihan. Ia takut tangisnya akan pecah dan Reihan mengetahui semuanya.

Mami dan Papi duduk di sofa depan televisi yang sedang menayangkan berita terkini. Jessi sudah tidak tahan lagi. Jessi mengambil remote dan mengecilkan volume suaranya. Membuat Papi langsung melayangkan pandangan ke arahnya.

"Mi, maksud Mami apa? Mami coba jodohin aku sama Daniel? Mami gak tahu kah segimana sayangnya aku sama Reihan?" Jessi bertanya dalam kepasrahan. Air matanya menetes lagi.

"Ini kan demi kebaikan kamu Jess. Kamu gak sadar kalau kita dengan Reihan itu berbeda. Sampai kapan kamu mau buang-buang waktu kaya gini?" Mami menjawab dengan penuh penekanan.

"Tapi aku gak mau, Mi. Aku maunya Reihan. Aku sayang sama dia. Aku gak mau sama yang lain. Mami ngerti gak sih?" Jessi berbicara dalam tangisnya. Menatap Papi dan mencoba untuk meminta bantuan untuk membelanya.

Tapi Papi menggelengkan kepala. Papi tidak bisa berpihak kepada Jessi. Papi berada di pihak yang sama dengan Mami. Sebenarnya sejak kapan mereka merencanakan ini semua? Jessi seperti diserang dari segala arah. Sepertinya tidak ada lagi celah untuknya untuk bisa menolak. Ia dipaksa untuk menerima.

Tapi bagaimana dengan Reihan? Rei-Hero nya, si pahlawan bagi Jessi yang dulu berkubang duka. Reihan yang selama ini mengobati luka di hatinya. Yang membawa pelangi dalam hidupnya.

"Jess, akan sulit untuk kalian menemukan titik temu. Harus ada salah satu yang mengalah. Siapa diantara kalian yang bersedia?" Papi yang sedari tadi diam memperhatikan Jessi, akhirnya mengemukakan pendapatnya.

Jessi memang pernah mendambakan selamanya dengan Reihan. Tapi tidak pernah ada bahasan untuk menuju langkah yang lebih serius. Jessi senang dengan hubungannya dengan Reihan saat ini. Apa ini saja tidak cukup?

Au Revoir [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang